Rabu, 03 Agustus 2016

Kekerasan Fisik Guru terhadap Murid

Udah lama nggak nulis akhirnya gue kembali dan ingin membahas topik yang sempet rame soal orang tua yang menuntut guru yang mencubit anaknya hingga sampai ke pengadilan. Opini terpecah antara pro sang guru dan pro orang tua. Jadi di mana posisi gue sekarang untuk masalah ini mengingat gue juga seorang guru dan orang tua?

Gue menjadi guru terlebih dulu sebelum menjadi orang tua. Pada awal-awal mengajar, gue selalu menekankan bahwa adalah kewajiban orang tua untuk mendidik anak-anaknya. Jadi gue merasa kalo ada anak murid gue yang koslet, ini pasti orang tuanya nggak bener. Apa sih yang lebih penting dari ngurus anak sendiri sampe mereka nggak keurus? Gue juga keras sama anak-anak murid gue dalam hal disiplin dan tanggung jawab. Gue merasa bahwa itu yang kurang dari rumah, mereka terbiasa diurus orang lain dan tidak diberikan kesempatan untuk belajar melakukan sesuatu sendiri. Mereka juga terbiasa diurus oleh selain orang tuanya seperti pengasuh, supir atau kakek-neneknya. Keterlibatan orang tua hanya sebatas membayar uang sekolah dan memastikan bahwa guru-guru atau pengasuh melakukan tugas mereka & ketika terjadi sesuatu, orang-orang inilah yang akan disalahkan. 

Mau lebih dalam lagi? Banyak orang tua yang bahkan tidak bekerja namun masih menyerahkan tanggung jawabnya sebagai orang tua ke orang lain. Sudah hal yang sering gue temui ketika orang tua bertanya ke pengasuh apa yang dibutuhkan anaknya atau menanyakan apa yang dimakan anaknya tadi pagi atau apakah barang-barang tertentu sudah dipunyai anak atau belum. Jangan kaget kalo si anak lebih sedih ditinggal pengasuhnya daripada ibu atau bapaknya. Separation anxiety sekarang bukan cuma antara anak dan orang tua tetapi antara anak dan pengasuhnya. 

Setelah menjadi orang tua, akhirnya gue bisa melihat perspektif mereka. Menjadi orang tua adalah tanggung jawab besar. Menjadi orang tua berarti meninggalkan ego pribadi dan mencurahkan segalanya untuk anak. Bisa bayangin khan yang tadinya bisa ngelayap sampe malam, bisa tidur jam berapa aja, bisa melakukan hobi semaunya & sekarang setelah punya anak semaunya tergantung si anak. Kapan dia bangun, kapan dia minta ditemenin main, anter jemput anak ke sekolah atau klub. Angkat topi juga untuk yang bahkan nggak punya pembantu atau pengasuh dan tidak bekerja. Bagaimana harus mengatur antara mengasuh anak dengan mengerjakan pekerjaan rumah sehari-hari. Harus gue katakan bahwa tidak semua orang bisa atau mau menjadi orang tua. Buat gue, menjadi orang tua adalah pilihan, bukan tujuan. Sayangkan budaya kita masih menanggap bahwa memiliki anak adalah tujuan, banyak yang nggak tau sebenar-benarnya menjadi orang tua itu kayak apa. 

Orang tua jaman sekarang beda sama jaman dulu. Karena kemajuan teknologi, banyak orang tua yang sibuk sama social media dan urusan di luar rumah. Ibaratnya, orang tua jaman dulu kayak kurang hiburan jadi mau gak mau ya ngurusin anaknya lebih fokus. Menurut gue, selalu ada kelebihan dan kekurangan di setiap generasi orang tua. Namun benang merah yang harus tetap dijaga adalah orang tua seharusnya menjadikan anak sebagai prioritas. Kalo enggak bisa ya nggak usah punya anak. 

Kembali ke perspektif orang tua, iya, jadi orang tua itu berat. Dari sini gue belajar bahwa jika orang tua murid-murid gue bisa memberikan lebih dari apa yang sudah mereka berikan, gue rasa mereka  akan memberikan hal tersebut. Banyak keterbatasan, tantangan, hal lain yang kita sebagai orang yang melihat dari luar enggak tau apa yang terjadi di dalam rumah. Lagian siapa sih yang mau puny anak koslet? Satu statement yang selalu gue sampaikan ke siapapun yang gue ajak ngobrol, 

“Anak-anak murid hanya 1-2 tahun bersama gurunya, tetapi anak-anak kalian akan bersama kalian seumur hidup.”

Kembali ke masalah guru mencubit murid, ini adalah stand point gue, kekerasan, apapun bentuknya, verbal apalagi fisik, adalah salah. Kalo dilihat dari perspektif orang tua, gue nggak akan pernah rela anak gue dipukul, apalagi sama orang lain. Gue pernah mukul anak gue, trust me, nothing good come out from there. Kekerasan fisik itu adalah emergency exit buat gue. Digunakan hanya kalo kepepeeeettt banget. Gue juga paham bahwa nggak semua orang tua itu punya ilmu yang lengkap untuk membesarkan anak-anak mereka. Kalau memang sebagian orang tua masih menggunakan cara itu, ya silahkan saja, tapi jangan kaget kalo hasilnya justru akan ke arah yang tidak produktif. Sekarang gue udah nggak pernah lagi melakukan kekerasan fisik sama sekali. Gue masih meninggikan suara gue kalo memang diperlukan tetapi gue selalu menjaga kata-kata gue yang sifatnya negatif. Gue lebih suka pakai kata “Mama tidak suka” daripada “Mama benci”. Harus juga dijelaskan kenapa tidak sukanya dan menegaskan bahwa yang tidak disukai adalah perbuatannya bukan dirinya. Itu pun juga kadang kalo lagi amsyiong berat, gue suka marah-marah nggak jelas. Yes, being a parent is tough.

Being a parent is tough so why bother? Karena kalo liat hasilnya kerja keras kita, nothing can compare a feeling of being proud as a parent. Nothing. Bahkan gue yang rasanya kayak nggak ada tampang-tampang jadi emak aja bisa terharu biru liat anak gue bisa lebih tangguh dari anaknya sendiri. Some of our hard work seems to be paid off. We are in the right track. 

Nah, dari perspektif guru, bahkan sebelum gue menjadi orang tua, gue tidak pernah melakukan kekerasan fisik terhadpa murid gue. Kenapa? Karena kekerasan fisik adalah cara yang primitif. Kekerasan fisik hanya akan menjadi lingkaran setan yang tidak akan pernah putus. Sebagai guru yang harusnya lebih terdidik dalam menangani anak murid, gue harusnya lebih punya banyak cara dan solusi untuk mengatasi masalah murid gue. Mengutip Pandji Pragiwaksono, 

“Guru yang menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan masalah, pertanda dia juga hilang akal untuk menyelesaikannya secara intelektual.”

Lalu bagaimana dengan pendapat orang-orang yang mengatakan bahwa dengan kekerasan fisik, kita menjadi manusia yang lebih kuat? Toh jaman dulu kita sekolah, guru sering melakukan hal tersebut dan hal tersebut mengajarkan kita sesuatu. Mungkin iya, mungkin juga tidak. Tapi sampai kapan kita mau jadi bangsa yang apa-apa harus ditakut-takutin dulu supaya bisa maju dan kuat? Sampai kapan kita mau teruskan mental bangsa terjajah? Ini khan sama aja sama akar ospek yang isinya cuma menurunkan derajat manusia. Tujuannya apa? Supaya hormat sama senior atau pendahulu? Well, respect is earned. Banyak kok caranya tanpa harus menurunkan derajat seseorang. Kalo sampai hari ini kita masih nggak tau caranya, artinya khan emang selama ini kita hormat karena kita takut atau harus, bukan karena kita emang hormat karena sikap dan perilakunya yang baik. 

Sebagai orang tua dan guru, adalah tanggung jawab gue dan kita semua untuk mendidik generasi penerus sebagai generasi yang siap dengan tantangan, kuat, cerdas, dan yang terpenting punya akhlak yang baik & gue percaya itu semua tidak akan datang dari kekerasan fisik. 

Gue tidak bermaksud menggurui kalian semua kok, ini hanya perspektif gue. Semua gue kembalikan ke orang tua masing-masing, karena satu metode nggak selalu cocok untuk setiap orang. Apapun itu, selalulah ada untuk anak-anak kita. 

Art Room
9:48 a.m.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar