Kamis, 29 Desember 2011

Lesson Learnt


Malam ini gue baru saja menghadiri sebuah stand-up comedy Indonesia, Bhineka Tunggal Tawa menampilkan Pandji Pragiwaksono. Sebagai orang Indonesia, gue salut dengan Pandji yang memprakarsai banyak hal, menjalani hidup dengan passion-nya, dan dia lucu! :D
Yang mau gue sampaikan di sini adalah gue banyak belajar dari Pandji, gue belajar banyak tentang Indonesia dari Pandji, gue belajar untuk tidak mudah sensitif terhadap sesuatu dan mencerna apa yang coba disampaikan seseorang serta terus mengejar passion gue: menulis. Yep, menulis.
Kalau soal kecintaan gue terhadap Indonesia, kayaknya udah nggak mungkin ditanyain lagi betapa cintanya gue dengan Indonesia tapi mengetahui lebih banyak Indonesia betul-betul semakin menebalkan rasa cinta gue. Gue paling suka dengan fakta-fakta sejarah yang diungkapkan – walau pastinya kontroversial – tapi  memiliki perspekif berbeda dari apa yang selama ini kita tahu menurut gue perlu. Kenapa? Karena keraguanlah yang membuat kita semakin ingin mencari tahu kebenarannya. Seperti mencintai seseorang, bukankah kita harus mencintai bangsa ini dengan segala kebaikan dan keburukannya?
Sensitifitas bangsa Indonesia cukup luar biasa. Baru saja gue membaca timeline @Mongol_stres yang sibuk mengklarifikasi sesuatu yang berbau agama. Sepertinya, ada hal sensitif yang menjadi materi stand-up comedy-nya yang menyinggung beberapa pihak. Yang gue lihat bukannya hanya TL-nya saja tapi juga orang-orang yang mention. Wew! Ada ajah deh yang menghujat habis-habisan. Gue nggak bisa bayangin kalo itu gue. Gue bakalan kapok stand-up selama beberapa bulan ke depan. Lalu gue pun berpikir, sejauh mana materi sensitif ini bisa dikembangkan menjadi bahan becandaan? Apa iya beberapa comic ini cross the line? Atau kitanya yang simply sensitive? Beberapa hal yang gue secara pribadi tersinggung dengan materi Pandji karena hal tersebut bersinggungan langsung dengan kehidupan pribadi gue. Yep, nggak tanggung-tanggung, soal polisi dan kepolisian. Soal pekerjaan bokap gue. Bokap gue. My hero. Gue sempet unfollow Pandji ketika dia membahas soal itu. Namun seiring waktu, gue harus melihat ini dari persepsi berbeda. Harus diakui apa yang menjadi materi Pandji tentang polisi adalah benar, tapi seperti kata Pandji juga, jangan liat sesuatu plek-plekan hitam putih. Nggak semua polisi begitu, nggak semua polisi gaptek, masih banyak polisi yang bekerja untuk bangsa dan negaranya dengan baik dan bokap gue bukan orang suci :p Still, he’s my hero ;) Semacam menjadi resilient, sepertinya gue harus menarik terus garis toleransi gue agar nggak mudah sensitif karena sepertinya lebih mudah tertawa daripada mengkerut menyikapi ironi kehidupan.
Terakhir, setelah gue menyelesaikan S2, gue janji akan meneruskan hobi dan kesenangan gue sejak dulu: menulis. Entah apa yang membuat gue berhenti menulis. Sejak SMP, gue tidak pernah berhenti nulis sampai akhirnya gue masuk kuliah.  Mendekati semester akhir, gue berhenti menulis hingga…kini. Banyak hasil tulisan gue yang gue print dalam bentuk buku dan mengonggok di laci karena nggak ada yang mau nerbitin tulisa-tulisan gue. Beberapa kali gue mencoba, semua naskah gue dikembalikan. Mungkin karena penolakan gue inilah yang membuat gue berhenti menulis. Setelah baca buku Pandji dan nonton stand-up-nya hari ini, gue kembali berpikir, masa’ gue nggak punya passion selain ngajar sih? Lalu gue inget betapa gatelnya tangan gue untuk nulis tapi akhirnya nggak jadi apa-apa. Selama 2 jam, gue nulis dan berakhir dengan 3 tulisan setengah jadi yang akhirnya enggan gue teruskan, salah satunya gue apus file-nya. Lalu gue pun berpikir, kenapa nggak gue mulai lagi rajin nulis? Toh semua sinetron dan buku-buku nggak ‘menuntut’ banyak? Kalo baca tulisan gue dulu, nggak jauh beda noraknya sama jalan cerita sinetron sekarang dan terbukti sinetron sekarang episodenya panjang-panjang. Mungkin rumah produksi mau yah beli tulisan gue :p. Sekarang kesempatakan menerbitkan buku lebih banyak daripada dulu. Penerbit nggak hanya itu-itu aja. Isinya ya gitu-gitu aja lah. Penulis yang paling gue tunggu karya-karyanya hanya 2 orang: Andrea Hirata dan Raditya Dika. Andrea karena tulisannya yang cerdas dan lucu. Raditya Dika karena tulisannya yang seputar kehidupan yang sangat dekat dengan kita dan berhasil dia tuang ke dalam tulisan dengan sangat lucu. Jadi, apa tadi alasan gue berhenti nulis?

Minggu, 25 Desember 2011

"Ngucapin Selamat Natal itu Dosa"


*This is a sensitive topic. Hopefully, you're open-minded enough to read this. Happy reading!

Seperti Natal sebelumnya, selalu ada saja wacana muncul tentang tidak bolehnya umat Muslim mengucapkan Selamat Natal kepada umat yang merayakan. Sebelumnya gue nggak pernah tau tentang tidak bolehnya umat Muslim mengucapkan selamat sampai akhirnya seorang guru agama SD menyampaikan hal tersebut. Perlu dicatat bahwa guru agama ini adalah satu-satunya guru agama yang paling gue hormati sepanjang perjalanan pendidikan formal gue. Guru agama lainnya hanya mengajarkan doktrin dan masalah teknis tetapi tidak mencerminkannya di kehidupan sehari-hari. Tipikal. Jadi, setelah 11 tahun mengucapkan Selamat Natal kepada beberapa saudara yang menganut Kristen, gue pun terkejut. Mengucapkan Selamat Natal itu dosa. Nggak boleh.
Sebelum gue cerita lebih jauh, gue mau cerita latar belakang keluarga besar gue yang beberapa merayakan Natal. Adalah beberapa tante gue yang menikah dengan seorang Kristen yang menjadikan gue selalu ‘merayakan’ Natal setiap tahunnya (bahkan sehabis nulis ini, gue akan ke rumahnya merayakan Natal). Bahkan gue pernah beberapa tahun tinggal dengan salah satu tante gue dan ikut ngebantuin pasang pohon Natal. Nggak hanya itu, selama 5 tahun gue disekolahkan di sekolah Katholik sehingga gue akrab sekali dengan ritual Natal.
Ketika gue pindah ke SD lain saat kelas 5, inilah fakta yang akhirnya gue ketahui, mengucapkan Selamat Natal itu dosa. Terus gue musti gimana dong? Gimana kalo ada temen gue yang Natalan? Gimana dengan sodara-sodara gue? Masa’ gue nggak dateng ke Natalan mereka? Untungnya mereka paham dengan ‘kondisi’ gue yang dosa mengucapkan selamat Natal. Selama bertahun-tahun, gue harus menghadapi fakta bahwa berdosa mengucapkan Selamat Natal. Di satu sisi, sebagai ABG yang tumbuh dengan kondisi keluarga gue dan doktrinasi seperti ini, gue bingung & resah luar biasa. Ada yang salah nggak sih? Kalo emang harus begitu, seharusnya tidak meresahkan dan membingungkan. Seharusnya keyakinan tidak meresahkan, tetapi mendamaikan hati. Ini tidak. Gue resah.
Di satu sisi, gue merasa ‘nggak terima’ dengan doktrin ini karena nggak ada yang salah dengan hanya mengucapkan. Ini khan bagian dari silahturahmi yang harus dijaga. Menjalin silahturahmi adalah salah satu nilai Islam tapi di sisi lain mengetahui ini adalah ‘dosa’ sangat mengusik batin gue. Honestly, ‘till now. Belum lagi ada aja beberapa kenalan atau temen yang terus ‘mengingatkan’ soal ‘dosa’ ini di status FB atau Twitter mereka. Salah satunya, “Toleransi boleh, tapi jangan sampai meninggalkan akidah. Dengan dalil toleransi, dia meninggalkan akidahnya. Banyak yang ga tau ilmunya.” Yep, dan statusnya di-“like” beberapa orang dalam hitungan menit. Well, kurang paham apa maksud dari 'ilmu' di sini, hanya gue menekankan, kalo mencoba membuat pernyataan, harusnya jangan setengah-setengah, ibaratnya macam #nomention. Belon lagi isi ceramah shalat Jum’at minggu ini yang isinya, “Boleh menolong non-muslim yang kesulitan, tapi ketika natalan, jangan mengucapkan selamat natal.” Yep, pas shalat Jum’at, di mana corong mesjid yang nyaringnya tak terbantahkan, di dengar oleh seluruh orang kompleks yang jelas-jelas banyak orang non-muslim tinggal di kompleks gue.
Untuk jelasnya, mungkin yang dia maksud ilmu di sini adalah alasan kenapa Muslim dilarang mengucapkan Selamat Natal. Begini loh, jadi yang gue tahu adalah perayaan Natal itu khan untuk memperingati hari lahirnya Tuhan Yesus, Tuhan umat Kristen. Nah, kalo orang Muslim mengucapkan Selamat Natal, itu artinya sebagai Muslim, gue mengamini kelahiran Tuhan Yesus. Artinya gue sebagai Muslim menyekutukan Tuhan gue, Allah SWT, yang artinya lagi itu dosa tertinggi dari semua dosa yang mungkin dilakukan orang Muslim: menyekutukan Allah SWT. Ini dosa besar sekali! Oke, mengimani Tuhan selain Allah SWT itu emang dosa besar tapi apakah dengan mengucapkan Selamat Natal terus gue jadi mengamini adanya Tuhan selain Allah SWT? Please, sebelum emosi, hold that thought. Thanks. (gue yakin temen-temen Muslim pada kebakaran jenggot baca tulisan gue :p)
Yang mau gue sampaikan di sini bukanlah beradu argumen tentang apakah ini dosa atau bisa dinegosiasikan lagi. Nope. Not at all. Mengingat kita tinggal di Republik Indonesia yang mengakui setidaknya 5 keyakinan, bukankah sudah sepatutnya gue juga punya hak untuk menyampaikan pendapat gue soal ini? Gue nggak masalah sejuta umat Muslim bilang gue pendosa dengan mengucapkan Selamat Natal ke seluruh teman dan keluarga gue yang merayakan, tapi jangan paksa gue untuk mengubah keyakinan gue bahwa hanya dengan mengucapkan Selamat Natal artinya gue menyekutukan Tuhan gue, Allah SWT. Iman gue enggak sedangkal itu.
Iman. Itu milik hati. Gue paling nggak suka jika keyakinan gue diusik, dipertanyakan, diragukan. Stop right there. Keyakinan gue itu adalah urusan gue dengan Tuhan gue. Hubungan paling romantis gue dengan Allah SWT dan nggak seorang pun boleh mengusiknya. Cukup deh kayaknya doktrin yang gue terima seumur hidup gue dari pelajaran di sekolah sampe les ngaji gue soal surga-neraka, pahala-dosa. Apalagi ngeliat banyak banget penyiar agama yang jadi artis nggak karuan. Partai-partai berbasis agama yang jatoh-jatohnya korup juga. Stop right there, Arin. Konteks lo melebar.
Christmas Celebration 2008
Gue ini penuh dosa menurut konteks Islam yang selama ini gue pelajari seumur hidup gue. Gue males shalat, puasa Ramadhan banyak bolong, nggak pernah baca Qur’an, dan terakhir gue mengucapkan Selamat Natal kepada teman-teman & kerabat Kristen gue. Lengkap sudah. Hanya saja, gue berserah sama Allah SWT. Terserah mau dibawa gue ke mana nanti matinya gue, mudah-mudahan mati dalam keadaan baik. Namun syukur paling tinggi gue panjatkan ke Allah SWT karena sudah menciptakan gue dengan segala kelebihan dan kekurangannya, memberikan tugas di dunia ini, untuk kebaikan diri sendiri dan mudah-mudahan masyarakat banyak. Janji, nggak akan gue sia-siakan kesempatan hidup ini.
Terakhir, Selamat Natal, dear Friends & Families yang merayakan. Terima kasih untuk teman & keluarga yang memaklumi kondisi ini. Gue yakin, apapun agama elo, hanya satu khan yang elo mau; semoga damai menyertai seluruh umat manusia di Bumi. Right? :)