Rabu, 02 Februari 2022

Pandji & Mimpi

 “Miss, udah nonton video Pandji yang baru belum?", malam hari salah satu alumni chat gue.


Lalu gue langsung meluncur ke YouTube dan cari tau apa yang dia maksud. Ternyata, ada vlog yang berjudul “Mimpi Pandji di New York” yang merupakan serial vlog 00:44 Weekly Vlog Eps. 42. 

Gue tuh jarang nonton vlog dia yang ini tapi akhirnya gue nonton episode sepanjang 53:09 menit tanpa skip. My favorite stand-up comedian is leaving Indonesia, for good, to pursue his international carrier in New York.


Kenapa ya gue baru aja ngayal-ngayal seandainya ada seseorang atau perwakilan dari Indonesia yang bisa bawa negara ini seperti BTS (yes, that K-pop idol) membawa negara mereka, lalu Pandji melakukan persis seperti yang gue impikan. Di Netflix-pun mulai muncul komika dari negara Asia  Tenggara seperti Ronny Chieng (Malaysia) atau Jo Koy (Filipina) yang keduanya juga favorit gue. 


Lalu semalem gue nonton klip dari Pandji yang baru, “Pidato Perpisahan Pandji” yang isinya town hall meeting sama karyawan Comika sepanjang 1 jam 33 menit. Ketika gue nonton klip ini, gue tau betapa beruntungnya gue bekerja di tempat gue sekarang karena Pandji benar, bekerjalah di tempat yang sesuai dengan tujuan lu. Jangan sia-siakan waktu elo untuk sesuatu yang gak lu nikmati prosesnya dan tempat yang mungkin lebih cocok ditempatin sama orang yang punya tujuan sama dengan perusahaan. 


Dari semua yang diomongin sama Pandji, gue seneng banget seseorang bisa membagi isi perusahaannya dan benar-benar menjalaninya dengan tujuan yang jelas. Kadang kita emang gak bisa milih mau di mana kerja karena alasan ekonomi. Banyak yang ga percaya sekarang gue jadi guru, jadi guru Art lagi. Bahkan orang tua gue pun gak pernah kepikiran Kalo sekarang gue bisa jadi seperti sekarang. Memang ga mudah mendapat kepercayaan dan membangun semua dari nol. Dari ga punya latar belakang formal untuk mengajar dan seni, ditolak sana-sini, sampe akhirnya balik lagi sekolah S2 demi memperkuat pondasi gue. 


Setelah nonton dua klip Pandji, lalu ada 1 hal yang menggelitik gue tetapi gue sepertinya MALES melakukannya: nerusin sekolah S3. Kenapa? Karena pas S2, 12 tahun yang lalu, gue janji bahkan pernah ngomong gini, “Nanti kalo gue punya khayal-khayal dan kengadi-ngadian untuk S3, tolong setop gue.” HAHAHA. Karena gue kek mo modiar ngerjain S2 yang kalo diliat-liat lagi sekarang, it was not really a big deal. Bukannya mengecilkan arti pengalaman gue, tapi ya emang seharusnya ga perlu selebai itu. 


Kenapa kok gue harus S3 sedangkan gue ‘cuma’ pengen jadi guru dan sudah menjadi guru yang gue impikan? Karena masih ada mimpi lain di atas itu: mendidik calon guru menjadi guru yang lebih Baik untuk generasi penerus. Untuk itu, gue harus sekolah lagi supaya bisa jadi dosen untuk calon guru. Negara ini akan lebih Mudah maju kalau sumber daya manusianya dididik dengan manusia dan sistem yang lebih Baik. Gue merasa ga sanggup Masuk ke sistem dan mengubah, jadi gue lebih cocok menelurkan guru-guru berkualitas lainnya. Ini juga diomongin sama Pandji di town hall meetingnya. Kita harus tau persis apa kekuatan terbesar dan passion kita supaya kita bisa memberikan yang terbaik dan tetap seneng menjalani pekerjaan kita. 


Balik lagi ke Pandji, gue percaya dia bisa meraih mimpinya. Ga hanya itu, dia juga akan membuka jalan bagi yang lain untuk bisa bermimpi lebih tinggi. Banyak orang ga suka sama pilihan atau jokesnya. Tapi gue adalah salah satu orang yang ikutin karirnya dari Kena Deh dan bahkan gue inget dia sempet nge-rap di konsernya Glenn Fredly. Dari situ aja gue sudah tertarik sama orang ini, entah kenapa. Ada kala gue juga sempet sebel sm dia karena pernah singgung soal polisi dan mendukung Anies. Tapi Kalo dipikir emang dia ga boleh punya opini. Hanya karena seseorang ga sepakat sama elo, ga berarti dia jadi orang yang jahat khan? Well, I was young back then hehe. 


Anyway, satu hal lagi sih, gue belajar kalo jangan pernah mengagungkan seseorang. Karena gimana juga manusia tetap tempat berbuat salah. Kalo ini gue pelajari dari PEMILU 2019. HEHE. Soalnya pernah ada yang ngomong, 2 orang yang ga bisa dipegang omongannya; orang lagi jatuh cinta sama lagi kampanye. Tapi gue pengen jadi orang seperti Pandji, emang manusia itu harus hidup dengan mimpi supaya ga ngaco dan bisa ngasi inspirasi ke orang lain. Karena gue perhatiin, orang-orang yang bitter atau negatif biasanya ga punya tujuan hidup. 


Jakarta, 2 Februari 2022

Art Room

12:42 p.m.

Jumat, 29 Juni 2018

Menjadi Manusia Indonesia yang Lebih Baik

#BalasDi18Spesial2018

Sejak kapan ya setiap orang bisa berkata semau mereka tanpa berpikir jauh?
Media sosial memang luar biasa mengubah cara kita berinteraksi dengan orang-orang dekat hingga orang asing sekali pun. 
Media sosial membuat yang jauh terasa dekat, sebegitu dekatnya hingga kita merasa punya hak untuk berkata tanpa memikirkan perasaan orang yang kita ajak berkomunikasi. 

Yang paling membuat gue gerah adalah ketika orang-orang merasa paling benar dan mengoreksi yang salah, terutama soal agama, tepatnya orang Islam. 
Sebegitu perlunya saling mengoreksi sehingga lebih penting menyampaikan apa yang kita anggap benar, bagaimana pun caranya. 

Di belakang rumah gue ada mesjid yang corongnya ngadep ke rumah, seakan-akan corongnya itu cuma diadepin ke rumah gue aja. Setiap Jumat kalo lagi ada di rumah dan sedang 'beruntung', isi ceramahnya beberapa kali menyudutkan pemeluk agama lain, terutama Kristen, sangat provokatif. Isu ini sempat memanas saat Pilkada Jakarta 2017. Apapun tujuannya, yang jelas ingin mendeskriditkan salah satu calon yang kebetulan saat itu adalah pertahana. 

Gue yang di rumah aja mikir gini ya, "Malu sih denger orang Islam memprovokasi ya...minimal laki-laki satu mesjid itu lah, merasa kalo milih non-muslim itu dosa."
Kalau kalian berpikir itu tidak berdampak, kalian salah, dampaknya cukup membuat ibunya temen gue takut masuk neraka karena milih non-muslim. It happened. It was real.

Saat itu gue sudah pada titik capek, marah, kesel tapi nggak bisa berbuat banyak karena gue ngerasa ilmu agama gue gak seberapa. Kalo kata Pandji khan, orang Islam negur pemuka agama yang provokatif nanti dibilang dosa, "Astaghfirullah, tau apa kamu soal agama?" Gitu. Ya emang sih gue nggak tau banyak, tapi gue jelas tau kalo menyebarkan kebencian dan provokasi ya salah. 

Karena, kalo itu benar, kenapa gue resah?

Indonesia butuh pemikir atau cendikiawan Muslim yang progresif. Orang-orang yang kayak gini yang harusnya lebih banyak dikasih panggung. Orang-orang ini yang harusnya lebih sering muncul supaya kita nggak terus-terusan dibegoin. Ini yang tadinya pinter bisa lama-lama jadi bego beneran lho. Takutnya gue jadi salah satunya. 

Indonesia butuh pemikir yang bisa menjelaskan agama secara terbuka, bahwa agama itu gak mutlak benar atau salah, bahwa agama boleh dibicarakan tanpa ada orang yang harus merasa dosa kalo apa yang dia pikirkan gak sesuai sama yang selama ini dipercayai benar. Khan setiap orang punya tafsiran masing-masing. Gue berharap suatu hari nanti ya kita bisa menghormati bahwa setiap orang punya tafsiran sendiri-sendiri tentang apa yang dia percaya dan yang lainnya menghormati keimanan orang tersebut. 

Menurut gue, keimanan itu adalah hubungan pribadi seseorang dengan Allah atau Tuhan. Selama ini, orang Indonesia udah terlalu banyak ikut campur sama urusan yang sangat pribadi ini. Ini juga yang akhirnya bikin orang Islam cuma ngejalanin ritual-ritualnya seperti shalat, puasa, beramal, naik haji, cuma supaya keliatan kayak orang yang bener tapi sikapnya jauh dari ajaran Islam (ini cuma contoh ya, nggak semua orang Islam begini, gak semua orang beragama begini)

Gue butuh safe space untuk berani bicara seperti ini. Sayangnya gue merasa belum banyak tempat aman ini, terutama di media sosial. As if like they have gut to talk about this matter if they are meet in real life. Karena emang paling gampang kalo cuma ngumpet di belakang laptop. So I keep quite. I maintain my silence until...now. 

Pandji berkata, "Menjadi orang beragama seharusnya menjadikan kita manusia yang lebih baik, bukan menjadi orang yang merasa paling benar, karena ketika kita merasa paling benar maka kita cenderung mengoreksi yang salah. Di sinilah terjadi perpecahan."

Betul sekali. Kita mudah sekali terpecah belah. Seperti ketika kita dengan gampang kalah sama Belanda jaman dulu. It is in our history and I think we should learn from it. Karena apapun yang sudah kita capai sampai hari ini, sebagai bangsa dan negara, nggak sepantasnya bubar gara-gara sekelompok orang merasa lebih benar dari kelompok lainnya. Lebih konyolnya, kita yang sesama orang Islam berantem karena ngerasa Islamnya paling bener padahal shalatnya masih ngadep Ka'bah semua. 

Tidak akan pernah salah kok untuk duduk sebentar, berpikir sejenak, tahan emosi untuk ngomong atau ngetik sesuatu, untuk tau apa sih sebenernya duduk perkaranya. Tidak pernah salah untuk memahami sebelum memutuskan untuk setuju atau tidak. Lagi pula, kalaupun enggak setuju, emang kita nggak bisa sepakat untuk tidak sepakat dan saling menghormati itu? Gue yakin kita bisa, memang susah, tapi gue yakin, kita bisa. 

Indonesia bisa. 

Jakarta, 29 June 2018
10:54 pm




Sabtu, 26 Mei 2018

Thomas & Uber Cup 2018

Thomas Uber Cup 2018  sudah memasuki babak final. Akan ada juara baru karena juara bertahan sudah gugur. Setelah menjadi juara bertahan sebanyak 3x berturut-turut dan menjadi juara terbanyak 14x, China kalah di babak semifinal. Ini adalah prestasi terburuk mereka sejak 1984. 

Antara senang luar biasa karena berarti China tidak lagi mendominasi, namun juga semakin khawatir karena persaingan semakin ketat tapi Indonesia belum juga menunjukkan tanda bahwa kita bahkan punya bahkan satu saja tunggal putri yang sebaik Ratchanok, Akane, atau Sindhu apalagi si nomor satu dunia Tai Tzu Ying. Mungkin yang terdekat sepertinya Gregoria Mariska. 

Untuk ganda putrinya sebenarnya bisa bersaing karena ganda putri kalo menurut gue sih cuma adu tahan aja, beda sama ganda putra yang sekarang sudah masuk ke level yang lebih tinggi dan gila setelah era Ahsan/Hendra dan Lee Yong Dae: era kesetanan angin ribut, The Minons, Marcus/ Kevin. They truly bring men’s double level to whole another new level!

Haruslah gue akui bahwa bermain tim dan individual memang berbeda. Minions bisa jadi memecahkan rekor pemegang juara terbanyak sepanjang tahun, tetapi sejak 2018, kekalahan mereka justru terjadi di pertandingan pertama mereka di Thomas Cup. Konon kabarnya Ihsan 2 bulan masih ngerasa bersalah sejak kalah di pertandingan penentuan final Thomas Cup 2016. 

Bermain di event tim beda magisnya. Misalnya Jonatan Christie yang selalu menyumbang angka di Asia Team Championship padahal dia mau juara SS aja susah bener. Atau Anthony Ginting yang udah 2x juara SS malah kalah terus di Thomas Cup kemarin. Atau Firman Abdul Kholik yang rangkingnya sekarang terjun bebas malah bisa diandalkan jadi tunggal penentu. 

Gue seneng banget liat persaingan badminton sekarang. Dulu, ibaratnya ngapain lah ada kejuaran tim kayak gini, toh China udah pasti menang. Sekarang, siapapun bisa jadi juara. SIAPAPUN. Final hari ini dan besok justru Jepang yang bisa jadi mengawinkan Thomas dan Uber Cup. As if like kalo China bisa juara Uber lagi, gue cuma bisa tepuk tangan malesin. Not because I am upset that we don’t win, but I want to see others to win. 

Prediksi gue di awal, Jepang yang akan bawa Uber Cup. Tapi karena lawan mereka di final adalah Thailand, everything is possible. Either way, we will have a new champion! So excited! Terakhir kali Jepang menjadi juara yaitu tahun 1981, lalu kalah di final dari China tahun 2014. Sebelum 2014, mereka tidak pernah sampai ke final sejak 1981. Sedangkan Thailand lebih gila lagi. Ini kali pertama mereka masuk final! Mereka juga hanya sekali sampai di semifinal pada tahun 2012. Keduanya sama-sama berpeluang karena kedua negara memiliki materi pemain bagus walaupun di atas kertas, pemain Jepang lebih unggul. 

Untuk Thomas, honestly, gue mau Jepang kalahin China di final. Setelah Thomas Cup lepas dari China tahun 2014, untuk menyamakan rekor Indonesia, mereka harus setidaknya juara 4x lagi. Setelah itu Jepang dan Denmark juara. Ini kali pertamanya sejak 2014 China masuk final. Kalau mau mundur sedikit agak jauh, dulu Indonesia seperti China di Uber Cup. We have great singles and double players. As if like siapa yang bisa ngalahin Indonesia sih? Taufik HIdayat, Hendrawan, Joko Suprianto, Heryanto Arbi, Ardi B. Wiranata, Alan Budikusma, Ricky/Rexy, Chandra/Sigit, Chandra/ Tony, Tony/Halim. Ibaratnya, tim Thomas lainnya cuma cari runner-up aja lah. Sama ngeselinnya sama kalo Marcus/Kevin ikut kejuaraan. 

Do I think Japan will beat China tomorrow? I hope so. Di atas kertas, sama seperti final Uber Cup, Jepang dan China sama-sama punya peluang untuk menang. I predict sepertinya semua partai akan main. 

Indonesia? Materi pemain putra kita luar biasa kok. It takes a village to create a great player. Can you imagine what we need to create a great team? Persaingan makin ketat. So what should we do? I don’t know really but if we wan to win, we have to live like a champion. Like Hendra Setiawan, Liliyana Natsir, Tontowi Ahmad, Mohammad Ahsan, Kevin Sanjaya, Marcus Fernaldi, Susi Susanti, Hendrawan, Chandra Wijaya, Tony Gunawan. Ya. Seperti mereka. Hidup sebagai juara dan punya mental juara. 

Minggu, 01 Januari 2017

Dear 2016, Thank You!

Dua puluh menit menjelang 2016 berakhir.
Seharusnya sih nggak perlu lebai sih, yaa biasa aja yaa harusnya. Kayak ngelewatin hari-hari biasa aja ya.
Tapi coba deh gue balik lagi ngeliat apa yang sudah gue capai tahun ini.

2016.
Sudah tentu banyak banget yang patut gue syukuri.
Misalnya tiba-tiba gue akhirnya punya kesempatan mengajar anak-anak MYP selama 3 bulan. Awalnya sempet nggak pede untuk ngambil kesempatan ini, tapi akhirnya gue ambil. 
Sempet ngeri-ngeri sedep juga sih. Takut nggak bisa ngajarnya, takut anak-anaknya enggak suka gue. Takut salah ngajarnya. Takut ngacak-ngacak kurikulum orang. Hehe.
Tapi alhamdullilah, ketika gue harus berpisah dengan mereka, gue yang akhirnya berat melepas. Tiga bulan enggak selama yang gue bayangkan di hari pertama gue melangkahkan kaki ke kelas pertama gue. 
I hope I left a good foot print for my MYP students. I love you all. 

Untuk pertama kalinya juga akhirnya gue dikirim ke Bali untuk Immersion Programme. Awalnya gue sediiih banget ninggalin Kinan untuk pertama kalinya. Semalam sebelum pergi, gue bener-bener galau banget. Sempet diingetin untuk bisa tenang dan siap besok harinya karena gue harus bekerja ngurus anak-anak orang lain yang jumlah totalnya lebih dari 50 orang. Awalnya sih baik-baik aja sampai akhirnya terjadi insiden yang membuat kami semua haha absen tdiur padahal besoknya masih ada dua hari kerja. But this was a work duty. Gimana juga akhirnya kita selamat pulang ke Jakarta. And for the first time, I spent my birthday away from home. It was my 32nd birthday. Unforgettable for sure. 

Tahun ini, Kinan masuk sekolah untuk pertama kalinya. Awalnya sih dia happy aja tapi pas ketemu sama lingkungan barunya, yaa dia sempet break-down sih. Tapiiii karena pendekatan yang oke lah, dia seenggaknya tidak kapok ke sekolah. She’s better than me. She is confident now. She is having fun. I’m happy. 

Badmintoooon!!! I still love badminton for sure!
Setelah tradisi emas terputus di London 2012, akhirnyaaaa tradisi itu tersambung kembali setelah pasangan Tontowi Ahmad/ Liliyana Natsir berhasil membawa pulang medali emas tepat pada hari kemerdekaan Indonesia. 

Enggak cuma itu aja, akhirnya tahun ini gue juara Porsekary setelah 7 tahun mencoba dan terus gagal. Finally, work hard paid off haha. Gaya betul! Apa rasanya jadi juara? BIasa aja. Malah makin semangat buat terus main. 

Setelah hampir absen nonton segala pertunjukkan, akhirnya gue nonton dua pertunjukkan terakhir Indonesia Kita, Sri Eng Tay & Satrio Pandito Rakyat.

Dan sebagai penutup tahun yang indah ini, akhirnya setelah absen 3 tahun, Pandji Pragiwaksono menggelar stand-up spesialnya yang ke-4. It was one great performance! Gue bahkan rela ngantri 2 jam lebih buat foto sama dia. 

So thank you so much, 2016. 
It was one great year. Actually I have something else that change my life, but I prefer to keep it to myself. Hope it will be better and better.

Hey, 2017, welcome!


Sat, 31 Dec 2016

23:59

Minggu, 18 Desember 2016

#AksiDamai is A Privilage

#AksiDamai is A Privilage

Jakarta sedang jadi sorotan. Semua mata mengarah ke Jakarta sebulan terakhir ini. Jakarta tempat saya tinggal, yang semua numplek di satu tempat, menjadi barometer apa yang akan terjadi di masa mendatang.

History is in the making now. 

Will Jakarta have a non-Moslem/ Chinese Governor elected?

Saya nggak paham politik. Saya juga nggak paham benar Islam, agama yang saya percaya, sebaik orang-orang Muslim lainnya. Namun ketika ditanya tentang apa yang sedang terjadi saat ini, inilah stand-point saya.

Sejak dulu saya selalu tegas mengatakan bahwa seorang pejabat publlik, siapapun itu, harus berhati-hati berbicara. Mulai dari Marzuki Ali yang dulu mengatakan resikonya penduduk Pulau Mentawai yang tinggal di tepi pantai sampai kena tsunami. Iya bener, waktu itu dia kalau enggak salah Ketua DPR. Masa’ Ketua DPR yang terhormat ngomongnya begitu? Lah, Mentawai khan bagian dari Indonesia, sudah seharusnya menjadi tanggung jawab kita semua untuk membantu khan? Pernyataan seperti itu sih udah enggak nolong, ditambah sangat tidak sensitif. 

Lalu pernyataan Ahok soal surat Al-Maidah? Bahwa memang Ahok tidak sepatutnya berkata seperti itu di depan publik. Apapun itu, bias munculnya, dan akhirnya menimbulkan keresahan. Umat Muslim pun meradang. Seorang Ahok bisa mengumpulkan ratusan ribu, well, jutaan ya? orang berkumpul di jantung ibukota Indonesia, 2 kali. 

Aksi Damai 4 November 2016 yang awalnya terlihat ‘damai’ berakhir dengan kericuhan. Gas air mata sempat dilepaskan. Saya juga mendapat kabar bahwa di sekitar Penjaringan dan Pluit, kediaman Ahok, sekumpulan orang dikatakan melakukan sweeping. Ada kiriman foto pecahan kaca yang dilempar batu hingga segerombalan orang berpakaian putih-putih masuk ke kompleks perumahan. Sempat dikabarkan mall Baywalk ditutup dan orang-orang di dalamnya diinapkan di dalam mall. Semua warga dan marinir bersiaga. 

Saya yang tadinya percaya segalanya akan berjalan baik-baik saja menjadi khawatir. Kok modelnya seperti tahun 1998? Waktu itu saya masih SMP. Masih jelas diingatan orang pertama yang masuk ke Makro Meruya (sekarang Lotte Wholesale Meruya) untuk menjarah. Terus dari siang hingga keesokan paginya. Saya ingat orang-orang bolak-balik di depan rumah dengan barang jarahannya. Kakek saya yang ketakutan sampai menutup stiker Mabes Polri yang ditempel di jendela rumah. Yang ternyata juga terjadi adalah papa saya yang tidak pulang 2 hari karena harus siaga di kantor. 

Tapi saya percaya dengan Jokowi dan seluruh jajarannya. Saya percaya dia tidak akan tinggal diam membiarkan sejarah terkelam yang terjadi di Indonesia terulang lagi. Ketika Jokowi akhirnya mengeluarkan pernyataan bahwa ada aktor-aktor politik di balik aksi damai, saya tahu, bahwa semua ini hanya permainan politik yang berusaha untuk mengambil alih kekuasaan. 

Lalu bagaimana Aksi Damai tanggal 2 Desember 2016? Sama saja. Semua tentang pengambilan kekuasaan. Semua ini tentang segelintir orang yang ingin menghancurkan apa yang susah payah kita bangun sejak reformasi. Indonesia sudah lebih baik dan lebih kuat. Kudeta, apapun bentuknya, akan menghancurkan bangsa ini. 

Tapiiiii, saya juga paham bahwa banyak orang yang merasa perlu membela agama dan kepercayaannya atas apa yang diucapkan Ahok. Bahwa tidak semua orang yang hadir di aksi damai kemarin adalah orang bayaran. Saya percaya banyak sekali orang yang memang ingin datang untuk berkumpul bersama umat Muslim lainnya menuntut keadilan atas penistaan agama. Rasanya seperti ngebelain anak sendiri yang ditabok sama anak orang dan akhirnya punya kesempatan untuk membela diri. 

Namun saya punya opini sendiri, saya merasa bahwa umat Muslim memiliki hak istimewa untuk menyuarakan pendapat mereka, salah satunya dengan menutup jalanan protokol dan sekitar Monas untuk melakukan kegiatan agama. Betapa baiknya pemerintah saat ini dengan mengizinkan aksi damai tersebut terjadi, padahal jalanan yang digunakan adalah milik publik. Seluruh warga Jakarta menghormati bentuk penyampaian pendapat, hak berdemokrasi di republik ini. Sebagai Muslim, kami beruntung punya hak istimewa ini. Karena saya tahu persis bagaimana sulitnya umat beragama dan kepercayaan lainnya untuk membangun tempat ibadah dan menjalankan ibadah agamanya. Apakah mungkin umat beragama lainnya punya kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya seperti Aksi Damai yang lalu? Sampai dua kali lho. Belum lagi ceramah shalat Jum’at yang sering menyudutkan orang-orang beragama lain. 

Coba liat aja apa yang terjadi di Sabuga baru-baru ini (7 Desember 2016). Apa hak kalian membubarkan orang yang jelas-jelas sedang beribadah? Apa hak kalian mengganggu orang yang sedang mengagungkan Tuhan mereka? Sejak kapan Islam seperti ini? Sejak kapan? Saya Muslim dan saya bukanlah Muslim yang seperti itu. Kalian yang membubarkan ibadah seseorang, kalian yang melarang pembangunan tempat ibadah, kalian yang menghancurkan patung Buddha, kalian tidak mewakili saya sebagai Muslim. TIDAK. 

Saya kecewa dengan sikap pemerintah yang seharusnya bisa tegas akan hal ini. Saya masih menunggu apa yang akan Jokowi lakukan sebagai Presiden. Ketika Aher, Gubernur Jawa Barat saja bisa bilang itu bukan masalah besar, I have no hope. Kebebesan beragama menurut kepercayaan masih berupa hapalan teori di buku pelajaran. Saya beruntung menjadi mayoritas di negara ini. Tapi saya tahu banyaknya rakyat Indonesia yang bahkan tidak bisa menikmati hak-hak mereka sebagai warga negara di Indonesia. Ahok punya dua ‘dosa’ untuk bisa jadi pemimpin ibukota Jakarta yang luar biasa plural. Jakarta itu semua ada. Enggak hanya milik mayoritas. Saya rasa kita belum siap menjadi bangsa plural yang ketika menjadi mayoritas tidak menekan yang minoritas, dan yang minoritas tidak merasa minderan. 

Kita tinggal di Indonesia dengan keberagamannya, kenapa ya ini bisa sampai terjadi? Saya juga bingung sekali. Apa karena orang-orang seperti saya tidak bersuara selantang yang lainnya? Apa karena orang-orang seperti saya tidak berani dihakimi oleh Muslim lainnya? Iya. Itu dia. Betul. Saya takut dihakimi oleh umat Muslim lainnya. Saya takut dihakimi oleh penganut agama yang juga saya anut. Lalu kemudian saya paham mengapa minoritas lainnya pun akhirnya enggan bersuara. Saya aja yang Muslim takut!

Saya takut dicap kafir oleh sesama Muslim. Saya takut digurui dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Saya merasa bahwa saya tidak bisa berpendapat dengan tenang kecuali tidak berseberangan dengan pendapat orang-orang yang merasa paling benar. Mungkin itu sebabnya mengapa orang-orang yang merasa paling benar, yang lainnya salah, bisa bebas melakukan apa yang mereka ingin lakukan dengan mengatasnamakan agama. 

Lalu bagaimana dengan orang-orang baik yang sedang diserang orang-orang jahat jika silent majority keep silent? Kenapa ya kita tidak bisa berbeda pendapat tanpa harus saling memaksakan bahwa pendapat itu harus bisa diterima orang lain? Kenapa kita tidak bisa hidup berdampingan dengan damai seperti dulu? Kenapa sekarang sekelompok minoritas bisa saja mengatasnamakan agama lalu melakukan apa saja yang mereka anggap benar sampai tidak ada seorang pun yang mengatakan bahwa itu tuh salah. Iya salah. Yang berhak melakukan penggerebekan, misalnya, adalah pihak berwajib, itu pun juga ada prosedurnya. Iya harus begitu karena kita negara hukum, bukan hutan rimba yang enggak punya aturan. 

Ingat ya, keimanan nggak hanya diukur dari apa yang keliatan di luar. Keimanan adalah privasi yang tidak boleh diganggu oleh siapapun. Yang jelas kita harus bisa hidup saling menghargai dan menghormati. Itu saja. Bisa, Indonesia?

Home
18 December 2016

22:21

Rabu, 16 November 2016

Here I Present Myself: 2016 Porsekary Badminton Mixed Double Champion!

Siapa yang sangka ternyata di tahun 2016 gue akan mencoret salah satu bucket list gue sebagai juara badminton Porsekary. 

Yep, I am a champion! Finally after 7 years attempted, finished as runner-up twice, on November 15, 2016, I finished as number one with my partner, Mr. San Karya.  

Tiap tahun rasanya gue udah nggak mau ikut aja karena mulai dari susahnya cari partner, diajakin partneran sama orang yang sama sekali nggak pernah main sebelumnya sampai ditinggal sama partner beberapa hari sebelum pertandingan pertama. 

Tahun lalu, karena ditinggal partner, akhirnya panitia memasangkan gue dengan orang di luar kampus Simprug. Gue belum pernah main sama dia sebelumnya dan… drawing yang selalu kurang menguntungkan karena ketemu sama seeded player di babak awal. 

Entah mana yang lebih buruk, nggak pernah latihan sama pasangan atau drawing yang nggak menguntungkan. 
Either way, I lost in first match in mixed double discipline but got walk-out in women’s single setelah lawan ditungguin nggak dateng-dateng sampe jam 9:30 malem!

Gagal di mixed-double, satu-satunya harapan adalah di women’s single yang untuk pertama dan seperti terakhir kalinya diadakan. Perjalanan gue cukup mulus hingga ke final tapiiiiii…. karena nervousnya, akibatnya gue bermain under-performed pas di final. Nggak hanya lawan gue anak UKM Badminton, gue juga cuma dikasih 1 skor sama lawan. I did remember what I said to my friend in between sets, “I just want this to be over. I am so tired i could kill  myself.”
Dari tahun ke tahun, makin ke sini, mental gue udah macam mental tempe aja. Belum main, belum apa udah takut duluan sama lawan. Mau gampang, mau susah, takut aja bawaannya. Kalo aja gue nggak di bawah tekanan, mungkin gue bisa dapet skor lebih banyak walaupun gue yakin bakal tetep kalah sih. So I finished as runner-up in 2015 dengan sebotol Mylanta sebagai penopang keresahan gue selama seminggu lebih menanti dari satu pertandingan ke pertandingan berikutnya. 

Believe it or not, winning Porsekary is one of my bucket list. Sepertinya sudah 2-3 tahun lalu gue tweet soal ini. Gue lupa alasannya tetapi gue pengen banget menang di sini. Walaupun lawannya banyak di bawah kemampuan gue, tetapi ada aja 1-2 orang yang jauh lebih bagus dari gue, biasanya anak UKM Badminton yang juga magang. Coba pikir, gimana caranya ngalahin orang yang jauh lebih muda dari gue dan berlatih di klub? Apa nggak mamam tuh gue?!
Setelah dua kali berakhir sebagai runner-up, sekali bersama Pak Ermun, di mixed-double dan women’s single, harapan gue makin pupus ketika tahun 2016 panitia membuat aturan baru: pasangan ditentukan oleh panitia secara acak. Lalu gue pun mengucapkan, “Wasalamualaikum warohmatulahiiii wabarokatuh.”

Sudah sangat tipis keinginan gue untuk ikut karena di awal gue sudah punya beberapa kandidat yang akan gue bawa ke Porsekary tahun ini. Tapi bagaimana mungkin gue bisa melewatkan ajang tahunan ini setelah penasaran selama bertahun-tahun nggak bisa menang? Akhirnya gue mendaftarkan diri dan berharap nasib baik akan berpihak sama gue. 
Akhirnya waktu yang ditunggu tiba, hasil undian pasangan dan pertandingan muncul. Begitu tahu akan berpasangan dengan Pak San, ada muncul sedikit harapan untuk menang, minimal sampai semifinal lah, soalnya…. begitu sampai semifinal, ternyata gue satu pool sama yang ngalahin gue di final women’s single tahun lalu dan yang ngalahin Pak San di mixed-double! Pak San sendiri juga yang ngalahin gue tahun lalu di mixed-double pun kalah di semifinal! Tapiii, ada lah sedikit harapan menang karena pasangannya ini nggak sekuat tahun lalu, still, he’s good though. I was nervous. 

Babak pertama dilalui dengan super duper nervous. Kalo gue masih bermain segugup babak pertama, nggak mungkin banget gue bisa menang di semifinal, terlepas lawannya emang lebih jago dari gue. Babak pertama sebenernya nggak berat sama sekali lawannya, lumayan buat coba-coba lapangan sama partner. Hanya saja kita berdua masih nervous. Walaupun gue inget, nggak banyak bikin salah sendiri, tapi gue masih grogi banget mainnya. Beberapa kali juga pukulan Pak San keluar padahal pukulan dan smash-nya kenceng & tajem!

Melenggang ke semifinal, enggak ada persiapan fisik secara khusus sih, karena yaa mo gimana lagi? Lapangan Simprug nggak bisa dipake buat latihan. Lagian mau latian apaan lagi deh. Tapi sejak 2 bulan lalu gue suka ngerekam pertandingan ala-ala Srimulat khan tuh. Gue selalu terhibur nonton rekaman pertandingan gue sama temen-temen, entah karena akhirnya gue bisa liat sendiri gimana gue main dan ada beberapa match yang akhirnya gue bisa bilang, “Wow, ternyata elo bisa main sebagus itu ya,” atau ketawa geli ngeliat 4 orang wakwau main badminton. Hahahaha. Anyway, watching my own matches boost my mood and confidence. Ketika tau lawan gue adalah yang mengalahkan gue tahun lalu, one thing that I can say a day before the match was if I play in my best form, I might win the match! 

Begitu pun orang-orang yang gue tanyain, suami gue, temen-temen bahkan murid gue, “Kamu bisa aja menang, peluangnya 50-50 kok.” Wow, di sini gue merasa semakin percaya diri. Harus gue akui pula, bahwa mungkin gue terlalu rendah menilai diri sendiri. Bahwa benar adanya yang paling sulit itu ya mengalahkan diri sendiri kok. Kalo emang lawan di atas kita sekali pun, selama mental bertandingnya adalah memberikan yang terbaik & gak mau gampang mati, apa pun bisa aja terjadi. So, I hope I can beat myself so I can beat my opponent.

And, you wont believe what happened! I won the semifinal!!! Entah karena kami bermain selepas mungkin mengalahkan rasa gugup dan lawan yang juga ternyata sama gugupnya, gue ngotot untuk bermain sebaik mungkin. I couldn’t believe myself! Banyak banget pukulan-pukulan gue yang biasanya nggak masuk, ini masuk terus. Sedikit banget unforced error daannn partner gue gilaaaa! Gada matinya! Dan yang paling penting lagi adalah Pak San is one of the greatest player yet most humble! Itulah sebabnya kenapa gue bisa cepet gelling sama dia karena dia menganggap gue setara dengan dia sehingga dia mempercayakan bola-bola yang memang seharusnya gue ambil tapi tetap bisa menutupi kekurangan gue. Backhand yang menjadi salah satu kelemahan gue justru menjadi pukulan yang sering membuahkan poin. Karena ketika backhand gue masuk dengan sempurna, bakal sangat tipis dan rendah di depan net. Silakan mamam pukulan backhand gue. 

Pak San and I, a minute after won the semifinal against  strong opponent.
He said, "Fotonya mah nanti aja kalo udah menang di final."
And I said, "Udah menang lawan mereka aja bagus banget, Pak. Yang penting foto dulu."
Memang sih kalo backhand gue lemah dan harus lebih kenceng lagi, lalu gue bilang, “Nggak perlu kenceng, asal masuk & jadi poin.” What happened in semifinal proved it. Lagian, kalo soal pukulan kenceng, ya itu tugas partner laki gue di belakang sih.  Namun harus gue akui bahwa respon defense gue masih kurang banget makanya sebisa mungkin kami selalu memperlambat tempo permainan dan sebisa mungkin menurunkan bola. Kemenangan kami di semifinal juga dikarenakan lawan yang bermain di bawah performa terbaik mereka. Bisa jadi karena mereka nggak biasa main mixed-double sama-sama. Memang susah juga kalo spesialis tunggal harus main ganda. Siapa bilang main ganda gampang, enggak, lebih susah. Mungkin nggak secapek single fisiknya, tapi main double bisa jadi lebih capek hati haha.

Kemenangan kami di semifinal signifikan dengan skor 21-10, 21-11. Gue sebenernya lebih parno kalo angkanya ketat karena gue suka bloon kalo main di angka-angka tua. Untungnya kami selalu memimpin dan menjaga margin dengan baik. 

Melewati lawan berat di semifinal enggak bikin gue lebih tenang ketika berhadapan dengan lawan di final. Setelah Pak San memenangkan pertandingan men’s double, panitia menawarkan kami untuk melanjutkan ke partai final. Ya gue sih oke aja, lah, Pak San gimana? Apa nggak modiar maen sampe 3 games gitu? Tapi daripada musti bolak-balik ke kampus penuh pengorbanan batin, gue setuju aja. 
2016 Badminton Mixed Double Finalist

Akhirnya kami bertanding final di hari yang sama, di mana lawan masih seger karena belum main sama sekali dan gue udah setengah babak belur di semifinal, plus Pak San yang udah 2x main serius malam itu. But well, biasanya gue juga maen sampe jam 9 malem kok, so let’s do it!

Lawan gue di final sebenernya nggak seberat semifinal karena walaupun yang laki-laki lebih kuat tapi secara skill yang cewek jauh di bawah gue lah. Cumaaannn, nah tau khan kalo masih beginner gitu pukulan-pukulannya suka aneh-aneh? Kayak jaman dulu gue main tuuuhhh hahahaha. Anyway, sempet di awal-awal set 1 & 2 kami ketinggalan 4 poin sampai akhirnya bisa ditutup dengan skor meyakinkan 21-12. Gue begitu semangat berkata dalam hati, “Come on! It’s just a set away from the champion title.”

Set kedua sempet agak tegang dan panas karena sempet ketinggalan 8-12 hingga akhirnya bisa match point di angka 20-11 walaupun sempat akhirnya kehilangan beberapa match point dan menang dengan 21-15! Harus gue akui, kalau ditanya mana yang lebih berat, keduanya sama berat, kami beruntung karena kami bisa lepas dari tekanan. Secara fisik, kami sudah mulai lelah di set kedua. Pukulan Pak San mulai banyak ke luar & badan gue mulai berasa capeknya. Kalau sampai rubber game, bisa panjang urusannya. Gue cuma bisikin satu hal ke Pak San, “Kasih aja ke ceweknya.” Well, it’s a game, we want to win. So be it. Karena gue juga sering banget diserang sama lawan yang laki dengan smash-nya. Gue sih nggak masalah, udah berkali-kali latihan di-smash ama bapak-bapak Simprug plus sama guru olahraga pas kena bibir gue sampe jontor! It was nothing compare to what I have in my practice and play in Simprug.

Ketika pukulan depan net Pak San yang bertubi-tubi akhirnya gak bisa dikembalikan lawan, finally, we got the title, Mixed Double Champion! Senang? Jelas! Tapi lebih ke nggak percaya karena akhirnya bisa menang! 

Why is it so important and memorable for me? Because I never been a champion before. Never. Always ended-up as runner-up or second runner-up. Sempet sih waktu mau mulai final pengen bilang ke Pak San, “Pak, saya udah pernah jadi runner-up, pengennya juara kali ini,” tapi gue urungkan because I don’t want to jinx it. Badminton adalah passion gue yang terlambat gue temukan. Seandainya gue temukan itu jauh ketika gue masih kecil, bisa jadi gue udah melanglang buana dengan bermain badminton karena gue nggak bisa bayangkan hidup nggak main badminton. Ketika ada kesempatan untuk main, maka gue bermain. Tujuh tahun yang lalu, gue diajak temen gue untuk main bersama temen-temen di kantor. Dari yang enggak bisa mukul sama sekali, selalu kalah di babak-babak awal, sampai akhirnya gue bisa juara, what a journey & achievement! 

Semuanya nggak mungkin terwujud tanpa dukungan temen-temen gue, so I would like to say thanks to Pak San Karya, Kiki, Mega, Pak Edi, Pak Manik, Pak Didi, Pak Alfret, Nico, Udek Dennis, Pak Ermun, Pak Jito, Hendra, Ibu Alma, Miki, Henry, Bang Sadrakh & Pak Dai, and of course, my always favorite student, Joey, yang selalu lebih semangat ngalahin gue daripada jadi partner gue hehe. This title is for all of us who always excited to be on badminton court and nowhere else. 
With some die-hard fans from Simprug. Haha! Thank a ton!
The champion is signing off now. See you all on court!

Jakarta, 16 November 2016
10:33 P.M.
Bedroom

*Porsekary: Pekan Olahraga dan Seni Karyawan

Rabu, 03 Agustus 2016

Kekerasan Fisik Guru terhadap Murid

Udah lama nggak nulis akhirnya gue kembali dan ingin membahas topik yang sempet rame soal orang tua yang menuntut guru yang mencubit anaknya hingga sampai ke pengadilan. Opini terpecah antara pro sang guru dan pro orang tua. Jadi di mana posisi gue sekarang untuk masalah ini mengingat gue juga seorang guru dan orang tua?

Gue menjadi guru terlebih dulu sebelum menjadi orang tua. Pada awal-awal mengajar, gue selalu menekankan bahwa adalah kewajiban orang tua untuk mendidik anak-anaknya. Jadi gue merasa kalo ada anak murid gue yang koslet, ini pasti orang tuanya nggak bener. Apa sih yang lebih penting dari ngurus anak sendiri sampe mereka nggak keurus? Gue juga keras sama anak-anak murid gue dalam hal disiplin dan tanggung jawab. Gue merasa bahwa itu yang kurang dari rumah, mereka terbiasa diurus orang lain dan tidak diberikan kesempatan untuk belajar melakukan sesuatu sendiri. Mereka juga terbiasa diurus oleh selain orang tuanya seperti pengasuh, supir atau kakek-neneknya. Keterlibatan orang tua hanya sebatas membayar uang sekolah dan memastikan bahwa guru-guru atau pengasuh melakukan tugas mereka & ketika terjadi sesuatu, orang-orang inilah yang akan disalahkan. 

Mau lebih dalam lagi? Banyak orang tua yang bahkan tidak bekerja namun masih menyerahkan tanggung jawabnya sebagai orang tua ke orang lain. Sudah hal yang sering gue temui ketika orang tua bertanya ke pengasuh apa yang dibutuhkan anaknya atau menanyakan apa yang dimakan anaknya tadi pagi atau apakah barang-barang tertentu sudah dipunyai anak atau belum. Jangan kaget kalo si anak lebih sedih ditinggal pengasuhnya daripada ibu atau bapaknya. Separation anxiety sekarang bukan cuma antara anak dan orang tua tetapi antara anak dan pengasuhnya. 

Setelah menjadi orang tua, akhirnya gue bisa melihat perspektif mereka. Menjadi orang tua adalah tanggung jawab besar. Menjadi orang tua berarti meninggalkan ego pribadi dan mencurahkan segalanya untuk anak. Bisa bayangin khan yang tadinya bisa ngelayap sampe malam, bisa tidur jam berapa aja, bisa melakukan hobi semaunya & sekarang setelah punya anak semaunya tergantung si anak. Kapan dia bangun, kapan dia minta ditemenin main, anter jemput anak ke sekolah atau klub. Angkat topi juga untuk yang bahkan nggak punya pembantu atau pengasuh dan tidak bekerja. Bagaimana harus mengatur antara mengasuh anak dengan mengerjakan pekerjaan rumah sehari-hari. Harus gue katakan bahwa tidak semua orang bisa atau mau menjadi orang tua. Buat gue, menjadi orang tua adalah pilihan, bukan tujuan. Sayangkan budaya kita masih menanggap bahwa memiliki anak adalah tujuan, banyak yang nggak tau sebenar-benarnya menjadi orang tua itu kayak apa. 

Orang tua jaman sekarang beda sama jaman dulu. Karena kemajuan teknologi, banyak orang tua yang sibuk sama social media dan urusan di luar rumah. Ibaratnya, orang tua jaman dulu kayak kurang hiburan jadi mau gak mau ya ngurusin anaknya lebih fokus. Menurut gue, selalu ada kelebihan dan kekurangan di setiap generasi orang tua. Namun benang merah yang harus tetap dijaga adalah orang tua seharusnya menjadikan anak sebagai prioritas. Kalo enggak bisa ya nggak usah punya anak. 

Kembali ke perspektif orang tua, iya, jadi orang tua itu berat. Dari sini gue belajar bahwa jika orang tua murid-murid gue bisa memberikan lebih dari apa yang sudah mereka berikan, gue rasa mereka  akan memberikan hal tersebut. Banyak keterbatasan, tantangan, hal lain yang kita sebagai orang yang melihat dari luar enggak tau apa yang terjadi di dalam rumah. Lagian siapa sih yang mau puny anak koslet? Satu statement yang selalu gue sampaikan ke siapapun yang gue ajak ngobrol, 

“Anak-anak murid hanya 1-2 tahun bersama gurunya, tetapi anak-anak kalian akan bersama kalian seumur hidup.”

Kembali ke masalah guru mencubit murid, ini adalah stand point gue, kekerasan, apapun bentuknya, verbal apalagi fisik, adalah salah. Kalo dilihat dari perspektif orang tua, gue nggak akan pernah rela anak gue dipukul, apalagi sama orang lain. Gue pernah mukul anak gue, trust me, nothing good come out from there. Kekerasan fisik itu adalah emergency exit buat gue. Digunakan hanya kalo kepepeeeettt banget. Gue juga paham bahwa nggak semua orang tua itu punya ilmu yang lengkap untuk membesarkan anak-anak mereka. Kalau memang sebagian orang tua masih menggunakan cara itu, ya silahkan saja, tapi jangan kaget kalo hasilnya justru akan ke arah yang tidak produktif. Sekarang gue udah nggak pernah lagi melakukan kekerasan fisik sama sekali. Gue masih meninggikan suara gue kalo memang diperlukan tetapi gue selalu menjaga kata-kata gue yang sifatnya negatif. Gue lebih suka pakai kata “Mama tidak suka” daripada “Mama benci”. Harus juga dijelaskan kenapa tidak sukanya dan menegaskan bahwa yang tidak disukai adalah perbuatannya bukan dirinya. Itu pun juga kadang kalo lagi amsyiong berat, gue suka marah-marah nggak jelas. Yes, being a parent is tough.

Being a parent is tough so why bother? Karena kalo liat hasilnya kerja keras kita, nothing can compare a feeling of being proud as a parent. Nothing. Bahkan gue yang rasanya kayak nggak ada tampang-tampang jadi emak aja bisa terharu biru liat anak gue bisa lebih tangguh dari anaknya sendiri. Some of our hard work seems to be paid off. We are in the right track. 

Nah, dari perspektif guru, bahkan sebelum gue menjadi orang tua, gue tidak pernah melakukan kekerasan fisik terhadpa murid gue. Kenapa? Karena kekerasan fisik adalah cara yang primitif. Kekerasan fisik hanya akan menjadi lingkaran setan yang tidak akan pernah putus. Sebagai guru yang harusnya lebih terdidik dalam menangani anak murid, gue harusnya lebih punya banyak cara dan solusi untuk mengatasi masalah murid gue. Mengutip Pandji Pragiwaksono, 

“Guru yang menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan masalah, pertanda dia juga hilang akal untuk menyelesaikannya secara intelektual.”

Lalu bagaimana dengan pendapat orang-orang yang mengatakan bahwa dengan kekerasan fisik, kita menjadi manusia yang lebih kuat? Toh jaman dulu kita sekolah, guru sering melakukan hal tersebut dan hal tersebut mengajarkan kita sesuatu. Mungkin iya, mungkin juga tidak. Tapi sampai kapan kita mau jadi bangsa yang apa-apa harus ditakut-takutin dulu supaya bisa maju dan kuat? Sampai kapan kita mau teruskan mental bangsa terjajah? Ini khan sama aja sama akar ospek yang isinya cuma menurunkan derajat manusia. Tujuannya apa? Supaya hormat sama senior atau pendahulu? Well, respect is earned. Banyak kok caranya tanpa harus menurunkan derajat seseorang. Kalo sampai hari ini kita masih nggak tau caranya, artinya khan emang selama ini kita hormat karena kita takut atau harus, bukan karena kita emang hormat karena sikap dan perilakunya yang baik. 

Sebagai orang tua dan guru, adalah tanggung jawab gue dan kita semua untuk mendidik generasi penerus sebagai generasi yang siap dengan tantangan, kuat, cerdas, dan yang terpenting punya akhlak yang baik & gue percaya itu semua tidak akan datang dari kekerasan fisik. 

Gue tidak bermaksud menggurui kalian semua kok, ini hanya perspektif gue. Semua gue kembalikan ke orang tua masing-masing, karena satu metode nggak selalu cocok untuk setiap orang. Apapun itu, selalulah ada untuk anak-anak kita. 

Art Room
9:48 a.m.