Tampilkan postingan dengan label Badminton. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Badminton. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 26 Mei 2018

Thomas & Uber Cup 2018

Thomas Uber Cup 2018  sudah memasuki babak final. Akan ada juara baru karena juara bertahan sudah gugur. Setelah menjadi juara bertahan sebanyak 3x berturut-turut dan menjadi juara terbanyak 14x, China kalah di babak semifinal. Ini adalah prestasi terburuk mereka sejak 1984. 

Antara senang luar biasa karena berarti China tidak lagi mendominasi, namun juga semakin khawatir karena persaingan semakin ketat tapi Indonesia belum juga menunjukkan tanda bahwa kita bahkan punya bahkan satu saja tunggal putri yang sebaik Ratchanok, Akane, atau Sindhu apalagi si nomor satu dunia Tai Tzu Ying. Mungkin yang terdekat sepertinya Gregoria Mariska. 

Untuk ganda putrinya sebenarnya bisa bersaing karena ganda putri kalo menurut gue sih cuma adu tahan aja, beda sama ganda putra yang sekarang sudah masuk ke level yang lebih tinggi dan gila setelah era Ahsan/Hendra dan Lee Yong Dae: era kesetanan angin ribut, The Minons, Marcus/ Kevin. They truly bring men’s double level to whole another new level!

Haruslah gue akui bahwa bermain tim dan individual memang berbeda. Minions bisa jadi memecahkan rekor pemegang juara terbanyak sepanjang tahun, tetapi sejak 2018, kekalahan mereka justru terjadi di pertandingan pertama mereka di Thomas Cup. Konon kabarnya Ihsan 2 bulan masih ngerasa bersalah sejak kalah di pertandingan penentuan final Thomas Cup 2016. 

Bermain di event tim beda magisnya. Misalnya Jonatan Christie yang selalu menyumbang angka di Asia Team Championship padahal dia mau juara SS aja susah bener. Atau Anthony Ginting yang udah 2x juara SS malah kalah terus di Thomas Cup kemarin. Atau Firman Abdul Kholik yang rangkingnya sekarang terjun bebas malah bisa diandalkan jadi tunggal penentu. 

Gue seneng banget liat persaingan badminton sekarang. Dulu, ibaratnya ngapain lah ada kejuaran tim kayak gini, toh China udah pasti menang. Sekarang, siapapun bisa jadi juara. SIAPAPUN. Final hari ini dan besok justru Jepang yang bisa jadi mengawinkan Thomas dan Uber Cup. As if like kalo China bisa juara Uber lagi, gue cuma bisa tepuk tangan malesin. Not because I am upset that we don’t win, but I want to see others to win. 

Prediksi gue di awal, Jepang yang akan bawa Uber Cup. Tapi karena lawan mereka di final adalah Thailand, everything is possible. Either way, we will have a new champion! So excited! Terakhir kali Jepang menjadi juara yaitu tahun 1981, lalu kalah di final dari China tahun 2014. Sebelum 2014, mereka tidak pernah sampai ke final sejak 1981. Sedangkan Thailand lebih gila lagi. Ini kali pertama mereka masuk final! Mereka juga hanya sekali sampai di semifinal pada tahun 2012. Keduanya sama-sama berpeluang karena kedua negara memiliki materi pemain bagus walaupun di atas kertas, pemain Jepang lebih unggul. 

Untuk Thomas, honestly, gue mau Jepang kalahin China di final. Setelah Thomas Cup lepas dari China tahun 2014, untuk menyamakan rekor Indonesia, mereka harus setidaknya juara 4x lagi. Setelah itu Jepang dan Denmark juara. Ini kali pertamanya sejak 2014 China masuk final. Kalau mau mundur sedikit agak jauh, dulu Indonesia seperti China di Uber Cup. We have great singles and double players. As if like siapa yang bisa ngalahin Indonesia sih? Taufik HIdayat, Hendrawan, Joko Suprianto, Heryanto Arbi, Ardi B. Wiranata, Alan Budikusma, Ricky/Rexy, Chandra/Sigit, Chandra/ Tony, Tony/Halim. Ibaratnya, tim Thomas lainnya cuma cari runner-up aja lah. Sama ngeselinnya sama kalo Marcus/Kevin ikut kejuaraan. 

Do I think Japan will beat China tomorrow? I hope so. Di atas kertas, sama seperti final Uber Cup, Jepang dan China sama-sama punya peluang untuk menang. I predict sepertinya semua partai akan main. 

Indonesia? Materi pemain putra kita luar biasa kok. It takes a village to create a great player. Can you imagine what we need to create a great team? Persaingan makin ketat. So what should we do? I don’t know really but if we wan to win, we have to live like a champion. Like Hendra Setiawan, Liliyana Natsir, Tontowi Ahmad, Mohammad Ahsan, Kevin Sanjaya, Marcus Fernaldi, Susi Susanti, Hendrawan, Chandra Wijaya, Tony Gunawan. Ya. Seperti mereka. Hidup sebagai juara dan punya mental juara. 

Rabu, 16 November 2016

Here I Present Myself: 2016 Porsekary Badminton Mixed Double Champion!

Siapa yang sangka ternyata di tahun 2016 gue akan mencoret salah satu bucket list gue sebagai juara badminton Porsekary. 

Yep, I am a champion! Finally after 7 years attempted, finished as runner-up twice, on November 15, 2016, I finished as number one with my partner, Mr. San Karya.  

Tiap tahun rasanya gue udah nggak mau ikut aja karena mulai dari susahnya cari partner, diajakin partneran sama orang yang sama sekali nggak pernah main sebelumnya sampai ditinggal sama partner beberapa hari sebelum pertandingan pertama. 

Tahun lalu, karena ditinggal partner, akhirnya panitia memasangkan gue dengan orang di luar kampus Simprug. Gue belum pernah main sama dia sebelumnya dan… drawing yang selalu kurang menguntungkan karena ketemu sama seeded player di babak awal. 

Entah mana yang lebih buruk, nggak pernah latihan sama pasangan atau drawing yang nggak menguntungkan. 
Either way, I lost in first match in mixed double discipline but got walk-out in women’s single setelah lawan ditungguin nggak dateng-dateng sampe jam 9:30 malem!

Gagal di mixed-double, satu-satunya harapan adalah di women’s single yang untuk pertama dan seperti terakhir kalinya diadakan. Perjalanan gue cukup mulus hingga ke final tapiiiiii…. karena nervousnya, akibatnya gue bermain under-performed pas di final. Nggak hanya lawan gue anak UKM Badminton, gue juga cuma dikasih 1 skor sama lawan. I did remember what I said to my friend in between sets, “I just want this to be over. I am so tired i could kill  myself.”
Dari tahun ke tahun, makin ke sini, mental gue udah macam mental tempe aja. Belum main, belum apa udah takut duluan sama lawan. Mau gampang, mau susah, takut aja bawaannya. Kalo aja gue nggak di bawah tekanan, mungkin gue bisa dapet skor lebih banyak walaupun gue yakin bakal tetep kalah sih. So I finished as runner-up in 2015 dengan sebotol Mylanta sebagai penopang keresahan gue selama seminggu lebih menanti dari satu pertandingan ke pertandingan berikutnya. 

Believe it or not, winning Porsekary is one of my bucket list. Sepertinya sudah 2-3 tahun lalu gue tweet soal ini. Gue lupa alasannya tetapi gue pengen banget menang di sini. Walaupun lawannya banyak di bawah kemampuan gue, tetapi ada aja 1-2 orang yang jauh lebih bagus dari gue, biasanya anak UKM Badminton yang juga magang. Coba pikir, gimana caranya ngalahin orang yang jauh lebih muda dari gue dan berlatih di klub? Apa nggak mamam tuh gue?!
Setelah dua kali berakhir sebagai runner-up, sekali bersama Pak Ermun, di mixed-double dan women’s single, harapan gue makin pupus ketika tahun 2016 panitia membuat aturan baru: pasangan ditentukan oleh panitia secara acak. Lalu gue pun mengucapkan, “Wasalamualaikum warohmatulahiiii wabarokatuh.”

Sudah sangat tipis keinginan gue untuk ikut karena di awal gue sudah punya beberapa kandidat yang akan gue bawa ke Porsekary tahun ini. Tapi bagaimana mungkin gue bisa melewatkan ajang tahunan ini setelah penasaran selama bertahun-tahun nggak bisa menang? Akhirnya gue mendaftarkan diri dan berharap nasib baik akan berpihak sama gue. 
Akhirnya waktu yang ditunggu tiba, hasil undian pasangan dan pertandingan muncul. Begitu tahu akan berpasangan dengan Pak San, ada muncul sedikit harapan untuk menang, minimal sampai semifinal lah, soalnya…. begitu sampai semifinal, ternyata gue satu pool sama yang ngalahin gue di final women’s single tahun lalu dan yang ngalahin Pak San di mixed-double! Pak San sendiri juga yang ngalahin gue tahun lalu di mixed-double pun kalah di semifinal! Tapiii, ada lah sedikit harapan menang karena pasangannya ini nggak sekuat tahun lalu, still, he’s good though. I was nervous. 

Babak pertama dilalui dengan super duper nervous. Kalo gue masih bermain segugup babak pertama, nggak mungkin banget gue bisa menang di semifinal, terlepas lawannya emang lebih jago dari gue. Babak pertama sebenernya nggak berat sama sekali lawannya, lumayan buat coba-coba lapangan sama partner. Hanya saja kita berdua masih nervous. Walaupun gue inget, nggak banyak bikin salah sendiri, tapi gue masih grogi banget mainnya. Beberapa kali juga pukulan Pak San keluar padahal pukulan dan smash-nya kenceng & tajem!

Melenggang ke semifinal, enggak ada persiapan fisik secara khusus sih, karena yaa mo gimana lagi? Lapangan Simprug nggak bisa dipake buat latihan. Lagian mau latian apaan lagi deh. Tapi sejak 2 bulan lalu gue suka ngerekam pertandingan ala-ala Srimulat khan tuh. Gue selalu terhibur nonton rekaman pertandingan gue sama temen-temen, entah karena akhirnya gue bisa liat sendiri gimana gue main dan ada beberapa match yang akhirnya gue bisa bilang, “Wow, ternyata elo bisa main sebagus itu ya,” atau ketawa geli ngeliat 4 orang wakwau main badminton. Hahahaha. Anyway, watching my own matches boost my mood and confidence. Ketika tau lawan gue adalah yang mengalahkan gue tahun lalu, one thing that I can say a day before the match was if I play in my best form, I might win the match! 

Begitu pun orang-orang yang gue tanyain, suami gue, temen-temen bahkan murid gue, “Kamu bisa aja menang, peluangnya 50-50 kok.” Wow, di sini gue merasa semakin percaya diri. Harus gue akui pula, bahwa mungkin gue terlalu rendah menilai diri sendiri. Bahwa benar adanya yang paling sulit itu ya mengalahkan diri sendiri kok. Kalo emang lawan di atas kita sekali pun, selama mental bertandingnya adalah memberikan yang terbaik & gak mau gampang mati, apa pun bisa aja terjadi. So, I hope I can beat myself so I can beat my opponent.

And, you wont believe what happened! I won the semifinal!!! Entah karena kami bermain selepas mungkin mengalahkan rasa gugup dan lawan yang juga ternyata sama gugupnya, gue ngotot untuk bermain sebaik mungkin. I couldn’t believe myself! Banyak banget pukulan-pukulan gue yang biasanya nggak masuk, ini masuk terus. Sedikit banget unforced error daannn partner gue gilaaaa! Gada matinya! Dan yang paling penting lagi adalah Pak San is one of the greatest player yet most humble! Itulah sebabnya kenapa gue bisa cepet gelling sama dia karena dia menganggap gue setara dengan dia sehingga dia mempercayakan bola-bola yang memang seharusnya gue ambil tapi tetap bisa menutupi kekurangan gue. Backhand yang menjadi salah satu kelemahan gue justru menjadi pukulan yang sering membuahkan poin. Karena ketika backhand gue masuk dengan sempurna, bakal sangat tipis dan rendah di depan net. Silakan mamam pukulan backhand gue. 

Pak San and I, a minute after won the semifinal against  strong opponent.
He said, "Fotonya mah nanti aja kalo udah menang di final."
And I said, "Udah menang lawan mereka aja bagus banget, Pak. Yang penting foto dulu."
Memang sih kalo backhand gue lemah dan harus lebih kenceng lagi, lalu gue bilang, “Nggak perlu kenceng, asal masuk & jadi poin.” What happened in semifinal proved it. Lagian, kalo soal pukulan kenceng, ya itu tugas partner laki gue di belakang sih.  Namun harus gue akui bahwa respon defense gue masih kurang banget makanya sebisa mungkin kami selalu memperlambat tempo permainan dan sebisa mungkin menurunkan bola. Kemenangan kami di semifinal juga dikarenakan lawan yang bermain di bawah performa terbaik mereka. Bisa jadi karena mereka nggak biasa main mixed-double sama-sama. Memang susah juga kalo spesialis tunggal harus main ganda. Siapa bilang main ganda gampang, enggak, lebih susah. Mungkin nggak secapek single fisiknya, tapi main double bisa jadi lebih capek hati haha.

Kemenangan kami di semifinal signifikan dengan skor 21-10, 21-11. Gue sebenernya lebih parno kalo angkanya ketat karena gue suka bloon kalo main di angka-angka tua. Untungnya kami selalu memimpin dan menjaga margin dengan baik. 

Melewati lawan berat di semifinal enggak bikin gue lebih tenang ketika berhadapan dengan lawan di final. Setelah Pak San memenangkan pertandingan men’s double, panitia menawarkan kami untuk melanjutkan ke partai final. Ya gue sih oke aja, lah, Pak San gimana? Apa nggak modiar maen sampe 3 games gitu? Tapi daripada musti bolak-balik ke kampus penuh pengorbanan batin, gue setuju aja. 
2016 Badminton Mixed Double Finalist

Akhirnya kami bertanding final di hari yang sama, di mana lawan masih seger karena belum main sama sekali dan gue udah setengah babak belur di semifinal, plus Pak San yang udah 2x main serius malam itu. But well, biasanya gue juga maen sampe jam 9 malem kok, so let’s do it!

Lawan gue di final sebenernya nggak seberat semifinal karena walaupun yang laki-laki lebih kuat tapi secara skill yang cewek jauh di bawah gue lah. Cumaaannn, nah tau khan kalo masih beginner gitu pukulan-pukulannya suka aneh-aneh? Kayak jaman dulu gue main tuuuhhh hahahaha. Anyway, sempet di awal-awal set 1 & 2 kami ketinggalan 4 poin sampai akhirnya bisa ditutup dengan skor meyakinkan 21-12. Gue begitu semangat berkata dalam hati, “Come on! It’s just a set away from the champion title.”

Set kedua sempet agak tegang dan panas karena sempet ketinggalan 8-12 hingga akhirnya bisa match point di angka 20-11 walaupun sempat akhirnya kehilangan beberapa match point dan menang dengan 21-15! Harus gue akui, kalau ditanya mana yang lebih berat, keduanya sama berat, kami beruntung karena kami bisa lepas dari tekanan. Secara fisik, kami sudah mulai lelah di set kedua. Pukulan Pak San mulai banyak ke luar & badan gue mulai berasa capeknya. Kalau sampai rubber game, bisa panjang urusannya. Gue cuma bisikin satu hal ke Pak San, “Kasih aja ke ceweknya.” Well, it’s a game, we want to win. So be it. Karena gue juga sering banget diserang sama lawan yang laki dengan smash-nya. Gue sih nggak masalah, udah berkali-kali latihan di-smash ama bapak-bapak Simprug plus sama guru olahraga pas kena bibir gue sampe jontor! It was nothing compare to what I have in my practice and play in Simprug.

Ketika pukulan depan net Pak San yang bertubi-tubi akhirnya gak bisa dikembalikan lawan, finally, we got the title, Mixed Double Champion! Senang? Jelas! Tapi lebih ke nggak percaya karena akhirnya bisa menang! 

Why is it so important and memorable for me? Because I never been a champion before. Never. Always ended-up as runner-up or second runner-up. Sempet sih waktu mau mulai final pengen bilang ke Pak San, “Pak, saya udah pernah jadi runner-up, pengennya juara kali ini,” tapi gue urungkan because I don’t want to jinx it. Badminton adalah passion gue yang terlambat gue temukan. Seandainya gue temukan itu jauh ketika gue masih kecil, bisa jadi gue udah melanglang buana dengan bermain badminton karena gue nggak bisa bayangkan hidup nggak main badminton. Ketika ada kesempatan untuk main, maka gue bermain. Tujuh tahun yang lalu, gue diajak temen gue untuk main bersama temen-temen di kantor. Dari yang enggak bisa mukul sama sekali, selalu kalah di babak-babak awal, sampai akhirnya gue bisa juara, what a journey & achievement! 

Semuanya nggak mungkin terwujud tanpa dukungan temen-temen gue, so I would like to say thanks to Pak San Karya, Kiki, Mega, Pak Edi, Pak Manik, Pak Didi, Pak Alfret, Nico, Udek Dennis, Pak Ermun, Pak Jito, Hendra, Ibu Alma, Miki, Henry, Bang Sadrakh & Pak Dai, and of course, my always favorite student, Joey, yang selalu lebih semangat ngalahin gue daripada jadi partner gue hehe. This title is for all of us who always excited to be on badminton court and nowhere else. 
With some die-hard fans from Simprug. Haha! Thank a ton!
The champion is signing off now. See you all on court!

Jakarta, 16 November 2016
10:33 P.M.
Bedroom

*Porsekary: Pekan Olahraga dan Seni Karyawan

Rabu, 29 Juni 2016

A Letter to Jonatan Christie


Dear Jonatan,

I am a huge fan of badminton since 22 years ago. I watched we won Thomas and Uber Cup 1994 & 1996. That's the moment when I hooked by badminton. I collected most of the article in newspaper since then. When we lost in Uber Cup 1998, my heart was broken. I still can picture Susi Susanti couldn't reach the shuttle near the net and the title of the article said, "I am sorry we can bring the cup back to Indonesia." Therefore I still had hope with Thomas Cup team, so I stayed until we lost at 2002. So much pain to watched our team lost made me stop to follow, not because I didn't care but because I cared so much I couldn't watch more loses. It's painful.

But I have so many regrets now because I missed greatest things happened: 
I missed Taufik Hidayat & Markis Kido/ Hendra Setiawan won Olympic Gold Medalist.
I missed Liliyana Natsir won her first World Championship title when she was just 19 years old & another title after that with Nova Widianto. 

Liliyana Natsir is the reason why I decided to 'comeback' to badminton. Since 2011, I watched Liliyana won her 3 consecutive All England titles with Tontowi Ahmad, her other partner. I watched Hendra Setiawan finally won All England title in 2014 & 2x World Championship title with his new partner M. Ahsan after people second-guessed him at the beginning. 

Not just following news from far, I started to watched Indonesia Open PSS live at Istora since 2012 until 2015 with my best friends who also a huge fans of badminton. I also started to play badminton 7 years ago until now & I really enjoy it.

When I see you, I see hope. I see a youngster who prepare everything well, work hard and about to embark to the highest podium. Along with your compatriots, Anthony Sinisuka Ginting and Ihsan Maulana Mustofa, I can see a brighter future for Indonesia Men's Singles.  I can see Thomas & Sudirman Cup is about to come home. Take care, support & remind each other to the greatest podium. 


Jonatan Christie, Ihsan Maulana Mustofa & Anthony Ginting

You are the reason why I want to stick around because I don't want to miss another great things that will happen in the future. I will watch you win or lose, the proud and the pain. 

Keep focus on your goals, practice even harder, have stronger faith because you are in the right track. It's not about a whole county's hope. It's about you who work so hard since the beginning, how your parents guide and sacrifice for your success to come. God has a plan and I think the plan is you.

I believe you will have a bright future. It's just about when you are going to execute it because you are ready. The future is here. 

Good luck, Jo. Rise & shine!

Cheers to the greatest,

arinariane
a badminton addict

Rabu, 15 Juni 2016

Finally, There is A Hope

Adalah keharusan bagi gue untuk menulis ini karena udah seminggu ini gue kayak orang gila: cengengesan sendiri di depan laptop dan hape. Sebenernya sih udah dari 2 minggu lalu pengen nulis, tapi ya itu, masih cengengesan sendiri sama halu-halu gak jelas. Gue tuh nggak pernah minum ya, apalagi mabok, jadi apa iya ini rasanya celeng?

Akhir bulan Mei, ketika gue udah patah arang mengikuti perkembangan betminten yang tercinta dan setelah gue memutuskan tv kabel gue, lalu tiba-tiba putaran final Thomas Cup mulai. Haiiissshhh!! Kenapa pas gue mutusin tv kabel gue?? Tapi percuma juga sih gue punya tv kabel secara nyali gue tipis banget untuk nonton pertandingan langsung di tivi. Nonton rekaman di Youtube aja masih perlu tangki oksigen biar nggak terpengsan-pengsan.
Pada saat tau line-up pemain Indonesia adalah dedek-dedek gemes yang bikin kejutan di putaran kualifikasi zona Asia yang akhirnya juara tuuhhh, jantung gue makin melorot. Ya kualifikasi aja jatoh bangun begitu, ini masuk putaran final bagaimana?

Lalu kemudian gue mulai terbawa nostalgia dengan nonton rekaman di Youtube pas Sea Games 2015 & semifinal dan final kualifikasi. Antara haru dan deg-degan, mungkin inilah saatnya kita bisa mengembalikan piala Thomas yang sudah 14 tahun lepas dari tangan kita. Gila, 14 tahun itu ibarat dari lahir sekarang anaknya udah masuk SMP kelas 2! Lama loh itu! Sambil siap-siap pake seragam biru, eh loh, maksudnya usaha untuk nyambungin tivi kabel gue, akhirnya gue bisa nonton siaran langsungnya di tivi kabel.


Tim Beregu Putra Indonesia mempertahankan tradisi emas di Sea Games 2015

Tunggal Putra Muda Indonesia Sea Games 2015: Jonatan, Ihsan, Firman & Anthony
Jonatan, Ihsan & Anthony di Badminton Asia Team Championship (Kualifikasi Zona Asia Thomas Cup) 2016

Komposisi pemain tahun ini berimbang antara senior dan junior. Masih ada Hendra Setiawan sebagai kapten tim tahun ini, ditemani M. Ahsan. Terus ada juga yang harusnya udah bisa gantiin Ahsan/Hendra tapi akhir-akhir ini turun pretasinya: Angga Pratama/ Ricky Karanda Suwardi. Lalu pelapisnya Kevin Sanjaya/Gideon Marcus. Dua pasang terakhir ini terakhir kali menjuarai Sea Games 2015. Keduanya masuk final. Yang diharap langsung melapisi Ahsan/Hendra malah kalah sama juniornya di 2 superseries: India & Australia Open 2016.

Dari tunggalnya, seniornya hanya Tommy Sugiarto. Katanya sih dipanggil untuk memperkuat tim setelah tidak lagi di pelatnas. Sisanya? Nah ini dia yang bikin gue senyum-senyum nggak jelas: Jonatan Christie (18), Anthony Sinisuka Ginting (19) & Ihsan Maulana Mustofa (20). Setelah bertahun-tahun pemain tunggal putra kita hidup segan mati tak mau prestasinya, akhirnya gue bisa menumbuhkan harapan baru dari tiga dedek-dedek ini.

Sejak Piala Sudirman sebenernya nama-nama ini mulai muncul ke permukaan. Waktu liat line-up Piala Sudirman 2015, ada nama Jonatan Christie & Firman Abdul Kholik (18), gue mikir, “Siapa ini anak-anak?”. Apalagi Firman pas lawan Jan O Jorgensen, alahmaaakkk, badannya kebanting banget! Waktu itu mereka berdua masih 17 tahun. Gila! Dua anak 17 tahun dipasang di perhelatan sebesar Piala Sudirman! Event ini juga loh yang jadi event internasional pertama mereka. Hebatnya lagi, Jojo berhasil menyumbangkan 1 poin pas melawan Taipe. Lalu gue pun mikir, “Lah ini tunggal kita yang senior tuh sapa aja yah?” Aselik gue sampe nggak inget (kalian inget nggak siapa hayo?)

Setelah Sudirman Cup 2015, nama Jojo muncul lagi di Indonesia Open 2015 tapi kali ini Jonatan enggak sendirian, tiba-tiba ada nama Anthony Ginting yang melaju dari babak kualifikasi sampai akhirnya kalah di babak perempat final. Sebelum sampai ke babak perempat final, mereka sempet ngalahin pemain-pemain senior & unggulan sebelum akhirnya Jojo kalah sama Jan O Jorgensen & Anthony kalah sama Kento Momota.

Lalu ada Sea Games 2015 di mana muncul nama Ihsan Maulana Mustofa yang berhasil menggenapkan kemenangan di semifinal dan final beregu putra setelah kedudukan sama kuat. Nggak cuma itu, Ihsan bahkan sempat ketinggalan 14-20 atas Malaysia sebelum akhirnya memenangkan set 2 dengan skor 22-20 & memastikan Indonesia melaju ke final. Di final, Ihsan juga berhasil mengalahkan Thailand dengan pertarungan rubber set. Sayangnya di nomor perorangan, justru Malaysia yang menempatkan All Malaysian Final, Jojo dan Firman kalah di perempat final.

Setelah Sea Games, gue nggak ngikutin perkembangan secara intens sih. Hanya Anthony Ginting yang berhasil melaju sampai di semifinal Hongkong Open SS 2015. Sisanya rontok di babak awal. Lalu di awal 2016, Jojo juga berhasil melaju hingga ke babak semifinal Malaysia Open 2016. Karena rangking junior Jojo lebih baik dari yang lainnya, itu sebabnya mengapa rangkingnya paling tinggi dibanding teman-temannya.

Sea Games adalah modal awal bagi tim putra menuju Thomas Cup 2016. Di babak kualifikasi zona grup Asia pada Februari 2016, datang sebagai non-unggulan, Indonesia berhasil mengalahkan juara bertahan Thomas Cup 2014, Jepang, dalam pertarungan 5 partai. Jojo yang waktu itu berhasil menutup rubber game & memastikan kemenangan. Tapi kunci kemenangan kita sebenernya sih pada saat Anthony Ginting berhasil mengalahkan Sho Sasaki sebagai tunggal kedua. Sempet kaget juga sih Indonesia bisa menang babak kualifikasi Asia, karena yang turun bener-bener pemain muda semua.

Sampai akhirnya Thomas Cup 2016, gue lagi-lagi enggak terlalu mengikuti perkembangan dedek-dedek gemes ini. Kenapa? Karena sampai terakhir All England, mereka semua rontok di babak awal. Apa iya mereka cuma bisanya ‘keroyokan’ ya? Hehe.

Pada saat perhelatan Thomas Cup, gue merasa mereka sudah lebih siap karena sudah beberapa kali dikirim ke turnamen tingkat SS & SSP dan kejuaraan beregu. Ada rasa optimis namun juga siap kalah. Setiap partai gue ikuti dengan persiapan tangki oksigen. Di setiap babak, masih ada kombinasi antara pemain senior dan junior di partai tunggal hingga akhirnya ketika melawan Korea di semifinal, Indonesia menurunkan Jonatan, Anthony & Ihsan.

Sebelum sampai ke semifinal, perjalanan kita bisa dibilang bikin deg-degan. Kalo yang lepas itu partai tunggal sih gue masih maklum, lah ini, sebelum ketemu jagoan ganda Korea, Ahsan/Hendra kalah dari ganda Hong Kong! Gandanya juga yang gue nggak pernah denger namanya. Amsiyong nggak tuh?! Untungnya, Jonatan berhasil mengamankan tunggal kedua dengan pertarungan 3 set sehingga ganda kedua bisa memastikan kemenangan kita menuju semifinal.

Menunggu lawan di semifinal, ada China vs Korea. Gue berharap kita akan ketemu Korea sih walaupun nggak bisa dibilang pasti menang. Tapi opsi lebih terbuka ketika kita bertemu Korea daripada China. Inilah titik di mana Chen Long yang sampai paruh tahun 2016 belum menjuarai satu pun turnamen menyerah kalah atas So Wan Ho, tunggal pertama Korea. Another surprise juga sebenernya ketika Lee/Yoo juga berhasil mengalahkan Fu/Zhang dengan pertarungan macam di final Olimpiade. Hidup matik! Tapi memang Chen Long yang harus mengamankan tunggal pertama. Walaupun Lin Dan menang di tunggal kedua, kemungkinan ganda Kim/Kim menang lebih besar daripada ganda China. Betul saja, Korea yang akhirnya bertemu dengan Indonesia di semifinal. Maybe this is a sign that we can win the cup this year!

Semifinal melawan Korea tidaklah mudah. Namun keberanian manager tim menurunkan Jonatan, Anthony & Ihsan sebagai tunggal adalah sebuah kepercayaan yang luar biasa. Setelah mengalahkan Chen Long, So Wan Ho terus menunjukkan kemampuan terbaiknya dengan mengalahkan Jonatan di tunggal pertama. Tunggal pertama lepas, ganda pertama jadi nggak tentu mengingat performa Ahsan/Hendra sebelumnya. But this is what I try to believe, maybe they will win a match if it is really necessary. Entah karena sebelumnya habis-habisan melawan Fu/Zhang, Ahsan/Hendra menang relatif mudah melawan Lee/Yoo. Sepertinya Lee/Yoo yang kemarin bermain bukan orang yang sama. Mungkin karena Ahsan/Hendra nggak ngasi kesempatan untuk menekan dan adu keras.

Setelah Ahsan/Hendra menang, gue lebih optimis walaupun deg-degan juga karena ganda kedua belum tentu aman. Tapi sekarang siapa yang akan curi 1 angka di tunggal? Setelah sempet ketinggalan di awal set 1, Anthony berhasil menutup set dengan kemenangan. Set kedua lebih ketat tapi akhirnya juga berhasil ditutup dengan 21-18; 21-18. I have a good feeling, Anthony will take the single point and he did!

Ganda kedua, Angga/Ricky akan menentukan apakah Indonesia bisa melaju ke babak final atau tunggal ketiga akan dimainkan jika kalah. Di set pertama, mereka menang dengan cukup mudah, 21-15. Namun set kedua sempet bikin jantungan karena udah unggul 19-11 sempet kekejar 19-16 walaupun akhirnya bisa menutup dengan 21-18. Siapa sangka kita bisa sampai ke final?!

Menunggu lawan juga merupakan hal yang bikin deg-degan. Malaysia vs Denmark di pool sebelah harus mati-matian untuk bisa melaju ke final. Keliatannya sih Malaysia yang akan ketemu kita di final karena mereka unggul 2-0 sebelum akhirnya kedudukan berbalik menjadi 2-2. Gue pikir sih juga Malaysia yang akan ke final. Mereka punya Lee Chong Wei. Gue juga liat tunggal putra mereka main bagus di Sea Games. Matik juga nih kalo ketemu sama dedek-dedek gemes di final. Ganda-gandanya juga bagus.

Nah sedangkan Denmark sebenernya bagus juga. Setelah China kalah, Denmark adalah negara yang berpeluang menang. Ketiga tunggalnya sedang di atas, ya, ketiganya, dibanding negara-negara lain: Viktor Axelsen, Jan O Jorgensen & Vittinghus. Dua gandanya bisa aja sih colong-colong indah. Bisa aja. Buktinya mereka berhasil mengalahkan ganda kedua Malaysia, Koo/Tan. Yang menarik justru ketika Jan O Jorgensen nggak turun di semifinal. Justru Vittinghus yang naik jadi tunggal ke dua & Emil Holst sebagai tunggal ketiga. Guess what? Emil Holst won against Chong Wei Feng! Entah siapa Emil Holst ini tapi gue nggak pernah denger namanya. He’s the hero of the night. Denmark goes to final & will meet Indonesia!

Ngeri-ngeri sedep pada putaran final, Indonesia tidak menurunkan Jonatan Christie melainkan Tommy Sugiarto, Anthony Ginting & Ihsan Maulana Mustofa. Macam coro nggak bernyali, gue lemes nonton partai pertama melawan Viktor Axelsen. Alhasil gue nggak berani nonton partai Ahsan/Hendra yang akhirnya dimenangkan Indonesia & kedudukan jadi 1-1. Belum pulih sepenuhnya dari cedera, Jan O tampil baik melawan Anthony. Kedudukan akhirnya disamakan oleh Angga/Ricky menjadi 2-2. Partai ketiga adalah partai hidup mati keduanya. Dengan kedudukan sama, gue yakin kemampuan pun sebenarnya sama, Ihsan menyerah atas Vittinghus dengan straight set.

Terlihat sekali pemain tunggal kita bermain di bawah performa terbaik mereka. Keinginan untuk menang setelah 14 tahun lepas & keriuhan final, ternyata masih terlalu berat untuk dikalahkan. Denmark berhak menjadi juara untuk pertama kali karena mereka lebih siap.

Pada saat upacara penyerahan medali, gue melihat raut wajah mereka begitu kecewa. Bibir Jonatan manyun seada-adanya, Ihsan keliatan abis nangis, suram muka mereka semuanya. Hendra pun memaksakan diri untuk tersenyum. Sang Kapten dengan gelar individual yang sudah lengkap belum berkesempatan mengangkat piala Thomas untuk yang kesekian kalinya. Ada rasa nggak enak dari junior mengingat ini bisa jadi kejuaraan Thomas terakhir Hendra. Namun Hendra dengan bijaksana mengatakan, “Dengan atau tanpa saya, tim Thomas akan jauh lebih baik di kemudian hari.” Ya nggak semua bisa kayak Taufik Hidayat & Lin Dan ya. Lee Chong Wei & Lee Yong Dae aja belum pernah angkat piala Thomas juga loh. 

Runner Up: Thomas Cup Indonesia 2016

Gue pun merasa bahwa memang belum saatnya Indonesia menang. Sea Games & Badminton Asia Cup sebenernya cukup untuk menjadikan booster di Thomas Cup, tapi memang kita belum siap. Belum saatnya. Gue merasa mereka harus balik lagi ke kandang dan terus berlatih. Fisik, skill, mental, semuanya. Gue yakin kok proses yang panjang & keras nggak akan mengingkari hasilnya. Yakin.

Di tengah perhelatan Thomas 2016, ada 1 nama yang gue cari-cari nggak ada dan hampir aja gue lupa, macam ada 1 orang yang biasanya ada bersama dedek-dedek gemes lainnya: kemana Firman? It used to be four of them: Jonatan, Firman, Ihsan & Anthony. Ternyata sejak babak kualifikasi zona Asia, Firman sudah tidak bergabung dengan tim. Peringkatnya yang sudah di 50 besar, saat ini melorot hinggal 116. Ada apa dengan Firman? Apa iya hanya karena cedera? Akhirnya sejak awal tahun 2016, Jonatan, Anthony & Ihsan diplot untuk bermain di SS & SSP. Mereka menjadi pemain senior di pelatnas. Sedangkan Firman, yang seumur dengan Jonatan, masih harus bersama junior lainnya yang akan bertarung di level GP & GPG. Gue berharap dia bisa nyusul ketiga temannya untuk ke SS & SSP. Mereka bertiga juga awalnya dari bawah sampai akhirnya sekarang bisa masuk 20 besar. 

Firman Abdul Kholik (18)
Firman saat dikalahkan Jonatan di kualifikasi Indonesia Open 2015.
Jonatan melaju hingga babak perempat final.

Terbaru, Ihsan berhasil menyusul Jonatan & Anthony ke semifinal SS di Indonesia Open 2016. Anthony berhasil masuk semifinal SS keduanya di Australia Open 2016 setelah mengalahkan Chen Long di perempat final. Jonatan mengulang hingga perempat final di Indonesia Open 2016, sama seperti tahun sebelumnya. Dia kembali kalah oleh Jan O Jorgensen. Tahun ini terlihat lebih baik namun harus banyak latihan lagi & makin banyak ketemu pemain top. Sebelum sampai ke perempat final, Jonatan akhirnya berhasil mengalahkan idolanya, Lin Dan, dengan skor meyakinkan 21-12; 21-12. Sebuah pencapaian luar biasa. 

Jonatan Christie (18)

Anthony Sinisuka Ginting (20)

Ihsan Maulana Mustofa (20)

Pada akhirnya, mungkin ada titik terang di sektor tunggal putra. Tidak hanya satu tetapi tiga pemain yang pada akhirnya gue harap bisa mempertahankan pace dan terus meningkatkannya.

Bukan nggak mungkin mereka akan jadi Top 3, menguasai semifinal & final SS & SSP, memenangkan piala Thomas dan mengembalikan tradisi emas, perak & perunggu di Olimpiade. Terlalu beratkah beban untuk mereka? Gue rasa sih enggak karena kalo gue memutuskan untuk jadi atlet nasional sampe akhirnya masuk pelatnas, itu akan jadi tujuan gue. Gue tau persis nggak gampang untuk bisa sampai di titik ini. Mereka nggak sekonyong-konyong masuk pelatnas kemarin sore tapi mereka udah berlatih sejak kecil. Waktu & tenaga yang dikorbankan akan percuma kalo nggak terus maju.

I wish you all good luck. Maybe there is a hope. Oh, I mean finally. 

Selasa, 14 Juni 2016
09:09 a.m.
Art Room

Kamis, 24 Desember 2015

Imogen Bankier is Retired

Imogen Bankier (Scotland)

One of my favorite player is retired today; Imogen Bankier (Scotland). Pertama kali gue nonton dia pas World Championship 2011 & saat itu dia mengalahkan Owi/Butet bersama Chris Adcock (England). Gue nonton dia dari babak awal sampai akhirnya mereka sampai ke final bertemu Zhang Nan/ Zhao Yunlei, The King & Queen of Mixed Double. Gue pikir mereka hanya beruntung karena bertemu unseeded player sampai akhirnya mereka bertemu Owi/Butet dan akhirnya mereka menang & bertemu ZZ di final & kalah. 

Imogen adalah salah satu pemain top Scotland yang telah menjuarai berbagai turnamen nasional. Namun prestasi tertingginya adalah medali perak kejuaraan dunia. Gaya bermainnya yang agresif di depan net ini lah yang sempat membuat Owi/Butet kewalahan hingga akhirnya kalah di semifinal saat itu. Sejak itu, karirnya meroket hingga akhirnya berhasil menjadi pemain yang dikirim ke Olimpiade & masuk 10 besar dunia. 


BWF World Championship 2011 Silver Medallist: Chris Adcock & Imogen Bankier

Namun karena tidak sepakat dengan program pelatihan jangka panjang Great Britain setelah kekalahan di Olimpiade 2012, maka ia memutuskan untuk berpisah dengan Chris & kembali ke Skotland berpasangan dengan Robert Blair mempersiapkan Commonwealth Games. Di turnamen ini, ia meraih medali perunggu, sedangkan Chris yang berpasangan dengan istrinya, Gabby Adcock, meraih medali emas. 

Setelah tidak mengikuti turnamen superseries tahun ini, termasuk Indonesia SS, akhirnya hari ini (24/12/2015), Imogen Bankier resmi pensiun dari bulutangkis. Sejak setahun ini, ia mulai menekuni bisnis wiski ayahnya di Paris. 

It is a pleasure to see your international career & abled to watch you live in Istora Senayan in 2014. I wish you good luck for your future, Imogen Bankier.

Chrismas Eve 2015
10:06 a.m.
Dining Table, Home Sweet Home

Selasa, 13 Maret 2012

Proudly present Ahmad/Natsir of Indonesia: All England 2012 Mixed Double Champion!


Okay, finally I make time to write about what happened in All England 2012 final as my promise. And the only reason why I write this is because I want to make this moment memorable. Where should I start? Hmm…, sebenarnya gue lebih pengen menceritakan dari apa yang gue rasakan ketimbang pertandingan itu sendiri. Sebelum sampai ke pertandingan itu sendiri, gue termasuk orang yang enggan nonton pertandingan badminton. Yep. I was too damn scared! Itu sebabnya kenapa gue tidak mengikuti perkembangan badminton Indonesia selama 10 tahun terakhir. Lalu kenapa gue berhenti? Yep, berhenti, karena sebelumnya gue mengukuti setiap sepak terjang atlet badminton Indonesia selama lebih dari 5 tahun sejak 1996-2002. Alasannya? Bisa baca post gue sebelumnya “’Till then, Hang Tough.”

Tapi harus gue akui, ada harapan besar pada final All England 2012. Besar karena lawan yang harus dihadapi pasangan Indonesia, Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir [4] adalah lawan yang bisa ditaklukkan: Thomas Laybourne/Kamila Rytter Juhl [8] dari Denmark. They beat them once, but also lost against them once. Apalagi mengetahui kenyataan bahwa 2 pasangan terkuat China sudah kalah sebelumnya. Harapan besar yang membebani pundak Ahmad/Natsir pasti dirasain sama seluruh pendukung mereka di tanah air & yang menonton di Birmingham. Terlebih gue tidak bisa menyaksikan sepak terjang perjalanan mereka sampai akhirnya ke final karena tidak ada yang menayangkan di TV, sehingga gue nggak bisa mengukur kekuatan mereka. Justru gue menonton Laybourne/Juhl di semifinal. Mereka dengan cemerlang mengalahkan Xu/Ma [2]. Sedangkan lawan Ahmad/Natsir di semifinal mengalahkan Adcock/Bankier [unseeded] yang mengalahkan Zhang/Zhao [1]. Well, karena tidak bisa mengukur kekuatan Ahmad/Natsir tapi mengingat rekor H2H-nya juga seimbang, bikin gue teggang seteggang nunggu sidang tesis. Seriously! I was so freakin’ nervous!

Sempet kepikiran nggak pengen nonton dan milih untuk nunggu hasilnya di Twitter atau internet, but I have to. I have to witnessed this! Seperti gue menyaksikan perjuangan Hendrawan mengalahkan Yong Hock Kin di Piala Thomas 2000, seperti gue menyaksikan Chandra/Tony di Olimpiade 2000, seperti gue menyaksikan Ricky/Rexy di Olimpiade 1996, seperti gue menyaksikan Ahmad/Natsir di Sea Games Jakarta 2011. Gue harus menyaksikan secara langsung Ahmad/Natsir menggoreskan sejarah dengan tinta emas. Akhirnya, gue kuatkan diri gue dan berani menonton. Poin demi poin.

Ahmad/Natsir lebih siap menjadi juara All England 2012

Di awal, poin ketat terjadi karena sepertinya kedua pasangan gugup memulai pertandingan. Gimana enggak? Buat Laybourne/Juhl sendiri, ini adalah kesempatan yang langka hingga bisa sampai ke final. Mereka kalah di final 7 tahun yang lalu dan tahun ini adalah kesempatan mereka untuk meraih gelar tersebut. Sedangkan Natsir? Wew! Ini adalah final ketiganya di All England. Sebelumnya Natsir pernah sampai ke final dua kali bersama Nova Widianto dan gagal. Tentu kesempatan langka ini akan menjadi motivasi sekaligus beban bagi Ahmad/Natsir. So, pertandingan final antara Ahmad/Natsir dan Laybourne/Juhl lebih memperlihatkan pasangan mana yang lebih siap menjadi juara ketimbang membuktikan siapa yang lebih hebat dari segi teknik. Karena dari segi teknik, mereka berdua berada di kelas yang sama.


Fokus pada poin demi poin, bukan pada kemenangan itu sendiri

Beberapa kali smes Ahmad menyangkut di net. Namun sering juga bola-bola Juhl tak sampai diseberangkan karena membentur net. Unforced error juga sering dilakukan pasangan Denmark. Servis Laybourne/Juhl beberapa kali tidak sampai. Bahkan Ahmad/Natsir menutup game 1 karena Juhl gagal menyeberangkan bola saat servis. Well, yang jelas, permainan pasangan Denmark pada saat bertemu Xu/Ma tidak keluar pada saat melawan Ahmad/Natsir. Mereka seperti frustasi menghadapi pasangan Ahmad/Natsir dan gak bisa berbuat banyak. Ahmad/Natsir juga terlihat bermain kurang lepas dan sangat berhati-hati.  Untungnya, Ahmad/Natsir lebih dulu keluar dari ketegangan dan meraih poin demi poin, dari hasil keringat sendiri hingga kesalahan lawan. Pengamatan akurat juga diperlihatkan Ahmad/Natsir. Beberapa kali mereka melepas bola yang memang keluar, terutama saat poin kritis di game 2. Ada beberapa trik yang dilakukan Ahmad/Natsir untuk menggangu ritme dan konsentrasi pemain Denmark antara lain meminta water break beberapa kali hingga menyeka keringat tepat di saat pemain Demnark siap melakukan servis. Bahkan Ahmad sempat ditegur wasit saat melakukan hal tersebut. Well, kurang etis, tapi strategi seperti itu sah-sah aja.

Lalu pada posisi kritis 20-19, smes Ahmad menyebabkan pengembalian pasangan Denmark menjadi sasaran empuk di depan net yang langsung dieksekusi tanpa ampun oleh Natsir. Saat itulah, akhirnya penantian 9 tahun bangsa Indonesia berakhir! I have to say, we deserved All England title this year!

Penantian paceklik gelar All England selama 9 tahun berakhir di sini

Harus gue akui, ada sedikit faktor keberuntungan ketika 2 pasangan terkuat China dikalahkan sampai akhirnya tidak bertemu Ahmad/Natsir. Tapi perjalanan Ahmad/Natsir sendiri tidak bisa dibilang mudah. Di babak pertama, mereka harus menundukkan pasangan Malaysia dalam 3 game. Di babak berikutnya mereka harus berhadapan dengan pasangan China lainnya walaupun bukan unggulan. Tak hanya itu, mereka harus berhadapan dengan pasangan England, Robertson/Wallwork dalam 3 game. Terakhir, mereka harus menundukkan pasangan Malaysia lainnya dengan poin ketat 27-25, 21-16 di semifinal.

Ketika gue menulis ini, gue menyaksikan kembali video pertandingan mereka, so, I have to say that they won because they prepared well and executed it well! Nggak hanya itu, mereka juga menjadi juara karena mental mereka lebih siap dibandingkan lawan-lawan mereka. Jadi, faktor keberuntungan yang gue ungkit sebelumnya itu nggak akan menjadi faktor pendukung kemenangan mereka tetapi hanya akan menjadi sesuatu yang mubazir karena ketidaksiapan fisik & mental.

Selama pertandingan berlangsung, gue kayak orang gila kesurupan, teriak-teriak sendirian di kamar! Teriakan seperti “Come on, Indonesia!”, “Ayooooo!!!”, “Abisiiiiinnnnn!!!!”, hingga “Woooohhhoooooooo!!!!!!!!!” sepertinya bisa bikin orang sekitar mikir gue mo disembelih! Belon lagi gebrakan-gebrakan ke kepala kasur yang super berisik! Entah kapan terakhir kali gue rela berteriak semaksimal itu sampe akhirnya suara gue serak sehabis pertandingan. Belum lagi ekspresi diem teggang melukin guling saat poin kritis, pengen muntah rasanya. Pas menang, tangan gue tepuk tangan sampe sakit, bahu gue ampe kejang ngepalin tangan ke atas berkali-kali. I didn’t care because I was so proud of them!

Foto ini fenomenal banget!

Penantian 33 tahun bagi gelar ganda campuran ndonesia akhirnya usai :)

Congratulation, Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir of Indonesia as  All England 2012 Mixed Double Champion! Sure you win today because of hard work, great strategies, great execution and winning attitudes! Proud Indonesian!  

Minggu, 04 Maret 2012

'Till then, hang tough.


Hmm…, udah lama rasanya gue tidak menulis tentang badminton. Uyeh, I’m a huge fan of badminton. Gue masih inget tegangnya nonton siaran langsung Thomas Uber Cup di akhir 1990 dan awal 2000. I was so in love with the game, the crowd and of course the athletes.  You name it: Joko Suprianto, Heryanto Arbi, Ricky Subagja, Rexy Mainaky, Chandra Wijaya, Tony Gunawan, and of course Hendrawan. Gue masih inget ketika Hendrawan harus melawan Yong Hock Kin dari Malaysia untuk mengamankan poin tunggal kedua dan semua setuju bahwa Hendrawan adalah kunci kemenangan tim Thomas Indonesia saat itu. Atau saat Ricky Subagja harus berpisah dengan Rexy Mainaky di semifinal dan final Thomas Cup dan dipasangakan dengan Tony Gunawan. Oh My Gosh! This pair was a.m.a.z.i.n.g!! Dan mereka bedua berhasil mengamankan kedua poin yang dibebankan kepada mereka.

Ricky Subagja/ Rexy Mainaky


Hendrawan

Kemana mereka sekarang? To be honest, our greatest athletes are not in our country. Sadly, but true, mereka melatih di negara lain. Tony Gunawan masih bermain di usianya yang 35 tahun bersama Howard Bach di Amerika. Gue juga pernah nemu Tony dan istrinya, Etty Tantri bermain ganda campuran di beberapa turnamen kecil walaupun nggak juara.  Ricky Subagja masih di Indonesia, sesekali nongol jadi komentator. Rexy Mainaky dan Hendrawan hijrah ke Malaysia. Alasan klasik: mereka merasa apresiasi pemerintah kurang makanya milih melatih di negara lain. Tidak nasionalis? Nanti dulu. Kalo mereka nggak nasionalis, nggak mungkin lah mereka membela Indonesia selama ini di ajang internasional. You name it: Olimpic, Thomas Uber, Sudirman Cup, Kejuaraan Dunia. So why move?

Setelah Uber Cup lepas dari Indonesia tahun 1998, prestasi pemain putri hampir nggak pernah terdengar lagi. Terakhir gue pikir Mia Audina bakal menggantikan Susi Susanti. Ternyata enggak, karena masalah internal, akhirnya Mia memutuskan untuk pindah ke Belanda dan sekarang membela Belanda. Lalu gue dengar ada juga Maria Kristin Yulianti yang berhasil meraih medali perunggu Olimpiade Beijing and…that’s it. Ganda putri? Jangan tanya. Itu sebabnya kita nggak pernah juara Uber Cup dan Sudirman Cup karena sektor putri kita lemah, sektor putranya bersaing ketat dan ganda campuran masih bergantung sama pemain senior yang saat itu adalah Trikus/ Minarti.


Setelah Thomas lepas tahun 2004, gue nggak pernah ngikutin badminton lagi. My heart is broken. Gimana bisa kita dulu bisa sebagus itu, disegani negara lain dan sekarang? Banyak pemain yang memilih menjadi pemain non-pelatnas. Kita juga masih mengandalkan pemain senior seperti Taufik Hidayat dan nggak ada pelapis sebaik dia untuk menggantikan posisinya. Taufik itu namanya udah kedegeran sejak Thomas 1998 dan dia masih maen sampe sekarang! Gilak! Itu jamannya Sun Jun dan Yong Hock Kin masih maen dan sekarang mereka udah digantiin sama Lin Dan, Cheng Long dan Lee Chong Wei!

Taufik Hidayat
Lalu sekarang gue mulai ngikuti lagi karena aksesnya yang gampang. Banyak akun Twitter yang selalu membagi berita seputar badminton atau cukup klik tournamentsoftware.com untuk ngecek jadwal dan hasil pertandingan. Kalo beruntung ada live streaming. Nggak cuman itu, karena sekarang ada Twitter, bahkan jarak antara atlet dan fansnya makin deket. Satu-satunya atlet yang kedengeran namanya saat ini hanya Liliyana Natsir. Wew! Basis fans-nya gilaaaaaaaaaaaaaaa banget! Nggak hanya di Indonesia tapi juga di luar. She is outstanding because she is talented. Di usianya yang baru 19 tahun, dia udah berhasil menjadi juara dunia bersama Nova Widianto. Nggak hanya sekali tapi dua kali. Nggak hanya itu, mereka juga berhasil meraih perak Olimpiade Beijing. Bersama Vita Marissa, Liliyana berhasil menjuarai Indonesia Open 2008 dan China Master 2007 di mana saat itu ganda putri Cina mendominasi. Sekarang bersama Tontowi Ahmad, mereka diharapkan bisa mempertahankan tradisi emas Olimpiade di London. Oke. Stop right there. Gue tau mereka pasangan yang cepat naik, hanya perlu kurang dari 1 tahun, pasangan ini bisa masuk 4 besar dunia bersaing dengan pasangan lainnya. Tapi melihat rekam jejaknya, well, terakhir mereka juara MakauGPG. Selebihnya bahkan pernah nyangkut di babak 1 dan 2. Oke, mereka juga juara Sea Games (tapi lawannya semua itu itungannya lapis kedua). Trus juara di SingaporeSS 2011 dan finalis IndonesiaPSS 2011 and…that’s it. Really? Cuman mau bergantung sama 1 pasang ini?

Tontowi Ahmad/ Liliyana Natsir

Terakhir penyisihan Thomas dan Uber Cup 2012, please be realistic, I don’t think we will win the cup next May. Bayangin, tim Uber bahkan musti ikut babak play-off untuk masuk putaran final berebut tempat ke-5! Kita kalah lawan Thailand, Jepang, hampir kalah lawan Singapura! Mengutip perkataan temen gue, “Cobaan dari Tuhan apa lagi yang bisa buat lo sadar??”

Lalu kenapa hari ini gue memutuskan untuk menulis uneg-uneg gue selama 6 bulan terakhir? Karena gue baru saja menonton pertandingan final kualifikasi piala Uber antara Jepang dan Cina yang dimenangkan oleh… Jepang saat posisi mereka ketinggalan 2-0! Oke, tim Cina yang turun memang lapis kedua, tapi toh akhirnya memang bisa dikalahin. Apa kita bisa sementara Thailand aja berhasil mempecundangi kita 2x?

TL gue panas waktu babak penyisihan Uber Cup Indonesia vs. Thailand dimulai. Mulai dari susunan pemain hingga urutan pertandingan. Okey, it matters but it’s also a strategy. To win is about to plan and execute it well. Ada sii faktor keberuntungannya juga tapi keberuntungan itu datang dari persiapan yang matang, skill yang mumpuni dan mental juara.

Too pesimistic? Okay, coba simak ini, pernyataan dari salah satu legenda bulutangkis Indonesia, Rudy Hartono, “Bulutangkis saat ini ‘memble’. Saya melihat ada persoalan dalam program pembinaan para atlet.  Masuk final, tim Uber sudah untung, mereka berjuang seperti itu. Kalau Thomas iya masuk final. Tapi untuk menjadi juara, maaf, saya kira itu sulit. Apalagi main di ‘kandang macan’ (Cina). Kualifikasi saja kita kalah kemarin.” Soal emas Olimpiade, ini katanya, “Hanya kalau ada keberuntungan bisa dapat emas. Saya bukan pesimis, pernyataan saya ini untuk memotivasi mereka.” Ivana Lie juga menyampaikan hal yang sama bahwa tradisi olimpiade bakal lepas. Belum lagi pendapat Taufik Hidayat soal mental pemain yang manja, nggak ada mental juara. Harusnya kalo kalah terus yah harus mau keluar dari pelatnas dan berjuang sendiri.

Ketika gue pikir kita nggak bisa lebih buruk lagi, gue salah. Setelah bertahun-tahun Thomas, Uber dan Sudirman Cup lepas, bisa jadi emas Olimpiade pun akan lepas tahun ini. Sama halnya seperti kita, ada manusia yang bisa dikasih tau baik-baik dan bisa berubah. Ada yang perlu ‘disentil’ dikit baru berubah. Ada yang perlu nyungsep dulu baru bisa berubah. Ada yang dijedotin berkali-kali baru akhirnya berubah. Nah, mungkin badminton kita perlu dijedotin berkali-kali sampe akhirnya sadar kalo kita ada di titik terendah dan perlu berubah. Apa yang harus berubah? Semuanya, atletnya, pelatihnya, pengurusnya, programnya, semuanya.

Like I said, I’m a huge fan of badminton. I always do. I’ll always wait till we come back. Till then, hang tough.