Minggu, 15 April 2012

Greatest Getaway - Part 4


One Secluded and Heavenly Beaches

Di hari keempat di Bali, kami memutuskan untuk kembali ke daerah Uluwatu untuk menjelajahi pantai. Kami memutuskan untuk menjelajahi Pantai Dreamland di Pecatu Indah Resort, Pantai Suluban dan Pantai Padang-Padang. Namun karena kami nggak menemukan shower room yang layak di Pantai Padang-Padang dan hari sudah semakin sore, kami membatalkan kunjungan ke Pantai Dreamland. Lain waktu mungkin ;)

Kami memutuskan untuk kembali ke Kuta sebelum sarapan di Nasi Pecel Ibu Tinuk di Jl. Raya Kuta. Agak siang kami sampai di sini, sekitar jam 10 pagi. Pada saat itu, tempatnya sepi, mungkin karena bukan jam makan. Berbagai lauk pauk bisa dipilih dengan beragam pilihan. Harganya juga terjangkau. Pas banget buat kondisi keuangan yang makin tiris. Nasi Pecel BuTinuk menjual masakan Jawa Timur. Ada ayam goreng, bakwan jagung, mie goreng, bihun goreng, paru goreng, telur dadar, ayam suwir pedas, dll. Gue pesen ayam suwir pedes, bakwan jagung bihun goreng dan nasi, hanya dengan 9 ribu. Gue merekomendasikan bihun goreng dan perkedel jagungnya. Jangan lupa sambelnya buat memperkaya rasa. 

Setelah makan, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Pantai Suluban. Sebelumnya kami mampir ke Krisna. Krisna menjual beragam pernak-pernik oleh-oleh khas Bali. Ini solusi buat kalian yang males ke Sukowati dan tetep bisa ngoleh-ngolehin dengan harga yang terjangkau. Nggak jauh beda sama Sukowati, paling cuman seribu dua ribu perak, nggak pake nawar dan gerah pula. Krisna terdapat di beberapa tempat, salah satunya di Sunset Road, Kuta. Tempatnya luas dan nyaman. Mulai dari makanan khas Bali, tas, baju, kain, sendal, pajangan sampe lulur Bali. Lengkap.

Perjalanan ke Pantai Suluban tidak terlalu sulit karena kami melewati jalan yang sama ketika menonton Tari Kecak di Uluwatu. Perjalanan ke Pantai Suluban sangat sepi. Kami hampir tidak menemukan mobil lain sepanjang perjalanan. Tapi hati-hati mengemudi di sana karena banyak tanjakan dan turunan yang curam. Hampir nggak mungkin nyasar deh ke Pantai Suluban dan Pantai Padang-Padang. Yang jelas, tepat sebelum Pura Uluwatu, belok kanan dan terus aja sampe mentok. Karena pantainya yang terpencil, lagi-lagi nggak banyak orang yang ke sana.

Sampai di sana, kita cukup membayar 5 ribu untuk parkir. Untuk menuju daerah pantai, kita harus menuruni tangga yang banyak! Nggak hanya banyak, tapi juga lebar-lebar! Pas turunnya hore-hore ajah, pas naeknya, kami harus istirahat beberapa kali sebelum sampe ke parkiran. Apalagi mengingat Agus Leo yang lagi hamil. Agak teggang juga bawa dia turun ke bawah karena ternyata tangganya terjal banget. Makin ke bawah makin terjal dan nggak bisa dilewatin 2 orang. Kalo berpapasan dengan orang, harus ada yang ngalah untuk ngasih jalan arah sebaliknya.

Berhasil sampe di pantai, it was truly breathtaking. Saat itu kami tiba sekitar pukul 12 siang. Untuk menuju pantai, perlu usaha ekstra dan keberanian untuk melewati gua dan menerobos ombak, apalagi kalau lagi pasang. Kami harus menunggu air surut untuk menyeberangi gua menuju pantai. Sebenernya gua ini adalah tebing tinggi yang mengelilingi jalan masuk ke pantai. Di sebelah kanan, air yang pasang membuat kami gentar untuk terus maju ke depan. Kami bahkan nggak tau sejauh mana air laut akan menghempas, jadi hati-hati ya. Ombak hari itu bagus banget buat surfing, kendati demikian belum banyak yang memanfaatkannya. Hanya 1 orang yang terlihat surfing saat kami di sana.
Pantai Suluban
(taken from http://blacksweet-narasyablogspotcom.blogspot.com/2011/05/obyek-wisata-pantai-suluban.html)
Karena kondisi air yang pasang dan akses yang sulit, kami memutuskan untuk tidak menyertakan Agus Leo menyeberang. Lagi-lagi Agus Leo harus rela menjadi Tim Bangku Taman. Nggak hanya batu besar dan cekungan yang dalam, tetapi juga pasir pantai yang kasar dan tajam. Sesampainya di pantai, kami hanya duduk-duduk menikmati keindahan alam. Tidak ada seorang pun selain kami yang ada di pantai tersebut. Tebing yang menghadap ke pantai sangat tinggi dan gue tersadar bahwa kami dari atas tebing tersebut! Pantai yang bersih dengan butiran pasir putih yang kasar yang mengingatkan gue dengan pasir yang dipakai untuk membuat art work anak-anak di kelas. Ow…, jadi pasir itu datengnya dari pantai seperti ini yah? Hmm…

Puas berjemur dan cengengesan di pantai, kami memutuskan untuk kembali. Lagian kasian juga Agus Leo sendirian bersama sekantong salak. Tips dari gue: jangan bawa macem-macem ke Pantai Suluban kecuali elo mau mandi di sana. Selain nggak mungkin juga nyeberangin barang-barang elo ke pantai, nggak ada tempat kering untuk naro barang. Pantai Suluban punya shower room dengan tarif 10 ribu. Mandilah selagi ada shower room karena kami memutuskan untuk enggak mandi karena kami ingin meneruskan perjalanan ke Pantai Padang-Padang. Alhasil, siap-siaplah paru-paru basah apalagi celana satu-satunya yang gue bawa basah diterjang ombak. Konyolnya lagi, untuk mengebersihin baju dari pasir, kami mencari genangan air di sekitar pantai yang kira-kira bisa buat bebersih. Ketika ombak dateng, kami pun terhempas sambil cekakakan, bukan hanya karena konyol kebawa ombak tapi baju yang tadinya udah mulai bersih jadi kemasukan pasir lagi. Belum lagi diliatin beberapa orang yang melintas sambil bingung ngeliat kelakuan kami. Gue sarankan untuk pakai bikini atau baju renang supaya nggak banyak pasir yang masuk ke baju.

Pantai Suluban masih sangat sepi. Nggak banyak orang yang dateng. Mungkin karena medannya yang sulit dan nggak banyak yang bisa dilakukan di pantai tersebut. Ada sii restoran di atas tebing, tapi nggak banyak yang bisa gue ceritakan karena gue nggak ke sana. Yang jelas, tempat ini cantik banget buat kalian yang suka motret.  Sayang banget, sebegitu excited-nya, kami nggak foto-foto lebih banyak. Ternyata kami lebih memilih menikmati waktu dengan keindahan di sana ketimbang menyimpannya di sebuah kamera. Kata Peow, “Kadang ada memori yang hanya ingin elo simpan di kepala supaya elo selalu punya alasan untuk kembali.” I’m agree. Yep, beberapa foto gue ambil dari blog tetangga sebelah karena gue nggak banyak moto di sini. Bener deh, kalian harus ke sana untuk membuktikan sendiri. Sebagai pecinta pantai, gue seneng bisa dapet kesempatan ke pantai yang terpencil seperti Suluban. Tapi buat kalian yang nggak suka pantai, gue sarankan nggak ke Suluban. It’s too tough, Darling.

Okay, setelah foto-foto di kolong tebing, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Pantai Padang-Padang. Oyeah, naeknya lagi jelas tantangan tersendiri. Sumpah! Napas gue abis! Padahal gue masih rajin maen badminton 2x seminggu. Apalagi Agus Leo yang lagi hamil. Tapi yang terbaik sii jalan terus jangan berhenti kalo kuat, biar aja gempor di atas yang penting capeknya sekali ajah. Jangan lupa foto di tangga dengan latar belakang pantainya. Bagus banget pemandangannya.
Girlband gagal, nyari wangsit di Pantai Suluban
Sampe di parkir, kami beristirahat sebentar untuk mengembalikan tenaga yang terkuras setelah naik dari pantai. Serius, gue nggak lebai. Capek abis! Panas matahari lagi asik-asiknya, tapi yang mengagumkan, anginnya sejuk! Really! Makanya kami bertahan sejenak untuk menikmati sejuknya angin sepoi-sepoi.

Perjalanan ke Pantai Padang-Padang lebih menantang. Kami menemukan turunan yang disertai tanjakan super terjal. It’s a perfect U! Nggak keliatan ujungnya sampai kami bener-bener turun. Hati-hati jalan di sini. Nggak usah ngebut lah, mau ke mana juga. Surga? Tapi Pantai Padang-Padang emang surga sih. Perjalanan ke sananya pun indah. Sampai di sana, kalian akan menjumpai jembatan yang akan memperlihatkan keindahan Pantai Padang-Padang. Indah luar biasa. Another breathtaking moment. Lagi-lagi, kalian harus ke sana untuk membuktikan karena gue nggak foto-foto di sana.

Untuk sampe ke pantai, perjalanannnya memang tidak seberat ke Pantai Suluban, tetapi tetap sulit karena tangga menuju pantai sangat sempit dan harus bergantian dengan orang yang ingin lewat dari arah sebaliknya dan diapit oleh tebing yang tinggi. Oya, hati-hati juga sama monyet di sana. Kebetulan gue beli jagung bakar di parkiran dan pas gue mau turun ke pantai, tiba-tiba…. monyet muncul entah dari mana dan gue agak parno ya sama binatang-binatang yang berkeliaran di Bali seperti anjing dan monyet. Elo akan lebih sering ketemu monyet dan anjing daripada kucing di Bali. Lagian kenapa nii monyet baru muncul pas rombongan kami lewat sih? “Mungkin karena jagung elo, Rin, “kata Jeung Win. Gue pikir yah santai aja jalan terus tapi kok si monyet ngikutin dan ternyata benar, si monyet sepertinya pengen jagung gue! Jeung Win yang dasarnya lebih cupu dari gue jadi teggang gila dan bilang, “Arin…., monyetnya ngikutin elo!” Hiiiiiii!! Gue langsung berhenti dan ketakutan tapi nggak rela ngelepas jagung gue. Bukannya memberikan dukungan moral seperti, “Ayo, Arin, pertahankan jagung lo!,” atau “Arin! Ayo lari ke sini, kami selamatkan kau,” Jeung Win malah makin teggang, “Arin! Kasih aja jagungnya! Lempar jagungnya!” Sumpah! Gue teggang abis dan pengen nangis rasanya. Apalagi orang-orang mulai ngeh dan ngeliatin kami. Gue baru aja ngabisin seperempat jagung itu, kepedesan dan kelaparan. Akhirnya Peow memberikan solusi dengan tenang, “Sini, kesiniin jagung lo,” dan gue langsung meninggalkan tempat tersebut, turun ke bawah dan jagung gue selamat. Kera gila! Terima kasih, Peow, penyelamat jagung bakarku *hugs. Jeung Win masih misuh-misuh, “Kenapa elo nggak kasih aja sih?! Gue takut monyetnya loncat ke kita!” Okay, another tips, don’t bring any food down to the beach unless you are a monkey expert.  
Pantai Padang-Padang
Sampai di pantai, kalian akan langsung disambut dengan lembutnya pasir putih di sepanjang pantai. Kalian bisa tidur-tiduran di sana dengan menyewa payung di sana atau berteduh di bawah karang. Kami memutuskan untuk berendam di pantai yang bersih dan menikmati keindahan pantai. Hati-hati berenang di sana karena banyak karang. Kalo airnya surut, karangnya akan keliatan di tengah-tengah air laut. Di Pantai Padang-Padang lebih ramai dibanding Suluban. Mungkin karena pantainya lebih komersil dan lebih mudah dijangkau. Pariwisata di sana cukup hidup. Cuman yang gue nggak abis pikir, ada aja yang foto-foto dengan gaya dan pakaian yang nggak cocok sama situasi pantai. Mulai dari pake baju rapi mo ke mall sampe bergaya tiduran di atas pasir dengan satu tangan menahan kepala. Yep, dan doi laki, Cyiinn! Random. And please, jangan buang sampah sembarangan ya karena gue menyaksikan dengan mata kepala sendiri, ada wisatawan lokal yang buang sampah sembarangan. Tips dari gue: jangan berenang kalo nggak mau basah karena shower room-nya nggak okeh. Belum lagi musti ngantri dengan orang lain. Inilah sebabnya kenapa akhirnya kami memutuskan untuk langsung kembali ke hotel dan nggak jadi ke Pantai Dreamland. Oiya, bawa bekal ke sana karena nggak banyak restoran di Pantai Padang-Padang. Gue nggak tau berapa kisaran harganya, kayaknya sih mahal yah. Kami membungkus makan siang kami yaitu Nasi Pecel Bu Tinuk. Lumayan, pengiritan. Kami berhenti di pinggir jalan sepanjang perjalanan pulang untuk makan siang.

Setelah makan siang, kami melanjutkan perjalanan pulang. Jangan salah jalan karena akhirnya kami harus terjebak macet di Pantai Kuta yang membuat kami menghabiskan waktu 2 jam sajah untuk kembali ke hotel. Sesampai di hotel, kami langsung bergegas mandi karena kami akan meneruskan perjalanan ke sekitar Legian. Kami agak khawatir dengan keadaan Agus Leo yang mengeluh kejang perut sekembalinya dari pantai. Kami khawatir karena memang medan yang ditempuh hari itu paling berat dibandingkan hari sebelumnya. Namun karena ini adalah malam terakhir kami di Bali, ia memutuskan untuk ikut kami makan malam setelah malam sebelumnya ia memutuskan untuk beristirahat di hotel. Untungnya tidak terjadi apa-apa namun kami terus mengingatkan Agus Leo agar banyak-banyak duduk dan istirahat.

Kami memutuskan untuk makan malam di Warung Italia karena kami tidak berhasil menemukan restoran yang direkomendasikan J. Setelah makan, kami melanjutkan perjalanan di sepanjang Jl. Legian. Karena sudah malam, kami hanya berhenti di 2 tempat yaitu toko aksesoris Cocoro dan toko alat musik tradisional Surya Bali Art. Kalian nggak akan kelewatan Cocoro jika melintas sepanjang Jl. Legian. Cocoro begitu mengundang siapapun yang menyukai aksesoris. Aksesorisnya pun unik-unik. Kami menemukan kalung dengan bandul besar dengan diameter lebih dari 20 cm! Kebanyakan Cocoro menjual kalung bernuansa etnik berbahan kayu. Gue menemukan sebuah kalung yang juga merupakan penemuan terbaik gue selama di Bali. Bentuknya seperti pohon tapi isinya buah jeruk semua. Hehehe. Bisa disesuaikan panjangnya. Selain warna oranye, tersedia juga warna hijau. Gue menemukan warna pink terakhir yang akhirnya dibeli Jeung Win. Si bapak penjual – yang ternyata orang Padang – akan dengan senang hati melayani kok. Kami pikir harga di sana mahal, ternyata sangat murah untuk ukuran aksesoris di daerah Legian. Kalung temuan gue itu hanya seharga 25 ribu dan rata-rata kalung dengan ukuran sama juga diharga dengan harga yang sama. Kalo suka aksesoris unik yang nggak pasaran, coba mampir ke Cocoro.
At Cocoro, Legian

Best found item at Cocoro

Setelah puas menjelajahi Cocoro, kami memutuskan untuk menemani Peow membeli ukulele. Kami memutuskan untuk berhenti di toko alat musik pertama yang kami lihat karena hari sudah semakin malam. Kami mampir ke Surya Bali Art di Jl. Patih Jelantik, Legian. Di sana, si penjual yang ternyata orang Jawa, dengan senang hati melayani pengunjung. Saat kami tiba, ada pengunjung lain yang sedang mencoba alat musik pukul tradisional. Kebanyakan alat musik yang dijual adalah alat musik tradisional Australia. Peow yang emang dasarnya suka alat musik sangat menikmati kunjungannya di sana. Akhirnya setelah lihat-lihat dan mencoba beberapa ukulele, pilihannya jatuh pada ukulele seharga di bawah 400 ribu. Setelah puas dengan temuannya, Peow juga mencoba salah satu alat musik tradisional suku Aborigin, didgeridoo. Menurutnya, baru kali ini Peow menemukan toko alat musik selengkap Surya Bali Art. Bali adalah salah satu tempat untuk membeli barang unik dan antik seperti alat musik tradisional. Kalau kalian suka alat musik tradisional Aborigin, mampir aja selagi di Bali.
Ukulele temuan Peow di Surya Bali Art

Didgeridoo
(taken from http://www.didgeridoobreath.com/Learn-How-To-Play-Didgeridoo-s/2.htm)

Malam itu malam minggu, malam semakin larut namun suasana Legian tak kunjung padam. Bahkan setiap café menampilkan atraksi yang liar untuk menarik pengunjung seperi menari-nari di atas meja dan memajang perempuan seksi di depan café. What an advertisement! Jeung Win bahkan menemukan 1 shot vodka hanya seharga 15 ribu! Yah, tapi emang dasar gue nggak paham alkohol, gue nggak ngerti kenapa Jeung Win begitu antusias dengan promo di salah satu café di sepanjang Jl. Legian. Berminat?

Semakin larut, kami akhirnya memutuskan untuk memulangkan Coi2 kembali ke Bang E’en. Gue lagi-lagi tertidur sepanjang perjalanan ke ruko Coi2. Oiya, buat kalian yang domisili di Denpasar dan sekitarnya, bisa lho mampir ke ruko Coi2 dan Bang E’en yang menjual peralatan audio video yang lengkap. Mampir aja ke Sinfonia Audio Video*. Posisi persis seberang Mc. D. They are trustable seller ;)

Nggak kerasa, setelah 4 hari kami bertualang, here’s come the end. I hate it so much but I had a great time with my best friends. Enggan rasanya meninggalkan Bali dengan segala keindahannya. Dengan segala suka dukanya, kami harus melepas Coi2 dan meneruskan kehidupan kami di Jakarta. Siapa sangka sih akhirnya kami bisa sampai di Bali? Ini adalah pengalaman pertama bagi Peow dan Agus Leo ke Bali. Bahkan ini adalah pengalaman pertama Peow naik pesawat! Hahaha, she is not so virgin anymore, right, J?

Buat gue dan Jeung Win, ini adalah kesempatan ketiga kami ke Bali. Tapi ini adalah kali pertama kami menjelajahi Bali sebegitu luas tanpa keluarga dan menyetir dengan modal GPS! We were proud! Hahaha. Karena nggak mungkin gue dan Jeung Win bisa menjelajahi Bali seperti ini dengan keluarga yang ogah rempong. Ini pertama kalinya bagi gue nonton Tari Kecak di Uluwatu, naek water sport, makan nasi pedes Bu Andika, ke Ubud, ke Tegallalang, ke Pantau Suluban dan Pantai Padang-Padang bahkan ke GWK! Apalagi mengingat gue pergi ke Bali dengan hasil keringat gue sendiri. This was one of a memory that I’ll always keep in my mind and share it with my kids someday. I even shared it with my students! They were antusiastic!

I almost cried on the plane before we took off. Nggak percaya liburan udah selesai dan waktu jalan begitu cepat. Nggak percaya bisa pergi sejauh ke Bali dengan temen-temen terdekat gue. Nggak nyangka bisa pergi dan mempersiapkan semuanya tanpa bantuan orang tua gue. Mungkin kalian sudah terbiasa, tapi buat gue, this was a big step. I am a grown up woman ;)

Di kesempatan ini, gue ingin mengucapkan terima kasih banyak buat Bang E’en yang udah mengizinkan Coi2 menggila bersama kami selama 4 hari. Trus buat Ari & keluarga Jeung Win yang akhirnya mengikhlaskan Jeung Win pergi. Pak Manik yang juga mengizinkan Agus Leo yang tengah hamil trimester kedua. Bung Wa’uh sekeluarga yang mengizinkan anak sulungnya, Peow, untuk pergi. Dan tentu saja laki gue, Bayu Putra, yang selalu memberikan gue kebebasan untuk menjelajahi dunia lebih luas lagi. Gue berharap semoga kami bisa berlibur bersama #7Items lengkap! (akan terus berdoa). Yang jelas, gue meninggalkan hati gue di Bali dan akan selalu kembali ke Bali dan perjalanan memang selalu lebih indah ketika kita bertualang bersama teman ;)

15 April 2012
10:03 p.m.
Bedroom

*Sinfonia Audio Video
 Jln. Gatot Subroto Tengah No. 100 X
Kav. 15 Denpasar Bali

Akan ada posting berikutnya untuk melengkapi perjalanan gue selama di Bali yaitu (Not So) Greatest Getaway – Part 5: Footnote. Berisi tentang catatan-catatan kaki tentang pengalaman tidak menyenangkan selama di Bali terkait pelayanan hotel tempat gue menginap, tips-tips bertualangan dengan budget terbatas serta catatan kaki lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar