Minggu, 15 April 2012

Greatest Getaway - Part 4


One Secluded and Heavenly Beaches

Di hari keempat di Bali, kami memutuskan untuk kembali ke daerah Uluwatu untuk menjelajahi pantai. Kami memutuskan untuk menjelajahi Pantai Dreamland di Pecatu Indah Resort, Pantai Suluban dan Pantai Padang-Padang. Namun karena kami nggak menemukan shower room yang layak di Pantai Padang-Padang dan hari sudah semakin sore, kami membatalkan kunjungan ke Pantai Dreamland. Lain waktu mungkin ;)

Kami memutuskan untuk kembali ke Kuta sebelum sarapan di Nasi Pecel Ibu Tinuk di Jl. Raya Kuta. Agak siang kami sampai di sini, sekitar jam 10 pagi. Pada saat itu, tempatnya sepi, mungkin karena bukan jam makan. Berbagai lauk pauk bisa dipilih dengan beragam pilihan. Harganya juga terjangkau. Pas banget buat kondisi keuangan yang makin tiris. Nasi Pecel BuTinuk menjual masakan Jawa Timur. Ada ayam goreng, bakwan jagung, mie goreng, bihun goreng, paru goreng, telur dadar, ayam suwir pedas, dll. Gue pesen ayam suwir pedes, bakwan jagung bihun goreng dan nasi, hanya dengan 9 ribu. Gue merekomendasikan bihun goreng dan perkedel jagungnya. Jangan lupa sambelnya buat memperkaya rasa. 

Setelah makan, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Pantai Suluban. Sebelumnya kami mampir ke Krisna. Krisna menjual beragam pernak-pernik oleh-oleh khas Bali. Ini solusi buat kalian yang males ke Sukowati dan tetep bisa ngoleh-ngolehin dengan harga yang terjangkau. Nggak jauh beda sama Sukowati, paling cuman seribu dua ribu perak, nggak pake nawar dan gerah pula. Krisna terdapat di beberapa tempat, salah satunya di Sunset Road, Kuta. Tempatnya luas dan nyaman. Mulai dari makanan khas Bali, tas, baju, kain, sendal, pajangan sampe lulur Bali. Lengkap.

Perjalanan ke Pantai Suluban tidak terlalu sulit karena kami melewati jalan yang sama ketika menonton Tari Kecak di Uluwatu. Perjalanan ke Pantai Suluban sangat sepi. Kami hampir tidak menemukan mobil lain sepanjang perjalanan. Tapi hati-hati mengemudi di sana karena banyak tanjakan dan turunan yang curam. Hampir nggak mungkin nyasar deh ke Pantai Suluban dan Pantai Padang-Padang. Yang jelas, tepat sebelum Pura Uluwatu, belok kanan dan terus aja sampe mentok. Karena pantainya yang terpencil, lagi-lagi nggak banyak orang yang ke sana.

Sampai di sana, kita cukup membayar 5 ribu untuk parkir. Untuk menuju daerah pantai, kita harus menuruni tangga yang banyak! Nggak hanya banyak, tapi juga lebar-lebar! Pas turunnya hore-hore ajah, pas naeknya, kami harus istirahat beberapa kali sebelum sampe ke parkiran. Apalagi mengingat Agus Leo yang lagi hamil. Agak teggang juga bawa dia turun ke bawah karena ternyata tangganya terjal banget. Makin ke bawah makin terjal dan nggak bisa dilewatin 2 orang. Kalo berpapasan dengan orang, harus ada yang ngalah untuk ngasih jalan arah sebaliknya.

Berhasil sampe di pantai, it was truly breathtaking. Saat itu kami tiba sekitar pukul 12 siang. Untuk menuju pantai, perlu usaha ekstra dan keberanian untuk melewati gua dan menerobos ombak, apalagi kalau lagi pasang. Kami harus menunggu air surut untuk menyeberangi gua menuju pantai. Sebenernya gua ini adalah tebing tinggi yang mengelilingi jalan masuk ke pantai. Di sebelah kanan, air yang pasang membuat kami gentar untuk terus maju ke depan. Kami bahkan nggak tau sejauh mana air laut akan menghempas, jadi hati-hati ya. Ombak hari itu bagus banget buat surfing, kendati demikian belum banyak yang memanfaatkannya. Hanya 1 orang yang terlihat surfing saat kami di sana.
Pantai Suluban
(taken from http://blacksweet-narasyablogspotcom.blogspot.com/2011/05/obyek-wisata-pantai-suluban.html)
Karena kondisi air yang pasang dan akses yang sulit, kami memutuskan untuk tidak menyertakan Agus Leo menyeberang. Lagi-lagi Agus Leo harus rela menjadi Tim Bangku Taman. Nggak hanya batu besar dan cekungan yang dalam, tetapi juga pasir pantai yang kasar dan tajam. Sesampainya di pantai, kami hanya duduk-duduk menikmati keindahan alam. Tidak ada seorang pun selain kami yang ada di pantai tersebut. Tebing yang menghadap ke pantai sangat tinggi dan gue tersadar bahwa kami dari atas tebing tersebut! Pantai yang bersih dengan butiran pasir putih yang kasar yang mengingatkan gue dengan pasir yang dipakai untuk membuat art work anak-anak di kelas. Ow…, jadi pasir itu datengnya dari pantai seperti ini yah? Hmm…

Puas berjemur dan cengengesan di pantai, kami memutuskan untuk kembali. Lagian kasian juga Agus Leo sendirian bersama sekantong salak. Tips dari gue: jangan bawa macem-macem ke Pantai Suluban kecuali elo mau mandi di sana. Selain nggak mungkin juga nyeberangin barang-barang elo ke pantai, nggak ada tempat kering untuk naro barang. Pantai Suluban punya shower room dengan tarif 10 ribu. Mandilah selagi ada shower room karena kami memutuskan untuk enggak mandi karena kami ingin meneruskan perjalanan ke Pantai Padang-Padang. Alhasil, siap-siaplah paru-paru basah apalagi celana satu-satunya yang gue bawa basah diterjang ombak. Konyolnya lagi, untuk mengebersihin baju dari pasir, kami mencari genangan air di sekitar pantai yang kira-kira bisa buat bebersih. Ketika ombak dateng, kami pun terhempas sambil cekakakan, bukan hanya karena konyol kebawa ombak tapi baju yang tadinya udah mulai bersih jadi kemasukan pasir lagi. Belum lagi diliatin beberapa orang yang melintas sambil bingung ngeliat kelakuan kami. Gue sarankan untuk pakai bikini atau baju renang supaya nggak banyak pasir yang masuk ke baju.

Pantai Suluban masih sangat sepi. Nggak banyak orang yang dateng. Mungkin karena medannya yang sulit dan nggak banyak yang bisa dilakukan di pantai tersebut. Ada sii restoran di atas tebing, tapi nggak banyak yang bisa gue ceritakan karena gue nggak ke sana. Yang jelas, tempat ini cantik banget buat kalian yang suka motret.  Sayang banget, sebegitu excited-nya, kami nggak foto-foto lebih banyak. Ternyata kami lebih memilih menikmati waktu dengan keindahan di sana ketimbang menyimpannya di sebuah kamera. Kata Peow, “Kadang ada memori yang hanya ingin elo simpan di kepala supaya elo selalu punya alasan untuk kembali.” I’m agree. Yep, beberapa foto gue ambil dari blog tetangga sebelah karena gue nggak banyak moto di sini. Bener deh, kalian harus ke sana untuk membuktikan sendiri. Sebagai pecinta pantai, gue seneng bisa dapet kesempatan ke pantai yang terpencil seperti Suluban. Tapi buat kalian yang nggak suka pantai, gue sarankan nggak ke Suluban. It’s too tough, Darling.

Okay, setelah foto-foto di kolong tebing, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Pantai Padang-Padang. Oyeah, naeknya lagi jelas tantangan tersendiri. Sumpah! Napas gue abis! Padahal gue masih rajin maen badminton 2x seminggu. Apalagi Agus Leo yang lagi hamil. Tapi yang terbaik sii jalan terus jangan berhenti kalo kuat, biar aja gempor di atas yang penting capeknya sekali ajah. Jangan lupa foto di tangga dengan latar belakang pantainya. Bagus banget pemandangannya.
Girlband gagal, nyari wangsit di Pantai Suluban
Sampe di parkir, kami beristirahat sebentar untuk mengembalikan tenaga yang terkuras setelah naik dari pantai. Serius, gue nggak lebai. Capek abis! Panas matahari lagi asik-asiknya, tapi yang mengagumkan, anginnya sejuk! Really! Makanya kami bertahan sejenak untuk menikmati sejuknya angin sepoi-sepoi.

Perjalanan ke Pantai Padang-Padang lebih menantang. Kami menemukan turunan yang disertai tanjakan super terjal. It’s a perfect U! Nggak keliatan ujungnya sampai kami bener-bener turun. Hati-hati jalan di sini. Nggak usah ngebut lah, mau ke mana juga. Surga? Tapi Pantai Padang-Padang emang surga sih. Perjalanan ke sananya pun indah. Sampai di sana, kalian akan menjumpai jembatan yang akan memperlihatkan keindahan Pantai Padang-Padang. Indah luar biasa. Another breathtaking moment. Lagi-lagi, kalian harus ke sana untuk membuktikan karena gue nggak foto-foto di sana.

Untuk sampe ke pantai, perjalanannnya memang tidak seberat ke Pantai Suluban, tetapi tetap sulit karena tangga menuju pantai sangat sempit dan harus bergantian dengan orang yang ingin lewat dari arah sebaliknya dan diapit oleh tebing yang tinggi. Oya, hati-hati juga sama monyet di sana. Kebetulan gue beli jagung bakar di parkiran dan pas gue mau turun ke pantai, tiba-tiba…. monyet muncul entah dari mana dan gue agak parno ya sama binatang-binatang yang berkeliaran di Bali seperti anjing dan monyet. Elo akan lebih sering ketemu monyet dan anjing daripada kucing di Bali. Lagian kenapa nii monyet baru muncul pas rombongan kami lewat sih? “Mungkin karena jagung elo, Rin, “kata Jeung Win. Gue pikir yah santai aja jalan terus tapi kok si monyet ngikutin dan ternyata benar, si monyet sepertinya pengen jagung gue! Jeung Win yang dasarnya lebih cupu dari gue jadi teggang gila dan bilang, “Arin…., monyetnya ngikutin elo!” Hiiiiiii!! Gue langsung berhenti dan ketakutan tapi nggak rela ngelepas jagung gue. Bukannya memberikan dukungan moral seperti, “Ayo, Arin, pertahankan jagung lo!,” atau “Arin! Ayo lari ke sini, kami selamatkan kau,” Jeung Win malah makin teggang, “Arin! Kasih aja jagungnya! Lempar jagungnya!” Sumpah! Gue teggang abis dan pengen nangis rasanya. Apalagi orang-orang mulai ngeh dan ngeliatin kami. Gue baru aja ngabisin seperempat jagung itu, kepedesan dan kelaparan. Akhirnya Peow memberikan solusi dengan tenang, “Sini, kesiniin jagung lo,” dan gue langsung meninggalkan tempat tersebut, turun ke bawah dan jagung gue selamat. Kera gila! Terima kasih, Peow, penyelamat jagung bakarku *hugs. Jeung Win masih misuh-misuh, “Kenapa elo nggak kasih aja sih?! Gue takut monyetnya loncat ke kita!” Okay, another tips, don’t bring any food down to the beach unless you are a monkey expert.  
Pantai Padang-Padang
Sampai di pantai, kalian akan langsung disambut dengan lembutnya pasir putih di sepanjang pantai. Kalian bisa tidur-tiduran di sana dengan menyewa payung di sana atau berteduh di bawah karang. Kami memutuskan untuk berendam di pantai yang bersih dan menikmati keindahan pantai. Hati-hati berenang di sana karena banyak karang. Kalo airnya surut, karangnya akan keliatan di tengah-tengah air laut. Di Pantai Padang-Padang lebih ramai dibanding Suluban. Mungkin karena pantainya lebih komersil dan lebih mudah dijangkau. Pariwisata di sana cukup hidup. Cuman yang gue nggak abis pikir, ada aja yang foto-foto dengan gaya dan pakaian yang nggak cocok sama situasi pantai. Mulai dari pake baju rapi mo ke mall sampe bergaya tiduran di atas pasir dengan satu tangan menahan kepala. Yep, dan doi laki, Cyiinn! Random. And please, jangan buang sampah sembarangan ya karena gue menyaksikan dengan mata kepala sendiri, ada wisatawan lokal yang buang sampah sembarangan. Tips dari gue: jangan berenang kalo nggak mau basah karena shower room-nya nggak okeh. Belum lagi musti ngantri dengan orang lain. Inilah sebabnya kenapa akhirnya kami memutuskan untuk langsung kembali ke hotel dan nggak jadi ke Pantai Dreamland. Oiya, bawa bekal ke sana karena nggak banyak restoran di Pantai Padang-Padang. Gue nggak tau berapa kisaran harganya, kayaknya sih mahal yah. Kami membungkus makan siang kami yaitu Nasi Pecel Bu Tinuk. Lumayan, pengiritan. Kami berhenti di pinggir jalan sepanjang perjalanan pulang untuk makan siang.

Setelah makan siang, kami melanjutkan perjalanan pulang. Jangan salah jalan karena akhirnya kami harus terjebak macet di Pantai Kuta yang membuat kami menghabiskan waktu 2 jam sajah untuk kembali ke hotel. Sesampai di hotel, kami langsung bergegas mandi karena kami akan meneruskan perjalanan ke sekitar Legian. Kami agak khawatir dengan keadaan Agus Leo yang mengeluh kejang perut sekembalinya dari pantai. Kami khawatir karena memang medan yang ditempuh hari itu paling berat dibandingkan hari sebelumnya. Namun karena ini adalah malam terakhir kami di Bali, ia memutuskan untuk ikut kami makan malam setelah malam sebelumnya ia memutuskan untuk beristirahat di hotel. Untungnya tidak terjadi apa-apa namun kami terus mengingatkan Agus Leo agar banyak-banyak duduk dan istirahat.

Kami memutuskan untuk makan malam di Warung Italia karena kami tidak berhasil menemukan restoran yang direkomendasikan J. Setelah makan, kami melanjutkan perjalanan di sepanjang Jl. Legian. Karena sudah malam, kami hanya berhenti di 2 tempat yaitu toko aksesoris Cocoro dan toko alat musik tradisional Surya Bali Art. Kalian nggak akan kelewatan Cocoro jika melintas sepanjang Jl. Legian. Cocoro begitu mengundang siapapun yang menyukai aksesoris. Aksesorisnya pun unik-unik. Kami menemukan kalung dengan bandul besar dengan diameter lebih dari 20 cm! Kebanyakan Cocoro menjual kalung bernuansa etnik berbahan kayu. Gue menemukan sebuah kalung yang juga merupakan penemuan terbaik gue selama di Bali. Bentuknya seperti pohon tapi isinya buah jeruk semua. Hehehe. Bisa disesuaikan panjangnya. Selain warna oranye, tersedia juga warna hijau. Gue menemukan warna pink terakhir yang akhirnya dibeli Jeung Win. Si bapak penjual – yang ternyata orang Padang – akan dengan senang hati melayani kok. Kami pikir harga di sana mahal, ternyata sangat murah untuk ukuran aksesoris di daerah Legian. Kalung temuan gue itu hanya seharga 25 ribu dan rata-rata kalung dengan ukuran sama juga diharga dengan harga yang sama. Kalo suka aksesoris unik yang nggak pasaran, coba mampir ke Cocoro.
At Cocoro, Legian

Best found item at Cocoro

Setelah puas menjelajahi Cocoro, kami memutuskan untuk menemani Peow membeli ukulele. Kami memutuskan untuk berhenti di toko alat musik pertama yang kami lihat karena hari sudah semakin malam. Kami mampir ke Surya Bali Art di Jl. Patih Jelantik, Legian. Di sana, si penjual yang ternyata orang Jawa, dengan senang hati melayani pengunjung. Saat kami tiba, ada pengunjung lain yang sedang mencoba alat musik pukul tradisional. Kebanyakan alat musik yang dijual adalah alat musik tradisional Australia. Peow yang emang dasarnya suka alat musik sangat menikmati kunjungannya di sana. Akhirnya setelah lihat-lihat dan mencoba beberapa ukulele, pilihannya jatuh pada ukulele seharga di bawah 400 ribu. Setelah puas dengan temuannya, Peow juga mencoba salah satu alat musik tradisional suku Aborigin, didgeridoo. Menurutnya, baru kali ini Peow menemukan toko alat musik selengkap Surya Bali Art. Bali adalah salah satu tempat untuk membeli barang unik dan antik seperti alat musik tradisional. Kalau kalian suka alat musik tradisional Aborigin, mampir aja selagi di Bali.
Ukulele temuan Peow di Surya Bali Art

Didgeridoo
(taken from http://www.didgeridoobreath.com/Learn-How-To-Play-Didgeridoo-s/2.htm)

Malam itu malam minggu, malam semakin larut namun suasana Legian tak kunjung padam. Bahkan setiap café menampilkan atraksi yang liar untuk menarik pengunjung seperi menari-nari di atas meja dan memajang perempuan seksi di depan café. What an advertisement! Jeung Win bahkan menemukan 1 shot vodka hanya seharga 15 ribu! Yah, tapi emang dasar gue nggak paham alkohol, gue nggak ngerti kenapa Jeung Win begitu antusias dengan promo di salah satu café di sepanjang Jl. Legian. Berminat?

Semakin larut, kami akhirnya memutuskan untuk memulangkan Coi2 kembali ke Bang E’en. Gue lagi-lagi tertidur sepanjang perjalanan ke ruko Coi2. Oiya, buat kalian yang domisili di Denpasar dan sekitarnya, bisa lho mampir ke ruko Coi2 dan Bang E’en yang menjual peralatan audio video yang lengkap. Mampir aja ke Sinfonia Audio Video*. Posisi persis seberang Mc. D. They are trustable seller ;)

Nggak kerasa, setelah 4 hari kami bertualang, here’s come the end. I hate it so much but I had a great time with my best friends. Enggan rasanya meninggalkan Bali dengan segala keindahannya. Dengan segala suka dukanya, kami harus melepas Coi2 dan meneruskan kehidupan kami di Jakarta. Siapa sangka sih akhirnya kami bisa sampai di Bali? Ini adalah pengalaman pertama bagi Peow dan Agus Leo ke Bali. Bahkan ini adalah pengalaman pertama Peow naik pesawat! Hahaha, she is not so virgin anymore, right, J?

Buat gue dan Jeung Win, ini adalah kesempatan ketiga kami ke Bali. Tapi ini adalah kali pertama kami menjelajahi Bali sebegitu luas tanpa keluarga dan menyetir dengan modal GPS! We were proud! Hahaha. Karena nggak mungkin gue dan Jeung Win bisa menjelajahi Bali seperti ini dengan keluarga yang ogah rempong. Ini pertama kalinya bagi gue nonton Tari Kecak di Uluwatu, naek water sport, makan nasi pedes Bu Andika, ke Ubud, ke Tegallalang, ke Pantau Suluban dan Pantai Padang-Padang bahkan ke GWK! Apalagi mengingat gue pergi ke Bali dengan hasil keringat gue sendiri. This was one of a memory that I’ll always keep in my mind and share it with my kids someday. I even shared it with my students! They were antusiastic!

I almost cried on the plane before we took off. Nggak percaya liburan udah selesai dan waktu jalan begitu cepat. Nggak percaya bisa pergi sejauh ke Bali dengan temen-temen terdekat gue. Nggak nyangka bisa pergi dan mempersiapkan semuanya tanpa bantuan orang tua gue. Mungkin kalian sudah terbiasa, tapi buat gue, this was a big step. I am a grown up woman ;)

Di kesempatan ini, gue ingin mengucapkan terima kasih banyak buat Bang E’en yang udah mengizinkan Coi2 menggila bersama kami selama 4 hari. Trus buat Ari & keluarga Jeung Win yang akhirnya mengikhlaskan Jeung Win pergi. Pak Manik yang juga mengizinkan Agus Leo yang tengah hamil trimester kedua. Bung Wa’uh sekeluarga yang mengizinkan anak sulungnya, Peow, untuk pergi. Dan tentu saja laki gue, Bayu Putra, yang selalu memberikan gue kebebasan untuk menjelajahi dunia lebih luas lagi. Gue berharap semoga kami bisa berlibur bersama #7Items lengkap! (akan terus berdoa). Yang jelas, gue meninggalkan hati gue di Bali dan akan selalu kembali ke Bali dan perjalanan memang selalu lebih indah ketika kita bertualang bersama teman ;)

15 April 2012
10:03 p.m.
Bedroom

*Sinfonia Audio Video
 Jln. Gatot Subroto Tengah No. 100 X
Kav. 15 Denpasar Bali

Akan ada posting berikutnya untuk melengkapi perjalanan gue selama di Bali yaitu (Not So) Greatest Getaway – Part 5: Footnote. Berisi tentang catatan-catatan kaki tentang pengalaman tidak menyenangkan selama di Bali terkait pelayanan hotel tempat gue menginap, tips-tips bertualangan dengan budget terbatas serta catatan kaki lainnya.

Greatest Getaway - Part 3


Best Shopping Spot & Best Scenery

Okey, di hari ketiga kami memutuskan untuk pergi ke arah yang berlawan dari hari kedua. Sukowati (Gianyar) dan Ubud. Seumur-umur ke Bali, gue belum pernah ke Ubud. Kata Gogo, Ubud itu asri dan sejuk. Rencananya juga kami pengen ke Museum Antonio Blanco, tapi nggak jadi karena akhirnya setelah makan siang, kami ke Tegallalang (daerah persawahan sengkedan).

Setiap pagi, kami berencana untuk berangkat sepagi mungkin, tetapi apa daya, kami terserang jet lag. Jangan sembarangan, biar cuman beda 1 jam, tapi berasa banget karena mo bangun jam 7 pagi pun rasanya susah karena itu artinya body clock gue menanggap masih jam 6. Karena bangun yang selalu ‘kesiangan’, akhirnya kami sampe di tempat tujuan pun kesiangan. Sepeti pas sarapan, kenapa kok rasanya gue udah bangun sepagi mungkin, sampe di tempat udah jam 9 lewat. Matahari udah tinggi banget dan kegiatan penduduk udah rame. Kami berencana sarapan di café Bamboo di Jl. Poppies Lane, Kuta. Gue acungin jempol buat usahanya nyamain sarapan hotel. Ada American Breakfast (telur, buah, roti, selai, kopi/teh) seharga 18 ribu. Harganya terkesan murah, apalagi dibandingin sama resto lain sekitarnya, tapi kalo dipikir-pikir mahal juga ya.
American Breakfast at Bamboo Cafe, Poppies Lane 1, Kuta
Setelah sarapan, kami bergegas ke Sukowati, Gianyar. Ternyata jalan ke Sukowati nggak segampang jalan ke Uluwatu kemarin. Musti ngelewatin kota Denpasar yang banyak belokannya tentunya dan lebih rame dibandingin Uluwatu. Mengikuti navigasi foursquare ternyata cukup menantang karena banyak banget arah yang ditujukan ke jalan-jalan kecil (jalan tikus tepatnya) karena memang rata-rata jalanan di Bali itu sempit. Bener-bener ndeso banget jalanan ke sana. Bahkan Sukowati yang terkenal itu pun adalah desa kecil. Eniwei, sempet beberapa kali harus muter balik karena belokan yang kelewatan, akhirnya kami sampe juga di Sukowati. Tujuannya jelas cuman satu: belanja.

Tak dinyana, yang namanya cewek, udah niat pengen nggak belanja, akhirnya belanja juga. Lumayan banyak lagi. Kebiasaan orang Indonesia yang tentu saja dimanfaatkan negara-negara lain macem Singapura atau Malaysia, mereka tau kalo orang Indonesia suka belanja dan ngasih oleh-oleh. Tradisi ngasih oleh-oleh ini sebenernya dateng dari mana ya? Sejak kecil gue selalu diajarkan untuk memberi, iya, betul memberi itu baik kalo emang ada duitnya, lah, kalo nggak ada, gue sering berakhir dengan menghabiskan uang cuman buat orang lain. Sampe rumah, gue mikir, ini kok nggak ada sisanya buat gue sendiri sih? Bahkan nyokap gue bilang, “Kamu jangan gitu dong, nanti kalo orang lain jalan-jalan, kamu pasti dibales dikasih oleh-oleh juga.” Lagi-lagi, ini tradisi yang gue kembalikan ke opini masing-masing. Oh, yep, kuping gue dah cukup panas lah denger komentar orang yang nanyain, “Mana oleh-olehnya?” setiap mereka tau gue abis jalan dari mana atau liburan ke mana. Sebaiknya gue berpegang teguh dengan prinsip bahwa gue liburan atau jalan buat nyenengin diri sendiri. Nggak ada kewajiban dari siapa pun untuk gue ngasih oleh-oleh ke orang. Masalah gue nggak dikasih oleh-oleh, silahkan aja. Apa gunanya ngasih oleh-oleh kalo terpaksa? Tapi biasanya gue tetep ngasih oleh-oleh ke orang rumah (terutama pembantu dan supir) karena oleh-oleh sederhana gue akan sangat dihargai mereka.

Di Sukowati gue menemukan beberapa items yang akan gue beli lagi kalau gue kembali ke Bali: hunting tie dye shirt (sudah pasti!) dan… daster. Tie dye shirt ini udah jadi atasan favorit gue sejak tahun lalu. Biasanya gue padanin sama jins, celana pendek, atau celana jasmine. Koleksi gue lumayan banyak, tie dye favorit gue jelas yang komposisinya berwarna cerah. Nggak hanya sekedar cerah, tapi juga serasi. Kalo daster, ini mah daster biasa, cuman coraknya kayak celana pantai Bali yang warna-warni. Bahannya katun yang adem. Cocok buat di rumah. Oiya, jangan lupa beli lulur mandi Sekar Jagad. Tawar aja, kemaren gue dapet 7500 perak. Pilih yang wangi bengkuang dan green tea. Jangan mau beli 10 ribu, gue liat di Krisna aja 8500 perak.
One of my favorite tie dye shirt

Belanja di Sukowati harus pinter nawar. Harus! Dari pengalaman gue kemaren, ternyata pedagang di sana ngambil untung banyak banget! Mereka buka harga tinggi dan kita harus berani nawar rendah. Untuk tie dye shirt, gue dapet 12 ribu. Baju bamboo 10 ribu. Kain pantai Bali yang halus bisa 10 ribu. Daster panjang selutut gue beli 30 ribu dan itu dibuka dengan harga 60 ribu, pas gue tanya di toko yang akan gue rekomendasikan ini, dia jual 22 ribu! Hati-hati juga sama penjual yang ‘jemput’ kita dari depan dan digiring ke lapaknya. Mau nggak mau khan kita ‘terjebak’ musti beli di lapaknya. Kalo yang jual muji-muji atau ibu-ibu tua dan akhirnya kasian, jangan gentar! Inget aja patokan harga di atas, dari 2 taun yang lalu masih sama segitu.

Nah, kalo ke Sukowati, langsung aja ke belakangnya di lantai 1. Deket yang jualan lukisan-lukisan. Sayangnya nggak ada nama toko di lapaknya, tapi gue punya alamat lengkapnya (liat di bawah*). Saat itu yang melayani kami Mbak Ayu. Perempuan yang bahkan belum genap 17 tahun ini nggak cuman ramah tapi ngasih harga yang murah banget. Sangking murahnya, mo ampe kojor lo nawar, nggak bakal turun karena emang segitu harganya. Coi2 menemukan salah satu penemuan terbaik gue selama di Sukowati: kaos Seminyak University. Sisa tinggal 3 potong dan dijual hanya 25 ribu! (3 potong=25ribu). Sangking kesenengannya ama si Mbak, Peow menawar dengan percaya diri, “5 potong 50 ribu deh!”. Lalu Jeung Win membalas, “Mega! 3 potong 25 ribu!”. Peow nggak kalah ngotot, “Ya iya! 5 potong 50 ribu!” dan gue hanya celingukan mikir ini siapa yang lebih ‘masuk akal’. Tapi Mbak Ayu akhirnya menengahi dengan senyuman lengkap dengan logat Bali-nya yang khas, “Kaosnya cuman tinggal 3 itu.” Yep, Mbak Ayu adalah satu-satunya orang asli Bali yang gue temukan sangat murah senyum dan ramah sama kita. I learnt something that day, I found the best shop in town and think before you bargain. Hahaha!
Pasar Seni Sukowati

Dengan Mbak Ayu

Best found in Sukowati: Seminyak University t-shirt
Puas muter-muter (tepatnya duit juga udah abis), akhirnya kami meneruskan perjalanan ke Ubud. Untuk pertama kalinya ke Ubud, gue cukup terkesan dengan kondisi di Ubud. Mirip dengan Kuta dan Legian. Banyak toko dan turis asing tapi udaranya sejuk nggak seperti di Kuta yang deket pantai. Kami memutuskan untuk makan di Nuri’s Mexican Grill. Di resto ini terkenal dengan menu pork ribs dan pork chop. Karena gue belum pernah makan pork ribs sebelumnya, jadi gue nggak bisa membandingkan apakah pork ribs di sini enak atau enggak. Yang jelas menurut Peow, rasanya enak. Porsi dan harganya juga masuk akal. Satu porsi pork ribs yang bisa dimakan berdua hanya seharga 85 ribu. Untuk side dish, coba home made French fries. Coba juga nachosnya dan ice milk tea (bagi penggemar teh tarik). Oiya, harus sabar kalo mau makan di sini. Di saranin untuk nggak makan di jam-jam orang makan karena pasti bakal rame banget. Waktu makan ke sana aja yang udah lewat jam makan (sekitar jam 3 sore), kami musti harus menunggu untuk dapet bangku. Ada sekelompok orang yang hanya ngobrol dan cuman 1 orang aja yang makan. Mereka nggak mau pergi sampe salah seorang dari tamu yang dateng sebelum kami menduduki tempat mereka di saat mereka masih asik ngobrol. Siap-siap bau panggangan juga karena panggangannya ditaro di depan pintu masuk. Buat yang nggak bisa makan pork, bisa pesen menu lain seperti grilled chicken. Tenang aja, mereka masak grilled chicken terpisah dari pork-nya.
Pork ribs & ice milk tea

Nachos

At Nuri's

Setelah kenyang, kami memutuskan untuk menikmati pemandangan di Tegallalang. Di sini mata kita akan dimanjakan dengan hamparan sawah bertingkat yang sejuk dan asri. Karena ini bukan tempat wisata, nggak ada tempat parkir khusus, jadi harus parkir di pinggir jalan. Hati-hati yah karena jalanannya sempit dan sebelah kanan jalan langsung tebing persawahan. Di sepanjang pinggir jalan, banyak café yang menghadap langsung ke persawahan. Kami singgah di Rumah Loja. Pesan aja 1 minuman hangat seperti pilihan Peow yaitu kopi susu yang dicampur kelapa. Harganya lumayan mahal, secangkir kecil dihargai 15 ribu. Untuk berfoto, kita diperbolehkan turun ke bawah. Ada juga bapak-bapak yang meminjamkan panggulan hasil tani tapi yaa harus bayar. Banyak foto deh di sini karena pemadangannya bagus banget.
Tegallalang

Perfect view, right?

With cup of tea
Keasikan foto-foto, nggak sadar tau-tau udah jam 6 sore. Akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke hotel. Sempet ribut karena GPS Coi2 dan foursquare Jeung Win nggak sepaham. Beberapa kali harus muter balik karena salah jalan padahal sebenernya sama aja.  Butuh 2 jam untuk kembali dari Ubud ke Legian. Kami juga menemukan beberapa titik macet sepulang dari Ubud. Ternyata hari itu sedang ada perayaan adat Bulan Purnama. Seluruh warga Bali berbondong-bondong ke pura untuk bersembahyang menjelang sunset. Bulan purnama yang dimaksud pun begitu besar dan dekat! Indah. Bertepatan pula dengan peringatan Paskah. Kami juga melewati sebuah gereja besar di daerah Kuta/Legian. Suasana hikmat terasa sampai ke jalanan.  

Sepulang dari hotel, kami memutuskan untuk bergegas mandi dan melanjutkan makan malam di daerah Seminyak. Sebelum kembali ke hotel, salah satu staf Ceria Transport (travel di mana kami menyewa mobil) meminta kami untuk meninggalkan kunci mobil di front desk karena kami menutupi mobil lain. Saat kami mau berangkat ke Seminyak, ternyata kunci mobilnya dibawa supir! Alhasil kami harus nunggu lebih dari 30 menit dalam keadaan lapar. Gue akan menulis segmen terpisah tentang pelayanan Hotel Tunes Legian dan rekanannya.

Lucu. Sepanjang perjalanan ke Uluwatu dan Ubud, kami hampir nggak nyasar tapi pada saat mencari Warung Italia di daerah Seminyak yang hanya berjarak 3 kali salto nyampe, kami nyasar. Seperti yang gue bilang sebelumnya, banyak jalan sempit di Bali yang sebenernya emang jalan yang harus dilewatin untuk menuju suatu tempat. Seperti ketika kami ingin ke Warung Italia**. Kami harus ngelewatin jalan sempit dan gelap untuk sampe ke Jl. Kunti yang posisinya ada di dekat Jl. Legian. Jalan itu harus dilewatin karena Jl. Kunti hanya bisa dilewati 1 arah dan untuk ke arah sebaliknya, harus ngelewatin jalan sempit dan gelap ini (gue lupa apa nama jalannya, kalo nggak salah sebelah Warung Made Legian).
At Warung Italia, Seminyak
Akhirnya kami sampe di Warung Italia jam 10 malam. Kami parkir di pinggir Jl. Legian dan jalan kaki ke Jl. Kunti karena kehabisan akal untuk masuk ke Jl. Kunti. Setiba di sana, suasana restoran sudah sepi tapi tenang aja, mereka buka sampe jam 12 malam. Gue merekomendasikan Warung Italia untuk makan malam karena rasanya yang enak dan harganya yang cukup terjangkau. Mereka restoran spesialis pasta dan pizza. Ada juga menu buffet juga dengan harga terjangkau. Porsinya emang keliatan kecil tapi kalo disambi dengan 2 potong pizza tipis super yummy, pasti kenyang kok. Coba aja buffet lasagna, grilled chicken & potato-nya, ada juga canneloni isi bayam yang juga yummy. Harga sepotongnya di bawah 20 ribu. Untuk pizza, ambil aja ukuran 8 potong untuk 4-5 orang. Range harga dari 60-90 ribuan. Salah satu yang jadi favorit kami adalah Bomba Special (non-halal). Tapi yang non-halal pasti sama enaknya karena roti dan kejunya yang bikin enak. Langsung meleleh di mulut. Kita juga bisa ngeliat chef-nya bikin adonan pizza yang dilempar-lempar ke atas. Resikonya, kalo kita makan deket oven, ya panas. Hehehe. Pelayanannya, hmm…, standar lah, tapi lagi-lagi gue tidak merasakan keramahan seperti yang gue rasakan di Jakarta. Kami pun akhirnya memutuskan untuk meninggalkan restoran karena staf di sana sibuk ngeberesin peralatan masak dengan suara yang berisik seperti nandain udah saatnya elo pulang.
One of the best pizza (damn it, i forgot the name!)

Bomba Special (taken from http://flamingochipsandcrumbs.blogspot.com/)
Kami pulang sekitar pukul 11.30 malam. Setiba di hotel, kami merancang perjalanan besok. Di segmen berikutnya, gue akan bercerita tentang perjalanan kami di hari keempat. Rencananya kami akan kembali ke daerah Uluwatu dan mengunjungi pantai yang terpencil dan dikelilingi tebing-tebing tinggi. Selain itu kami juga akan menyempatkan diri untuk berjalan di sekitar Jl. Legian.  Yep, kurang pas rasanya kalo ke Bali tapi nggak jalan-jalan di Legian.

15 April 2012
10:07 a.m.
Bedroom

*Arya’s – Lukisan
Jero Mangku Made Sumatra
Pasar Seni Sukawati
Blok C Lantai Bawah
HP. 081 337 338 880

**Warung Italia
Jl. Kunti No.2 Seminyak
Bali

Sabtu, 14 April 2012

Greatest Getaway - Part 2


One Perfect Adventures and Magical Cultures

*Bli: sebutan ‘Abang’ atau ‘Mas’ di Bali

Okay, kali ini gue akan cerita gimana serunya hari kedua di Bali. Tadinya Peow mau belanja di hari kedua karena doi nggak bawa baju banyak. Hem, resikonya, kalo belanja di awal, uang bisa abis di satu tempat. Gue sii nggak terlalu pengen belanja karena gue emang nggak berniat belanja banyak dan ngasih oleh-oleh, itu sebabnya gue nggak terlalu pengen ke Sukowati. Tapi karena yang lainnya pengen, akhirnya kita pergi ke Sukowati tapi tidak di hari kedua. Akhirnya kita pergi ke Sukowati di hari ketiga mengingat kebutuhan Peow akan pakaian, agak kasian juga kalo dia berakhir masuk angin karena telanjang ke mana-mana.

So, hari kedua, kami memutuskan untuk water sport di Tanjung Benoa, Garuda Wisnu Kencana (GWK) dan nonton Tari Kecak dan Epik Rama Shinta di Uluwatu. Sebelum ke Tanjung Benoa, kami sarapan di Nasi Pedas Bu Andika yang fenomenal ituh. Halah. Wew, banyak yang bilang pedes, bahkan laki gue bilang kalo gue nggak akan menikmati makan pedes di sana karena terlalu pedes tapi gue kuatkan diri untuk mencoba dan ternyata nggak sepedes yang dibilang orang. Mungkin karena masih pagi (menu dan sambel belum keluar semua) atau karena gue makan nggak pake sambelnya. Rasanya juga enak, gue coba makan ayam suwir, usus ayam goreng dan sayur apalah itu yang wangi kemangi. Enak! Gue merekomendasikan untuk makan di Nasi Pedas Bu Andika. Hati-hati aja ama sambelnya kalo nggak kuat pedes tapi tetep ada pilihan yang nggak terlalu pedes. Rasanya enak, harganya murah!

Sarapan di Nasi Pedas Bu Andika
Setelah sarapan, mulainya petualangan kami berlima ke Tanjung Benoa. Agak teggang karena ini pertama kalinya kami akan jalan jauh, nyetir sendiri dengan modal foursquare dan GPS. Untungnya jalan ke Tanjung Benoa termasuk gampang. Cuma hati-hati sama motor yang bakal nyetopin elo sepanjang jalan ke Tanjung Benoa. Nggak usah takut, mereka mau nawarin water sport, tapi kalo nggak mau ya nggak usah berhenti. Sampe di sana, matahari maha dahsyat nyinarin pantai. Wow! Superb banget panasnya. Tapi gue suka panas kayak gini. Suka membelang dengan aktivitas seru. So, sampe sana kita deal lagi sama orang di Kanaka Ocean. Harga yang kami dapet juga negotiable. Murah banget dibanding harga yang dipublikasikan di internet. Akhirnya kami memutuskan untuk maen big marble (bentuk lain dari konsep banana boat), flying fish (konsep sama dengan banana boat tapi bisa terbang) sama parasailing (terbang pake parasut yang ditarik sama kapal). Sementara gue, Peow, Coi2, dan Jeung Win maen water sport, Agus Leo harus rela jaga kandang.
Siap-siap naek big marble dengan penuh ke-sotoy-an
Awalnya kami seneng-seneng ajah karena bisa naek big marble berempat. Kami juga dijanjiin untuk nggak dijatohin di tengah laut, nggak kayak banana boat di mana pada akhirnya kita bakal jatoh di tengah laut. Big marble juga stabil. Seru lah bisa maen big marble rame-rame karena flying fish cuman bisa berdua dan parasailing sendiri-sendiri. Jeung Win sempet nanya, “Parasailing bisa tandem nggak?”, si Bli jelas bilang, “Nggak bisa lah, udah gede begini.” :D GUe sendiri juga termasuk 'Tim Bangku Taman’. Tim Bangku Taman adalah tim di mana isinya orang-orang cupu yang cuman berani sampe bangku taman di setiap permainan thrilling (misalnya Dufan), tim ini juga bertugas jagain tas di bawah pohon bangku taman tersebut. Hihihi. Tapi sejak di Jakarta gue memantapkan diri untuk mencoba beberapa permainan. Ada sih snorkling, cuman gue udah pernah ngerasain snorkling di Pulau Seribu. Prinsip gue, yang penting udah pernah ngerasain. Jadi, gue beranikan diri untuk naik parasailing dan flying fish. Ini tantangan buat gue karena gue takut ketinggian. Gue lebih suka bermain di atas air ketimbang di udara. Lalu gue menyadari bahwa bermain di air sama menegangkannya dengan bermain di udara karena kalo maen di aer, elo bisa keselek aer laut sedangkan kalo maen di udara, seenggaknya kalo jatoh, elo cukup nyemplung ke laut dengan pelampung yang siap menahan elo di atas permukaan air.  
Berangkat dari pantai --"

Kesenangan karena bisa have fun bareng di atas big marble, kami pun berlari menuju kapal. Gue dan Coi2 duduk di depan sedangkan Jeung Win dan Peow duduk di belakang. Gue pikir si Bli bakal nemenin  kami di kapal. Tapi tidak, si Bli cuman ngedorong doang. Sisanya…., kami  harus berjuang sendirian. Begini, ternyata keputusan untuk naek big marble itu…., hmmm…., keputusan yang kurang ditunjang dengan fakta. Ada beberapa fakta yang perlu elo ketahui sebelum naek big marble:
1. Elo harus tau berapa kecepatan kapal yang narik big marble.
2. Elo harus tau BAGAIMANA si Bli menarik big marble.
3. Elo harus punya cengkraman yang kuat.
4.  Elo harus punya 1000 nyali
5. Elo harus tau seluruh fakta di atas.

Dan kami semua nggak tau fakta di atas! Tadinya gue pikir kita cuman ditarik ala ala Istana Boneka gitu, ternyata yah…gitu deh, macam ditarik kapal motor berkecepatan tinggi. Kalo cuman ditarik yaahh..masih okey lah, yang tidak kami perhitungkan adalah si Bli narik dengan kecepatan tinggi dan ngepot berkali-kali ke kanan dan ke kiri. Alhasil, cuman Tuhan yang tahu berapa lama kami bisa bertahan di atas big marble. Gue bahkan nggak tau ternyata ada cara tertentu untuk megang pegangannya. Si Coi2 bilang, “Rin, gini pegangannya, biar gak lepas!” di saat kapal lagi kenceng-kencengnya! Di otak gue bergulat antara tetep dengan pegangan gue dan memegang lebih erat dengan resiko gue akan jatoh cepat atau lambat karena pegangan gue ternyata salah atau…gue ganti cara megangnya tapi resiko kepental (nggak cuman sekedar jatoh) lebih gede mengingat kecepatan kapal. Bahkan si Peow teriak, “Kita setengah jam loh kayak gini!” Bisa pulang ke Jakarta tinggal nama kalo setengah jam begini! Akhirnya setelah kurang lebih 3 menit, kami diantar ke tepi pantai. Yang tadinya semangat foto2 sebelum berangkat, pas balik, kaki ama tangan pada gemeteran semua. Sampe di pantai, pada duduk nggak kuat bediri, padahal abis itu mau naek flying fish. Jeung Win sempet gentar tapi akhirnya terpaksa naek ke atas kapal motornya.
Kembali dalam keadaan luluh lantah. Sebagian bahkan percaya bahwa ada bagian tubuh yang ketinggalan di laut.
Naik flying fish itu asyik. Tegangannya medium lah. Seru! Pas di atasnya juga nggak lama, awalnya gue nggak tau kenapa tapi pas gantian gue yang di kapal dan Coi2/ Jeung Win di flying fish, gue tau kenapa nggak bisa lama terbang: untuk terbang, kapal harus dipacu dengan sangat cepat dan harus ngebelah gelombang laut yang cukup tinggi saat itu. Akibatnya, gue terpental-pental dan jatoh ajah! Kaki kiri gue sampe lebam. Gue rasa akhirnya si Bli berenti karena gue jatoh. Agak konyol setelah berani naek flying fish, gue malah jatoh di kapal motornya.
Woohoo! Flying fish is so fun!
Terakhir, parasailing kayaknya pas banget buat jadi penutup water sport. Kami diajarin buat pasang kuda-kuda pas mau terbang dan cara turunnya. Bli-Bli di sana genit-genit. Ada aja yang nyolek-nyolek gue sampe nanya-nanya dari mana ajah. Fufufu. Trus pas turun, diteriakin pake megafon, “Coi2!!! Tarik yang biruuu!!” Karena Peow dan Coi2 selalu mendarat dalam keadaan terjatuh, maka gue pikir, wah, susah nih buat turun elegan, makanya gue siap pasang kuda-kuda buat turun dan ga pake nyungsep. Yang ada, gue malah tegang pas mau turun dan akhirnya gue menyungsepkan diri. Setelah sampe di hotel, gue baru tau ternyata si Coi2 nyungsep karena didorong ama si Bli-Bli-nya :D. Parasailing asik banget. Elo bisa liat garis pantai sepanjang mata memandang. Indah dan gue nggak nyangka gue berani naik parasailing. Secemen-cemennya elo, cobalah parasailing kalo udah sampe di Bali. It is a must. Saat itu sempet sii agak keder karena ada beberapa kapal yang narik parasut, apa nggak takut kesemrimpet satu sama lain? Enggak lah, mereka udah ada orbitnya masing-masing kok. Sempet juga Agus Leo mau naek jetski lantaran udah biasa naek motor. Helloooowww, tetep ajeh, lagi hamil, Cyiiinnn! Water sport aman buat ibu hamil adalah snorkling, sempet di tawarin tapi Agus Leo nggak mau. Yah, alhasil doi jadi Tim Bangku Taman aja hari itu.
A must try!
Oiya, di Kanaka Ocean ini ada beberapa gazebo buat berteduh, penting banget soalnya kita bakalan gerah abis mandi atau bebersih. Gazebonya di bawah pohon-pohon gede. Soal shower room, yah, seadanya lah, bener-bener seadanya apalagi beberapa kali airnya mati. Agak harap-harap cemas juga pas lagi sampoan tau-tau aernya mati. Lah, pas udah beres, deres lagi aernya. Ke sana bawa perlengkapan mandi lengkap, baju ganti yang nyaman (celana pendek, kaos tipis, daleman, atau waktu itu gue pake sundress), topi lebar, sunblock, after sun lotion, sendal karet.

Setelah beres, kami memutuskan untuk makan di Warung Nyoman di daerah yang sama. Hmm…, makanannya lumayan lah, suasananya juga standar restoran di Bali, rasanya juga biasa aja, cuman yang rada males yah harganya yang cukup mahal buat kantong budget traveller. Pelayanannya, hmm… tau deh, kok rasa-rasanya orang-orang di Bali itu nggak seramah di Jakarta ya (jarang senyum, tampang jutek)? Mungkin karena mereka ‘turis asing-minded’, mereka cuman ramah sama orang asing, sama kita yah gitu, kalo pun ramah, mereka ujung-ujungnya ngasih bantuan dan ngarep tips. Tips-nya juga nggak bisa gocengan, pasti mahal karena lagi-lagi standar turis. Nah, yang ramah itu justru pendatang yang menetap di Bali. Banyak banget tempat yang gue datengin yang ternyata bukan punya orang Bali. Pas diajak ngomong, lho, kok medok Jawa? Hehehe. Atau ternyata orang Madura, sempet ketemu orang Padang yang punya toko aksesoris di Legian (nanti lengkapnya yah).

Okay, setelah kenyang, perjalanan berlanjut ke Garuda Wisnu Kencana (GWK). Masuk ke sana cukup bayar Rp. 30,000/ orang. Gue lupa apa mobil bayar juga ya? Kayaknya iya. Sampe sana, tempatnya lumayan adem karena banyak pohon. Tapi saran gue, parkir di tempat yang adem, soalnya setir mobil ampe panas banget, gue harus nunggu beberapa menit untuk ngademin panasnya. Kebetulan ada pertunjukan tari Legong. Abis itu, kita boleh foto bareng sama karakter-karakternya.
Plaza Garuda

Di depan Plaza Garuda
Keren buat pre-wed nih
Lanjut dari nonton, kami muter-muter di kompleks GWK. GWK itu tempat patung Garuda Wisnu Kencana yang belum jadi. Patung yang paling sering diliat dan difoto adalah bagian kepalanya. Sayangnya, baterai kamera gue abis! Bisa sii dapet secepret dua cepret, tapi nyebelin ajah baterai kamera bisa abis pas scenery-nya bagus-bagus. Sebenernya yang fenomenal itu bukan kepala patungnya loh, tapi tebing-tebing tinggi yang terhampar di seluruh kompleks GWK. Bayangin, dari lapangan luas yang panas, di pinggirnya ada tebing-tebing tinggi yang kalo masuk ke bayangannya jadi adem banget. Tapi entah yah, kenapa patungnya nggak diberes-beresin dari dulu. Katanya sii, kalo selesai bisa lebih tinggi dari Patung Liberty, cuman kapan, Cyiiinnn?

Abis muter-muter, kami memutuskan untuk ngaso bentar di salah satu warung di sana, di bawah pohon rindang. Tadinya gue mikir harga makanan di sana mahal, ternyata nggak juga. Es cendol udah paling pas banget, cukup 6000 perak. Nah, yang jualan tuh ramah banget! Ternyata pas buka mulut, deee…, logat Sunda! Khan, yang ramah itu biasanya pendatang. Nggak bilang semua penduduk asli sana nggak ramah, ada juga sii, tapi sepanjang observasi gue ya begitu. Puas dengan cendol, gue muter-muter toko-toko di sana, dan gue tertarik sekali dengan topi lebar warna-warni. Dengan 50 rebu, gue akhirnya memutuskan untuk beli. Salah satu penemuan terbaik gue di Bali.
Best found: Topi rainbow. Coba cek tempat lain siapa tau lebih murah.
Untuk ngejar Tari Kecak di Uluwatu, akhirnya jam 4 sore lewat dikit, kami bergegas meninggalkan GWK. Tepatnya di Pura Uluwatu. Jalannya abis mentok. Sangat disarankan untuk dateng kurang dari jam 5 sore, karena lebih dari itu pasti macet. Tari Kecak di sana terkenal karena dipentaskan saat sunset di atas tebing yang langsung berhadapan dengan pantai. Truly breathtaking. Oya, hati-hati sama monyet di sana yang tiba-tiba keluar dari hutan. Sama tanjakan yang lumayan cihuy buat Agus Leo yang lagi hamil. Trus kalo ada orang yang mau nganterin, mendingan nggak usah. Soalnya ujung-ujungnya pasti minta tips. Tricky ya wisata ke Bali. Satu sisi elo butuh pemandu tapi sebenernya kalo paham kita bisa sendiri kok.

Penjualan tiket dibuka sekitar jam 5. Satu orang harus membayar 75 ribu. Untuk harga itu, elo puas lah nonton totalitas seniman-seniman Bali. Mereka semua penari hebat! Karena dateng lebih awal, dipastikan elo akan dapet kursi paling enak, bisa milih, kalo enggak, elo harus rela desek-desekan nggak kebagian tempat. Akhirnya mereka nyediain bangku plastik lebih untuk penonton yang nggak kebagian kursi tapi nggak kebagian liat sunset. Sayangnya karena awan tebel banget hari itu, gue pun nggak bisa liat sunset. Terlepas dari pertunjukkan itu sendiri, ada hal lain yang sangat menarik perhatian gue. DI tempat itu, seluruh warga dunia berkumpul. You name it! Bahkan sinopsis cerita yang dibagikan pun ditulis dalam berbagai bahasa. Gue sempet ngeliat ada versi bahasa Jepang, Inggris, dan Rusia. Hebat! Dan kita bisa liat betapa seluruh penonton saat itu sangat antusias menonton. Bahkan Coi2 curi dengar ada turis yang bilang, “It was worth the traffic.” As an Indonesian, surely I am so proud.  
Bersama warga dunia lainnya
Pertunjukkan dimulai pukul 6 sore. Tari Kecak adalah tarian yang dibawakan oleh 70 orang pria tanpa alat musik apapun. Bunyi-bunyian disuarakan dari mulut dan mereka konsisten hingga akhir pertunjukkan selama 1 jam. Percaya nggak percaya, ada aura magis selama pertunjukkan, well, semuanya gue kembalikan ke kepercayaan masing-masing. Gue nggak akan menceritakan detil pertunjukkan, tapi ini…ada satu karakter yang bisa muncul seenak jidatnya dan ngisengin penonton. Tau-tau ada aja di antara penonton. Yep. Si Hanoman. Bahkan dia sempet ngisengin Jeung Win dengan ngambil kacamatanya. Beruntungnya lagi si Peow sempet foto bareng pas dia lewat di bangku penonton. Ada juga unsur komedi di tengah-tengah pertunjukkan. Agak mengejutkan karena settingannya dari awal serius. Yep, Tari Kecak Uluwatu is highly recommended. Nonton deh.
Tari Kecak & Epik Rama Shinta. A must seen performance!
With Hanoman
Sepulang dari sana, kami kelaparan dan memutuskan untuk berhenti di…warung lele. Hahaha, ini warung lele random loh. Si Peow bilang, “Pokoknya cari yang ada motor banyak parkir.” Rasa? Yah, boleh lah, enak. Makanan di daerah mah enak semua. Lele di Bali itu 1 porsi dapet 2 ekor. Murah pulak. Trus gue juga sempetin beli martabak dan harganya juga murah banget. Ambil yang spesial dua porsi cuman abis 35 ribu dan ternyata enak! Penjualnya ramah dan yep mereka pendatang.

Hokeh, sepulang dari warung lele, kami pun kembali ke hotel. Sepanjang perjalanan, dari yang gelar panti pijet, mobil bau minyak angin sampe maen EYD (ngomong harus pake EYD). Ternyata susah yah ngomong pake aturan EYD dan geli kalo ngomong pake EYD, aneh banget orang-orang random macam gue ngomongnya rapi. Mungkin memang EYD itu hanya dirancang atau cocok untuk bahasa tulisan resmi. Bahkan bahasa lisan formal pun bakal canggung banget kalo pake EYD.

Sampe hotel, dengan sisa tenaga, kami mandi dan merencanakan perjalanan esok hari. Btw, bensin masih utuh loh sepanjang perjalanan hari ini. cukup dengan 100ribuan, 3 hari bersama Karimun. Karena hari ini diabisin di daerah Uluwatu, maka besoknya kami akan menjelajahi Ubud. Beda dengan Uluwatu yang panas karena deket pantai, Ubud itu adem karena di daerah yang tinggi. Nggak cuman ke Ubud, kami memutuskan untuk shopping juga di Sukowati. Cihuy! Peow nggak jadi masuk angin deh. Jadi, tunggu segmen berikutnya yah!

14 April 2012
8:01 a.m.
Bedroom   

Kamis, 12 April 2012

Greatest Getaway - Part 1


It’s All about Surprise & Surprise!

Kali ini gue akan cerita banyak tentang perjalanan liburan gue ke Bali. Karena panjang, jadi gue akan bagi ke beberapa segmen. Nah, yang ini baru pembukanya aja, yaitu hari pertama sejak gue menginjakkan kaki di Bali. Happy reading!

Akan selalu ada alasan bagi setiap orang untuk kembali ke Bali. Betul khan? Gue berharap siapapun kalian pernah ke Bali dan sebaiknya ke Bali sebelum ke kota atau negara lain. Bali adalah pulau kecil yang dikenal mancanegara. Bali bahkan lebih terkenal daripada Indonesia sendiri. Ketika berangkat dari Bandara Internasional Ngurah Rai, akan jelas terlihat garis pantai persis seperti apa yang digambarkan di peta. Kali ini gue akan bercerita tentang suka duka gue selama di Bali. Mulai dari ketar-ketir jadi nggak nih ke Bali, kesotoyan naik big marble sampe maki-maki orang lokal di kota mereka sendiri. Pada akhirnya, gue akan selalu ingin kembali ke Bali.

Bermula dari rencana yang disusun jauh-jauh hari tepatnya 9 November 2011 untuk memberikan kejutan kepada Coi2 yang berdomisili di Denpasar, Bali. Setelah berembuk akhirnya gue, Jeung Win, Peow, dan Agus Leo sepakat untuk berangkat pada tanggal 4-8 April 2012. Berharap-harap cemas semoga aja nggak ada aral melintang hingga akhirnya kami berempat bisa pergi di hari yang udah ditentuin. Keribetan pun terjadi, mulai dari booking hotel, booking mobil, booking water sport, hingga kekhawatiran Jeung Win yang memutuskan untuk nggak berangkat pada H-1! Tantangan terbesar adalah bagaimana menyembunyikan rencana ini dari Coi2, mulai dari menghubungi Bang Een (suami Coi2) supaya Coi2 nggak ke mana-mana di tanggal tersebut sampe berhati-hati untuk nggak salah masuk kamar chat setiap ngomongin soal keberangkatan ke Bali.

Makan siang sebelum kena turbulence --"
Tapi akhirnya atas seizin Yang Maha Kuasa, kami berangkat ke Bali dan tiba di sana dengan selamat.  Ketika tiba, cuaca cerah menyambut. Suasana bandara yang sedang direnovasi bikin nggak nyaman.  Mudah-mudahan renovasi cepet beres karena sudah saatnya Bali punya bandar udara yang mumpuni. Sampai di sana, kami udah dijemput transpor yang dipesan melalui internet di Jakarta. Kami menginap di Tune Hotels Double Six, Legian. Sesampai di hotel, kami check-in dan hanya cengengesan ngeliat kamar yang super sempit dan berpikir bagaimana memuat 4 orang di atas kasur queen size dengan salah seorangnya hamil! Akhirnya kami memutuskan untuk buka 1 kamar lagi karena kami butuh tidur yang berkualitas.

Airplane newbie
Menunggu di ruang boarding
Awalnya kami berpikir untuk ke tempat si Coi2 besok harinya mengingat kondisi Agus Leo yang sedang hamil, takutnya kecapean. Tapi karena semangat memberi kejutan yang udah di ubun-ubun, maka kami memutuskan untuk pergi di malam itu juga. Dengan bermodal taksi, alamat lengkap, menelpon Bang Een, dan patokan ruko di depan Mc.D, akhirnya kami berangkat. Karena gue minum antimo pas berangkat, tak disangka tak dinyana, efeknya masih kebawa sampe malem. Di pesawat cuma tidur sebentar (lagian gimana bisa tidur kalo pas berangkat sempet ngerasain turbulence gila-gilaan sampe Jeung Win memilih pulang jalan kaki), pas nyampe ngantuknya nggak karu-karuan, akhirnya membawa gue tidur sepanjang perjalanan ke ruko Coi2.

Akhirnya gue terbangun karena gue dibangunin anak-anak. Mereka nanya di mana tepatnya ruko si Coi, padahal jelas-jelas gue cuma tau alamat lengkap tapi nggak pernah ke sana. Untungnya Agus Leo menanyakan letak ruko lebih jelas, sehingga kita nggak pake nyasar untuk sampe ke sana. Udah jam 9 WITA dan ruko jelas udah tutup. Harap-harap cemas semoga rencana penggrebekan berhasil, kami masuk. Peow di depan bertemu Bang Een yang ngebuka pintu untuk pertama kalinya. Pertama kali meilhat Peow, Coi2 menangis terharu nggak karuan sambil jerit-jerit khas gayanya. Dikarenakan si Bubu, anjing kesayangan si Coi2, gue dan Jeung Win memilih untuk pasang kuda-kuda. Rada parno juga sama anjing karena sejarah panjang masa kecil gue. Mulai dari sering digonggongin anjing pas lewat depan rumah si anjing setiap berangkat sekolah, ngeliat sepupu digigit anjing yang sama sampe dikejar anjing dan sukses manjat pager orang. Udah nggak pake malu lagi gue asal selamat dari si anjing.  

Setelah bermewek ria, akhirnya kami satu-satu menyampaikan titipan dari Jakarta buat Coi2. Mulai dari buku Vabyo yang diidamkan sejak dulu, kado pernikahan dari Gogo hingga kegagalan membawakan red velvet yang udah diputerin seharian sehari sebelum berangkat ke Bali oleh all the members, #7Items. Yep. We call ourselves as #7Items. Macam perkumpulan anak-anak ABG tanggung/ alay jaman SMA.  Abis itu, mulailah Coi2 menguak satu per satu ‘petunjuk’ yang ditinggalkan kami di hari yang sama  seperti twit Jeung Win, “3tahun yang lalu aku di sini.”, atau twit Peow, “Sudah saatnya ganti jam nih.”, sampe Agus Leo yang ngetwit ketegangan sepanjang perjalanan ke bandara yang macet gara-gara banjir, “Doa orang kejebak macet di tol: Ya Allah, lancarkanlah jalanku, jauhkanlah banjir. Aamiiin.”, plus tambahan twit tektokan soal pijet Mirota (hapah sih?!) Dan gue, tak ada kabar (sok misterius).

Soal kejutan, gue akui gue ini adalah perencana kejutan gagal. Sejak dulu gue ngerasa gagal kalo udah urusan ngasi kejutan, tapi gue paling sering kena target kejutan. Mulai dari SD saat temen-temen gue tidak mengajak gue ke pertandingan bola, merasa tersishkan, akhirnya gue diajak untuk ikutan maen bola. Ajakan itu akhirnya malah menjebak gue sendiri ke kejutan ultah gue. Alhasil gue pulang dengan tepung yang nyampur ama keringet. Terharu karena mereka segitu perhatiannya ama gue, tapi tau khan jaman dulu, tepung dan telur pasti maen. Belon lagi ketika gue dikasih makanan ringan kesukaan gue seharga 50 perak, Ciki Orin, pas gue buka ternyata isinya 2 belalang gede2 warna coklat. Asli lah gue terika-teriak hampir nangis. Satu lagi pas kuliah, gue dikasih kejutan sama temen kampus gue. Awalnya temen gue ngajak curhat di kelas untuk ngalihin perhatian gue, nggak ada 10 menit, segerombolan orang masuk dan ngucapin selamat. Kali kejutan ini, gue agak surprise juga karena gue termasuk ‘baru’ di geng tersebut, mungkin karena ada salah satu dari mereka naksir ama gue. Hihihi. Kejutan juga gue dapet pas kerja, #7Items masukin balon di mobil gue beserta hadiah kacamata warna pink susu.

Lalu karena ketidaktegaran gue menyiapkan kejutan, gue menyerah membuat kejutan sampe akhirnya gue menyiapkan kejutan untuk Jeung Win beberapa tahun lalu. Ketegangan menyiapkan kejutan itu sebanding dengan hasil yang didapet. Waktu itu kami memasang balon-balon beserta tulisan lengkap dengan nomor telepon Jeung Win di mobilnya. Atau saat kami ngasih kejutan ke Peow di lapangan badminton pas ulang tahunnya dengan ngasih raket badminton yang Peow pilih sendiri. Ngakunya sii dia ngeh bakal dikasih kejutan, tapi tetep aja doi cengengesan kesenengan. Sejak itu gue terus melatih kemampuan menyiapkan kejutan. Kejutan berikutnya saat gue, Gogo dan Agus Leo menyiapkan scrap paper untuk J, Peow, Jeung Win dan Coi karena mereka resign tahun lalu. Ceritanya bisa dibaca di “It’s Not a Goodbye” (http://jurnalsiontacerdas.blogspot.com/2011/06/it-is-not-goodbye.html).

Dan tentu saja rencana kejutan ke Bali untuk Coi2 adalah rencana kejutan terbesar yang pernah gue rancang bersama temen-temen gue. Karena awalnya memang kami mau ke sana saat pernikahan Coi2, tapi karena kendala waktu, kami memutuskan untuk datang sebulan setelahnya. Setelah perancangan matang, kami yakin, kami bakal berhasil mengejutkan Coi2 di hari H. Ada sinyal yang mengindikasikan kalo Coi2 kayaknya tau kami bakal dateng sehari sebelum keberangkatan. Ada sedikit pengalihan isu seperti Agus Leo yang ngaku pulang kampung ke Klaten sampe gue yang bilang supaya Coi2 banyak-banyak doa aja supaya gue bisa ke Bali ketika Coi nanya kapan ke Bali.

Dan akhirnya kami di Bali. Kejutan yang dipersiapkan sejak lama jadi nggak berasa ngeliat senengnya kami semua ada di Bali nengokin temen. Apalagi rencana ke macem-macem tempat udah disusun. Mulai dari nyewa mobil dan nyetir sendiri dengan modal foursquare, desek-desekan pas tidur karena akhirnya Coi2 ikut nginep 3 malem di hotel, ngakalin kamar hotel yang sempit buat gantung baju dan anduk basah, sampe ngejagain Agus Leo yang lagi hamil.
Finally, we are here!
Di posting berikutnya, gue akan cerita bagaimana serunya hari kedua di Bali. Mulai dari water sport, nyicipin cendol di GWK, sampe diisengin Hanoman di Uluwatu.

12 April 2012
12:04 p.m.
Classroom