Kamis, 29 Desember 2011

Lesson Learnt


Malam ini gue baru saja menghadiri sebuah stand-up comedy Indonesia, Bhineka Tunggal Tawa menampilkan Pandji Pragiwaksono. Sebagai orang Indonesia, gue salut dengan Pandji yang memprakarsai banyak hal, menjalani hidup dengan passion-nya, dan dia lucu! :D
Yang mau gue sampaikan di sini adalah gue banyak belajar dari Pandji, gue belajar banyak tentang Indonesia dari Pandji, gue belajar untuk tidak mudah sensitif terhadap sesuatu dan mencerna apa yang coba disampaikan seseorang serta terus mengejar passion gue: menulis. Yep, menulis.
Kalau soal kecintaan gue terhadap Indonesia, kayaknya udah nggak mungkin ditanyain lagi betapa cintanya gue dengan Indonesia tapi mengetahui lebih banyak Indonesia betul-betul semakin menebalkan rasa cinta gue. Gue paling suka dengan fakta-fakta sejarah yang diungkapkan – walau pastinya kontroversial – tapi  memiliki perspekif berbeda dari apa yang selama ini kita tahu menurut gue perlu. Kenapa? Karena keraguanlah yang membuat kita semakin ingin mencari tahu kebenarannya. Seperti mencintai seseorang, bukankah kita harus mencintai bangsa ini dengan segala kebaikan dan keburukannya?
Sensitifitas bangsa Indonesia cukup luar biasa. Baru saja gue membaca timeline @Mongol_stres yang sibuk mengklarifikasi sesuatu yang berbau agama. Sepertinya, ada hal sensitif yang menjadi materi stand-up comedy-nya yang menyinggung beberapa pihak. Yang gue lihat bukannya hanya TL-nya saja tapi juga orang-orang yang mention. Wew! Ada ajah deh yang menghujat habis-habisan. Gue nggak bisa bayangin kalo itu gue. Gue bakalan kapok stand-up selama beberapa bulan ke depan. Lalu gue pun berpikir, sejauh mana materi sensitif ini bisa dikembangkan menjadi bahan becandaan? Apa iya beberapa comic ini cross the line? Atau kitanya yang simply sensitive? Beberapa hal yang gue secara pribadi tersinggung dengan materi Pandji karena hal tersebut bersinggungan langsung dengan kehidupan pribadi gue. Yep, nggak tanggung-tanggung, soal polisi dan kepolisian. Soal pekerjaan bokap gue. Bokap gue. My hero. Gue sempet unfollow Pandji ketika dia membahas soal itu. Namun seiring waktu, gue harus melihat ini dari persepsi berbeda. Harus diakui apa yang menjadi materi Pandji tentang polisi adalah benar, tapi seperti kata Pandji juga, jangan liat sesuatu plek-plekan hitam putih. Nggak semua polisi begitu, nggak semua polisi gaptek, masih banyak polisi yang bekerja untuk bangsa dan negaranya dengan baik dan bokap gue bukan orang suci :p Still, he’s my hero ;) Semacam menjadi resilient, sepertinya gue harus menarik terus garis toleransi gue agar nggak mudah sensitif karena sepertinya lebih mudah tertawa daripada mengkerut menyikapi ironi kehidupan.
Terakhir, setelah gue menyelesaikan S2, gue janji akan meneruskan hobi dan kesenangan gue sejak dulu: menulis. Entah apa yang membuat gue berhenti menulis. Sejak SMP, gue tidak pernah berhenti nulis sampai akhirnya gue masuk kuliah.  Mendekati semester akhir, gue berhenti menulis hingga…kini. Banyak hasil tulisan gue yang gue print dalam bentuk buku dan mengonggok di laci karena nggak ada yang mau nerbitin tulisa-tulisan gue. Beberapa kali gue mencoba, semua naskah gue dikembalikan. Mungkin karena penolakan gue inilah yang membuat gue berhenti menulis. Setelah baca buku Pandji dan nonton stand-up-nya hari ini, gue kembali berpikir, masa’ gue nggak punya passion selain ngajar sih? Lalu gue inget betapa gatelnya tangan gue untuk nulis tapi akhirnya nggak jadi apa-apa. Selama 2 jam, gue nulis dan berakhir dengan 3 tulisan setengah jadi yang akhirnya enggan gue teruskan, salah satunya gue apus file-nya. Lalu gue pun berpikir, kenapa nggak gue mulai lagi rajin nulis? Toh semua sinetron dan buku-buku nggak ‘menuntut’ banyak? Kalo baca tulisan gue dulu, nggak jauh beda noraknya sama jalan cerita sinetron sekarang dan terbukti sinetron sekarang episodenya panjang-panjang. Mungkin rumah produksi mau yah beli tulisan gue :p. Sekarang kesempatakan menerbitkan buku lebih banyak daripada dulu. Penerbit nggak hanya itu-itu aja. Isinya ya gitu-gitu aja lah. Penulis yang paling gue tunggu karya-karyanya hanya 2 orang: Andrea Hirata dan Raditya Dika. Andrea karena tulisannya yang cerdas dan lucu. Raditya Dika karena tulisannya yang seputar kehidupan yang sangat dekat dengan kita dan berhasil dia tuang ke dalam tulisan dengan sangat lucu. Jadi, apa tadi alasan gue berhenti nulis?

Minggu, 25 Desember 2011

"Ngucapin Selamat Natal itu Dosa"


*This is a sensitive topic. Hopefully, you're open-minded enough to read this. Happy reading!

Seperti Natal sebelumnya, selalu ada saja wacana muncul tentang tidak bolehnya umat Muslim mengucapkan Selamat Natal kepada umat yang merayakan. Sebelumnya gue nggak pernah tau tentang tidak bolehnya umat Muslim mengucapkan selamat sampai akhirnya seorang guru agama SD menyampaikan hal tersebut. Perlu dicatat bahwa guru agama ini adalah satu-satunya guru agama yang paling gue hormati sepanjang perjalanan pendidikan formal gue. Guru agama lainnya hanya mengajarkan doktrin dan masalah teknis tetapi tidak mencerminkannya di kehidupan sehari-hari. Tipikal. Jadi, setelah 11 tahun mengucapkan Selamat Natal kepada beberapa saudara yang menganut Kristen, gue pun terkejut. Mengucapkan Selamat Natal itu dosa. Nggak boleh.
Sebelum gue cerita lebih jauh, gue mau cerita latar belakang keluarga besar gue yang beberapa merayakan Natal. Adalah beberapa tante gue yang menikah dengan seorang Kristen yang menjadikan gue selalu ‘merayakan’ Natal setiap tahunnya (bahkan sehabis nulis ini, gue akan ke rumahnya merayakan Natal). Bahkan gue pernah beberapa tahun tinggal dengan salah satu tante gue dan ikut ngebantuin pasang pohon Natal. Nggak hanya itu, selama 5 tahun gue disekolahkan di sekolah Katholik sehingga gue akrab sekali dengan ritual Natal.
Ketika gue pindah ke SD lain saat kelas 5, inilah fakta yang akhirnya gue ketahui, mengucapkan Selamat Natal itu dosa. Terus gue musti gimana dong? Gimana kalo ada temen gue yang Natalan? Gimana dengan sodara-sodara gue? Masa’ gue nggak dateng ke Natalan mereka? Untungnya mereka paham dengan ‘kondisi’ gue yang dosa mengucapkan selamat Natal. Selama bertahun-tahun, gue harus menghadapi fakta bahwa berdosa mengucapkan Selamat Natal. Di satu sisi, sebagai ABG yang tumbuh dengan kondisi keluarga gue dan doktrinasi seperti ini, gue bingung & resah luar biasa. Ada yang salah nggak sih? Kalo emang harus begitu, seharusnya tidak meresahkan dan membingungkan. Seharusnya keyakinan tidak meresahkan, tetapi mendamaikan hati. Ini tidak. Gue resah.
Di satu sisi, gue merasa ‘nggak terima’ dengan doktrin ini karena nggak ada yang salah dengan hanya mengucapkan. Ini khan bagian dari silahturahmi yang harus dijaga. Menjalin silahturahmi adalah salah satu nilai Islam tapi di sisi lain mengetahui ini adalah ‘dosa’ sangat mengusik batin gue. Honestly, ‘till now. Belum lagi ada aja beberapa kenalan atau temen yang terus ‘mengingatkan’ soal ‘dosa’ ini di status FB atau Twitter mereka. Salah satunya, “Toleransi boleh, tapi jangan sampai meninggalkan akidah. Dengan dalil toleransi, dia meninggalkan akidahnya. Banyak yang ga tau ilmunya.” Yep, dan statusnya di-“like” beberapa orang dalam hitungan menit. Well, kurang paham apa maksud dari 'ilmu' di sini, hanya gue menekankan, kalo mencoba membuat pernyataan, harusnya jangan setengah-setengah, ibaratnya macam #nomention. Belon lagi isi ceramah shalat Jum’at minggu ini yang isinya, “Boleh menolong non-muslim yang kesulitan, tapi ketika natalan, jangan mengucapkan selamat natal.” Yep, pas shalat Jum’at, di mana corong mesjid yang nyaringnya tak terbantahkan, di dengar oleh seluruh orang kompleks yang jelas-jelas banyak orang non-muslim tinggal di kompleks gue.
Untuk jelasnya, mungkin yang dia maksud ilmu di sini adalah alasan kenapa Muslim dilarang mengucapkan Selamat Natal. Begini loh, jadi yang gue tahu adalah perayaan Natal itu khan untuk memperingati hari lahirnya Tuhan Yesus, Tuhan umat Kristen. Nah, kalo orang Muslim mengucapkan Selamat Natal, itu artinya sebagai Muslim, gue mengamini kelahiran Tuhan Yesus. Artinya gue sebagai Muslim menyekutukan Tuhan gue, Allah SWT, yang artinya lagi itu dosa tertinggi dari semua dosa yang mungkin dilakukan orang Muslim: menyekutukan Allah SWT. Ini dosa besar sekali! Oke, mengimani Tuhan selain Allah SWT itu emang dosa besar tapi apakah dengan mengucapkan Selamat Natal terus gue jadi mengamini adanya Tuhan selain Allah SWT? Please, sebelum emosi, hold that thought. Thanks. (gue yakin temen-temen Muslim pada kebakaran jenggot baca tulisan gue :p)
Yang mau gue sampaikan di sini bukanlah beradu argumen tentang apakah ini dosa atau bisa dinegosiasikan lagi. Nope. Not at all. Mengingat kita tinggal di Republik Indonesia yang mengakui setidaknya 5 keyakinan, bukankah sudah sepatutnya gue juga punya hak untuk menyampaikan pendapat gue soal ini? Gue nggak masalah sejuta umat Muslim bilang gue pendosa dengan mengucapkan Selamat Natal ke seluruh teman dan keluarga gue yang merayakan, tapi jangan paksa gue untuk mengubah keyakinan gue bahwa hanya dengan mengucapkan Selamat Natal artinya gue menyekutukan Tuhan gue, Allah SWT. Iman gue enggak sedangkal itu.
Iman. Itu milik hati. Gue paling nggak suka jika keyakinan gue diusik, dipertanyakan, diragukan. Stop right there. Keyakinan gue itu adalah urusan gue dengan Tuhan gue. Hubungan paling romantis gue dengan Allah SWT dan nggak seorang pun boleh mengusiknya. Cukup deh kayaknya doktrin yang gue terima seumur hidup gue dari pelajaran di sekolah sampe les ngaji gue soal surga-neraka, pahala-dosa. Apalagi ngeliat banyak banget penyiar agama yang jadi artis nggak karuan. Partai-partai berbasis agama yang jatoh-jatohnya korup juga. Stop right there, Arin. Konteks lo melebar.
Christmas Celebration 2008
Gue ini penuh dosa menurut konteks Islam yang selama ini gue pelajari seumur hidup gue. Gue males shalat, puasa Ramadhan banyak bolong, nggak pernah baca Qur’an, dan terakhir gue mengucapkan Selamat Natal kepada teman-teman & kerabat Kristen gue. Lengkap sudah. Hanya saja, gue berserah sama Allah SWT. Terserah mau dibawa gue ke mana nanti matinya gue, mudah-mudahan mati dalam keadaan baik. Namun syukur paling tinggi gue panjatkan ke Allah SWT karena sudah menciptakan gue dengan segala kelebihan dan kekurangannya, memberikan tugas di dunia ini, untuk kebaikan diri sendiri dan mudah-mudahan masyarakat banyak. Janji, nggak akan gue sia-siakan kesempatan hidup ini.
Terakhir, Selamat Natal, dear Friends & Families yang merayakan. Terima kasih untuk teman & keluarga yang memaklumi kondisi ini. Gue yakin, apapun agama elo, hanya satu khan yang elo mau; semoga damai menyertai seluruh umat manusia di Bumi. Right? :)

Minggu, 23 Oktober 2011

Bandung Bondowoso

“Kesuksesan seseorang bukan di saat ia berada di titik tertingginya, tetapi di titik ketika orang tersebut mampu bangkit kembali di titik terendah dalam hidupnya.”                                                                  Mas Saleh, Paskibra 78

Tesis.

Perut gue selalu mules mendengar kata itu. Nggak hanya mendengar kata itu, juga ketika gue melihat teman-teman gue mengerjakannya dengan segala keribetannya. Gue mules tapi gue juga males. Gue pun berpikir, apa sii yang menbuat gue mules, takut dan males ngerjain tesis?

Sebutlah…gue tidak bersyukur dengan apa yang gue punya saat ini yang menghambat pengerjaan tesis gue. Hmm…, puzzling, eh?

Kemarin gue baru saja bertemu dengan seorang teman kampus yang sudah lulus, dengan segala keribetan dan protokoler tesis, gue dijejelin bermacam hal yang bikin gue pengen banting laptop gue dan pergi. I hate school! I hate thesis! *ngelengos. Agak ironis sebenernya ketika gue yang mendedikasikan hidup gue untuk pendidikan tetapi benci dengan protokoler pendidikan itu sendiri. Setelah dibombardir bermacam protokoler tesis, gue cuman bisa bengong aja sambil nggak tau apakah gue mampu ngerjain semuanya hanya dalam 1 bulan. Kalo cuman mengerjakan tesis tanpa peduli apakah gue ngerti atau enggak, gue nggak akan bingung kayak gini. Masalahnya, gue nggak ngerti sama sekali apa yang baru aja disampein sama temen gue dengan apa yang disebut dengan ‘tesis’.

Gue pulang. Nggak pulang sii tepatnya. Gue memutuskan untuk menghibur diri sendiri dengan makan di Nanny’s Pavillon memesan menu ‘sederhana’ kesukaan gue, Smoked Beef Spagetti. Dalam kesendirian gue, di tengah hiruk-pikuk malam mingguan di Central Park, gue membatin sambil menyuap sendok pertama, “ Bismillah. Heal me, come on, heal me.” Alhamdulillah, gue kenyang.

Hari itu, gue punya acara lain, pelantikan (yang sekarang disebut Diksar) Paskibra 78. Saat ini gue tidak terlibat lagi di setiap kegiatan yang diadain ekskul yg gue ikuti saat gue SMA ini tapi gue hampir nggak pernah absen dateng ke pelantikan. Sepanjang perjalanan dari CP ke 78, gue merenung melakukan napak tilas perjalanan gue selama gue kuliah, bahkan gue mundur lebih ke belakang saat gue kuliah S1. Apa gue sengaco ini ngerjain skripsi? Gue berhasil mengerjakan skripsi gue dalam 3 bulan. Sekarang, gue hanya punya waktu 1 bulan setelah memperpanjang 1 semester. Gue mau nangis saat menyetir ke 78, tapi enggak, gue tau gue nggak akan segampang itu menangis untuk sesuatu yang nggak perlu gue tangisi. Gue mudah menangis untuk sesuatu yang menyentuh, tapi nggak ini, bisa sii nangis, tapi dipaksa, but what’s the point, eh? Tapi akhirnya gue bersuara, “God, am I strong enough? God, tell me, am I strong enough?” sambil terus menyetir mendekati 78, rumah kedua gue. Nah, saat gue tidak menangis, yep, gue kuat, gue bisa!

Sesampainya di 78, gue bertemu dengan senior, kakak, sekaligus pembimbing spiritual gue (halah), Mas Saleh, dan langsunglah gue curhat soal tesis gue. Seperti biasa, ketika gue mengeluh, dia hanya bilang, “Bisa lah kamu.” Karena dia mengikuti perjalanan hidup gue selama 12 tahun, gue percaya aja dengan yang dia bilang.

“Dulu waktu kamu ngerjain skripsi, saya baru deg-degan, bisa nggak ni anak selesai. Tapi kalo sekarang, dalam 2 minggu, kamu bisa nyelesaian itu semua.”

I was speechless. Seinget gue, pada saat skripsi, kayaknya lebih gampang gue ngerjain itu, apa-apa lebih terstruktur, dan gue selalu konsultasi setiap minggu. Terjadwal. Sekarang nggak hanya gue harus ngejar dosen ke Karawaci, tapi gue harus meruntuhkan segala keegoan, kekesalan, keputusasaan, keluhan dan ketidakpercayaan diri gue.

“Dulu kamu itu belum stabil, masih bermasalah dengan orang tua kamu, belum lagi adik kamu. Hampir setiap ketemu saya, kamu selalu mengeluh itu. Sekarang udah nggak pernah lagi. Kamu berubah banyak, bukan orang tua kamu yang berubah, mereka udah tua. Kamu yang berubah.”

Gue lagi-lagi hanya bengong sambil menyerap maksudnya.

“Emang ngaruh ya, Mas?”

“Ya ngaruh lah. Kamu sudah stabil sekarang.”

“Trus kenapa saya masih kayak gini sekarang? Kenapa saya masih ngeluh?”

“Ya karena kamu manusia, wajar lah kalo ngeluh. Manusia itu hidup ada naik turunnya. Sesekali mengeluh itu manusiawi. Kesuksesan seseorang bukan di saat ia berada di titik tertingginya, tetapi di titik ketika orang tersebut mampu bangkit kembali di titik terendah dalam hidupnya.”

Kuat. Apakah gue cukup kuat untuk bangkit dari titik terendah gue?

“Karena kamu sudah lama di Paskibra, kalian sudah terbiasa dengan hal-hal seperti ini.”

Lalu Mas Saleh memberikan contoh seorang adik gue yang berbeda 5 tahun dari gue, “Maaf ya, Dek, banyak yang bilang kalo hidup kamu bakal hancur setelah kamu lulus SMA tapi karena saya lihat kamu di Paskibra, saya yakin kamu bisa bertahan dan sukses. Mungkin nilai akademik kamu nggak bagus, keluarga kamu berantakan, tapi saya melihat sikap kamu di Paskibra & kamu berhasil di sini. Gak masalah, ilmu di Paskibra itu ilmu hidup, kamu berhasil di sini, kamu bisa berhasil di dunia luar sana.”

“Trus kenapa sekarang saya terseok-seok begini, Mas? Saya nggak suka sekolah dan semua protokolernya. Kenapa pengalaman hidup saya mengajar nggak cukup menjadikan saya seorang profesional?”

“Masalahnya kamu kurang bersyukur dengan apa yang udah kamu punya sekarang.”

Oke. Maksdunya…

“Coba liat, kamu punya segalanya, kamu tinggal menggunakannya. Banyak yang nggak mampu untuk sekolah lagi, tapi kamu bisa. Kamu hanya perlu memanfaatkan. Kamu juga harus mengubah alasan kenapa kamu harus menyelesaikan kuliah kamu karena selama ini kamu menjadikan kuliah kamu sebagai kewajiban kamu, bukan sebagai pembuktian bahwa kamu adalah seorang profesional.”

“Loh, apa nggak cukup dengan 4 tahun saya bekerja sebagai guru?”

“Ya nggak cukup lah, masih jauh perjalanan kamu. Bedakan juga dengan kamu menjalankan sesuatu yang kamu suka untuk kebaikan dan kesenangan kamu sendiri dengan kamu menjalankan sesuatu karena itu adalah kebenaran, sesuatu yang harus kamu buktikan sesuai dengan aturan yang berlaku. Menyelesaikan kuliah kamu adalah pembuktian bahwa kamu mampu menjadi profesional.”

Lagi-lagi gue melakukan napak tilas sepanjang 2 tahun perjalanan kuliah master gue. Untuk orang yang tidak suka sekolah, gue berhasil menyelesaikan seluruh mata kuliah gue tanpa mengulang, dengan 4 mata kuliah bernilai B & B+, sisanya bernilai A-. Seluruh tugas gue kerjakan dengan baik tanpa pernah melewatkan batas akhir yang ditentukan. Hey, that’s amazing! Belum lagi kebiasaan buruk gue yang nggak pernah ilang, ngerjain sesuatu dengan SKS: Sistem Kebut Semalam! Mengambil istilah dari Jeung Windy yang juga kuliah di tempat yang sama, “Gue ini kayak Roro Jonggrang kalo ngerjain tugas.” Hahahaha, mungkin maksudnya Bandung Bondowoso yang ngerjain 999 candi dalam semalam. Yep, itulah gue. Sayangnya, gue tidak bisa mengubah sifat buruk gue ini. 

Mengenang masa ke belakang membuat gue selalu tersenyum. Gimana bisa gue melakukan semuanya? Tapi yang paling penting, kenapa gue memutuskan untuk kuliah lagi? Pada akhirnya gue hanya bisa tersenyum, mencoba menegakkan kepala gue, dan berkata, “Ayolah, apa sii yang nggak bisa elo kerjakan?” Keyakinan ini semakin besar ketika gue mengenal sekali diri gue sebagai seseorang yang mungkin cemen, mungkin cengeng, mungkin penakut, mungkin nggak percaya diri, mungkin jutek, mungkin pemalu, tetapi gue selalu menyelesaikan apa yang sudah gue mulai. Selalu!

Akhirnya gue sadar hanya gue yang bisa menyelesaikan tahapan hidup gue yang satu ini. Terima kasih untuk semua yang sudah mendukung dan, yang paling penting, percaya sama gue ketika gue bahkan lupa kalo gue mampu. Satu bulan lagi adalah pembuktian.

Si Ontacerdas bernama tengah Bandung Bondowoso ini akan membangun candi terakhirnya untuk seluruh Roro Jonggrang yang percaya pada kemauan, kegigihan & kemajuan pendidikan.

My Bedroom
23 October 2011
7.49 p.m.

Selasa, 30 Agustus 2011

"Hari Ini Puasa Haram"


Pagi ini gue harus bangun untuk sahur jam 3 pagi setelah sebelumnya seluruh rakyat Indonesia yakin seyakin-yakinnya kalau hari ini sudah Lebaran. Untuk pertama kali setelah 27 tahun gue mendiami tanah Indonesia, pemerintah tidak ‘sepakat’ dengan tanggalan merah di kalender. Sepanjang hari (Senin, 29 August 2011) gue sudah menerima berbagai ucapan Maaf Lahir Bathin – terima kasih untuk semua yang meluangkan waktu untuk mengirimkan ucapan ke gue – dan temen-temen non-muslim gue pun bertanya, “Kapan Lebaran?” – bah berasa ditanya kapan kawin, kapan punya anak – jawaban gue tetep, “Nggak tau,” temen-temen gue pun makin bingung. Akhinya setelah sidang isbat menetapkan bahwa Lebaran jatuh pada hari Rabu, 31 August 2011, maka suami gue pun memutuskan untuk berpuasa besok harinya. Sedangkan bokap nyokap gue tidak.

Jam 10 pagi gue bangun setelah makan sahur jam 3 pagi dan beranjak ke kamar bokap. Rencananya gue akan berkunjung ke rumah nenek suami gue kalau hari ini sudah Lebaran. Mertua gue bilang kalo semua sodara-sodaranya udah Lebaran hari ini. Tapi nenek Lebaran tetap ngikutin pemerintah. Artinya gue nggak jadi lebaran ke rumah nenek suami gue. Yep, gue sekarang malah maenin laptop sementara bokap nyokap gue berencana nonton Transformer 3. Namun ada pernyataan bokap gue yang cukup mengejutkan gue,

“Puasa hari ini haram tau nggak.”

Marilah kita telaah lagi bahwa memang ada waktu-waktu di mana puasa diharamkan bagi umat Islam, antara lain pada saat Idul Fitri & Idul Adha. Haram adalah salah satu hukum Islam di mana jika kita melakukan maka kita akan berdosa dan akan mendapat pahala jika kita tidak melakukannya. Pernyataan bokap gue sebenernya menarik karena sejak kapan bokap gue begitu ‘peduli’ dengan term ‘haram’ dan ‘halal’? Perlu diketahui sedikit latar belakang religius keluarga gue. Sepanjang hidup gue, orang tua gue tidak begitu menekankan penerapan agama secara praktikal. Maksdunya gue tidak dipaksa untuk shalat, puasa, mengaji walaupun mereka memfasilitasinya. Dari kecil gue diajarkan baca Qur’an & belajar shalat oleh guru ngaji namun orang tua sendiri tidak mengajarkan secara langsung. Yang justru gue ingat dari pendidikan religius dari orang tua gue adalah bahwa sebagai manusia yang hidup di muka bumi ini kita harus saling mengasihi, memberi dan menghormati perbedaan. Gue cukup terkesima melihat perubahan mereka yang perlahan namun pasti mulai ‘mempermasalahkan’ pritilan semacam ini. Karena ketika gue sudah mulai menemukan hakikat puasa itu sendiri, gue merasa orang tua gue ‘berjalan’ ke arah yang lain.

Yep, gue masih ‘berjuang’ untuk menemukan kesejatian shalat tapi gue merasa sudah mulai menemukan kesejatian puasa di tahun ini. Hal ini tanpa gue sadari gue ‘temukan’ ketika gue sedang ngobrol dengan partner gue di kelas. Gue merasa sangat beruntung bisa bekerja di tempat dengan beragam etnis, kepercayaan, bahkan kebangsaan karena pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti, “Kenapa 21 di sini nggak impor film Hollywood lagi sekarang?”, atau “Kenapa kamu nggak punya family name?”, atau “Kenapa orang Islam puasa?” Pertanyaan terakhir ini pernah ditanyakan di awal minggu bulan puasa tahun ini oleh partner gue dan seinget gue dia juga pernah bertanya dulu. Gue pun nggak menyangka akan penjelasan yang gue berikan ke dia ketika tepatnya dia bertanya,

“Kenapa KAMU puasa?”

Hmm… karena gue ini bukan Islam yang praktikal. Gue nggak shalat, gue udah lama nggak baca Qur’an, dan sejumlah ritual keagamaan yang harusnya gue lakukan sebagai muslim. Tapi puasa gue merasa beda, gue puasa karena ini saatnya di mana gue menghormati Allah SWT, Tuhan gue, mengucap syukur atas berkah dan rahmah-Nya, mengikuti semua aturan praktikal berpuasa. Puasa mendekatkan gue dengan Tuhan gue secara religius karena gue juga mempunyai beberapa cara mendekatkan diri dengan Allah SWT, salah satunya dengan bekerja menjadi guru J. Yep, gue berpuasa karena ini cara gue mengucap syukur kepada Allah SWT dan nggak yang lain. Tahun ini gue kehilangan banyak hari puasa karena gue sakit, tapi gue mendapatkan seminggu puasa paling bermakna dalam hidup gue di minggu pertama puasa. Di minggu itu, gue merasa enjoy menjalankan aktivitas. Gue tidak menggunakan alasan gue sedang berpuasa untuk tidak melakukan sesuatu seperti bekerja seperti biasa – bahkan lebih sibuk supaya nggak berasa laper :p – tetep olahraga sejam sebelum buka dan diterusin seperti biasa.

Lalu tibalah hari ini, 30 Agustus 2011, kalender sih udah merah yah, tapi karena sidang isbat memutuskan kalo Lebaran masih besok, maka hari ini gue masih berpuasa. Kali ini gue punya alasan lain kenapa gue berpuasa, karena suami gue mengimani bahwa sebagai umat Islam kita harus taat pada keputusan pemerintah karena kita tidak mengikuti aliran manapun. Alhamdulillah, gue ikhlas mengikuti keputusan suami dan gue menghormati keputusannya.

Lalu apakah tindakan gue haram? Alhamdulliah lagi, gue tidak merasa seperti itu karena gue melakukannya semata-mata karena gue mengikuti imam gue dan ini adalah bagian dari cara gue bersyukur kepada Allah. Cuma satu hal: it feels right J. Jadi apalah arti haram dan halal ketika jauh di lubuk hati terdalam elo tau apa yang salah dan bener?

Gue cuman cengar-cengir aja memantau status BBM dan Twitter yang ribut soal perbedaan ini, gue nggak menanggapi sama sekali. Tapi dengan media ini gue mengomentari bahwa apakah sedangkal itu keimanan elo sampe harus ribut? Gimana kita bisa akur antar agama ketika kita masih ribut nentuin kapan Lebaran? PR abis! Namun harus gue akui bahwa lucu karena ada 1 kejadian yang sebenernya sepele tapi ternyata signifikan dan mengganggu: opor ayam & ketupat bisa basi kalo Lebaran mundur! :D

Pada akhirnya gue mengucapkan Minal Aidin wal Faizin, mohon maaf lahir dan batin. Semoga kita semua kembali suci di bulan baru. Surely will gonna miss our fasting ritual: buka puasa bareng karena puasa nggak hanya mengucap syukur tapi juga menyambung & mempererat tali silahturahmi.

Hotel Atlet Century Park Jakarta

Room 737

11:07 a.m.

Minggu, 19 Juni 2011

It is not a Goodbye



Hmm…, udah lama banget gue nggak nulis di blog ini. Pada akhirnya gue menulis kali ini karena gue nggak mau kenangan ini hilang tanpa jejak sedikit pun. Kenangan yang akan gue bawa seumur hidup.

Pada tanggal 5 Juni 2011, ini adalah salah satu dari 3 tweet yang gue posting:

“It’s gonna be an emotional week ahead :’)”

Nggak terasa ternyata minggu itu adalah minggu terakhir gue bekerja sebelum libur panjang tiba. Rasa kehilangan selalu timbul di minggu terakhir sekolah. Tak hanya rasa kehilangan, namun juga ketidakpastian di tahun ajaran baru dan segala tantangannya.

Tapi tahun ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Empat dari teman dekat gue di sekolah akan mengundurkan diri untuk mengejar mimpi-mimpi mereka. Mimpi yang mungkin terlalu takut untuk gue kejar namun mereka berani. Nekat tepatnya :D

Tanggal 9 Juni 2011 adalah hari perpisahan formal yang diadakan oleh kepala sekolah. Sejak pagi, gue begitu emosional mengingat mereka akan mengucapkan salam perpisahan di siang hari. Ketika salah satu teman gue meminta gue untuk menandatangi farewell card saat meeting, gue menangis. Yep, menangis di tengah meeting, di saat gue harusnya berkonsentrasi. But I couldn’t help it. I didn’t know why.

Bener ajah, selama acara perpisahan, gue nggak berhenti menangis menyaksikan satu per satu dari mereka mengucapkan salam perpisahan. Tapi sebenernya apa yang gue takutkan dari perpisahan ini?

J misalnya dia bakal tetep ada di Jakarta dan nggak akan jauh kemana. Jeung malah udah jelas bakal ngajar di sekolah apa. Peow? Dia bahkan ngekos di deket rumah gue. Mungkin perpisahan dengan si Coi2 yang membuat gue begitu sedih karena dia akan pindah ke Bali (semoga untuk alasan yang tepat & terbaik)

Lalu gue sedikit demi sedkit menyadari kenapa gue begitu emosional dan takut dengan perpisahan ini karena…gue akan merasa sendirian berjuang sekarang. Am I strong enough?

Ketika gue menangis, gue sendiri. Gogo bahkan jauh dari gue saat itu. Tapi gue melihat dia juga menangis. Entah apa kesedihan terdalamnya melihat 3 teman seangkatannya harus pergi tahun itu.

Sore menjelang malam pas lagi maen badminton, tiba-tiba Gogo pengen ngasi kenang-kenangan ke 4 anak ituh, so…akirnya gue memutuskan untuk bikin scrap in frame yang isinya foto-foto kita selama 3 tahun terakhir. Sebelumnya gue sudah membuat untuk Peow & J karena memang mereka mau ulang tahun. Nah, gimana dengan si Jeung & Coi2? Mau nggak mau gue bikin setelah pulang dari maen badminton & frame-nya nggak bisa beli malam ini karena Peow & Coi2 pulang bareng gue. So?

Pulang dari badminton, dengan sisa tenaga & foto2 yang ada, gue membuat 2 scrap lagi sampai jam setengah 1 pagi. Untungnya ketika mata gue udah sepet, kerjaannya udah beres. Fiuuhh!

Pada tanggal 10 Juni 2011, gue menangis lagi membaca twitter si Peow di mobil:

“Will be missing this morning chat and our silent morning, @arinariane”

Semuanya berubah dan gue nggak suka terlalu banyak perubahan. Tanpa gue sadari kepergian mereka menyebabkan gue menyadari betapa banyak temen-temen gue memaknai hari-hari gue selalu 3 tahun terakhir. Teman-teman yang sejak awal tidak pernah gue bayangkan akan bisa sedekat ini.

Oleh karena itu, untuk pertama kalinya, gue melakukan hal paling ‘nekat’ yang mungkin gue lakukan selama gue bekerja di sekolah itu: ngabur di jam kantor & keseruan pun dimulai *buckle up!

It is a perfect way to wrap up this academic year!

8:30 a.m.

Tiba di kelas dengan perasaan deg-degan karena musti nyiapin 2 frame foto buat Jeung & Coi2. Gue berusaha untuk mengalihkan perhatian si Peow karena dia selalu ada di kelas gue. Tapi untungnya dia pergi buat ngurusin surat-surat. Udah gitu masih ada beberapa foto yang mau diprint karena semalem printer gue kolaps semua.

09:30 a.m.

Tibalah waktunya untuk segera meninggalkan kelas dan meluncur ke Semanggi seperti yang telah direncanakan semalam. Yep. Gue dan Gogo berencana untuk ngabur ke Semanggi untuk membeli 2 buah frame lagi. Harap dicatat bahwa definisi ‘ngabur’ di sini adalah pergi dari sekolah tanpa izin dari atasan. Ngahahahaha! Tak hanya itu, gimana caranya pergi tanpa dicurigai yang lainnya. Akhirnya gue dan Gogo memutuskan untuk cepet-cepet cabut.

Di tengah jalan, Gogo menyadari, “Ini bukannya masih 3 in 1 ya?”

“Joki?”

“Enggak ah, serem!”

Dua detik kemudian, gue pun langsung nyuruh Gogo nelpon bala bantuan,”Agus Leo.”

Untungnya kami masih belum jauh, gue langsung banting setir dan kembali ke sekolah. Tanpa babibu lagi, Agus Leo langsung kita angkut ke Semanggi tanpa dia tau mau dibawa kemana!

10:10 a.m.

Sampailah kami Semanggi setelah dideketin sama joki 3 in 1 dan berasa disuruh setop sama polisi di bawah jemabatan Semanggi serta ‘dipalak’ abang-abang yang bagi-bagi booklet doa-doa. Emang kami udah prediksi kalo tokonya belum buka dan si satpam bilang kalo tokonya buka jam setengah 11.

Karena laper, kami memutuskan untuk makan di kantin Atma dengan menu bakmi ayam bakso, kuetiau rebus dan bihun babi. Nyam! Setelah menjadi intruder di kampus orang, kami pun kembali ke Semanggi dengan harapan toko udah buka tapi ternyata belon, Sodara-sodara!

Akhirnya gue menjogrok seenak jidat di depan tokonya karena kaki udah mulai lecet (salah kostum karena pake jas & sepatu tanpa kaos kaki) sementara Gogo ke Gramedia mencari alternatif. Gue? Mengutuk si mbak-mbak toko, “Ini gimana mo untung jam 11 lewat belon buka!”

Akhirnya setelah semua kebeli, kami balik ke sekolah dan berharap-harap cemas semoga nggak ada yang tau kita ngabur :P

1:30 p.m.

Setelah balik dari kantin untuk makan siang akhir tahun ajaran, gue membereskan semua barang-barang untuk pindahan. Emosi yang gue rasakan kali ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Kesedihan untuk meninggalkan kelas yang telah gue tempati selama 1 tahun sepertinya tidak sebesar tahun-tahun sebelumnya. Gue sama sekali tidak bersemangat untuk pindah, gue bahkan memindahkan barang-barang di hari terakhir dan nggak banyak yang gue bawa. Kehilangan akan anak-anak juga tidak terlalu besar, mungkin karena sebagian dari mereka akan menjadi murid gue lagi di tahun depan.

Tapi gue sedih, kesedihan mendalam yang enggan gue tunjukkan. Sementara teman-teman gue berkeliling untuk berpamitan karena mereka akan mengundurkan diri tahun ini, gue sendirian di kelas ditemenin sama laptop dan lagu dari speaker yang cukup keras, mencoba untuk menenggelamkan kesedihan gue. Bosan dengan laptop, gue beralih ke iPad. Karena emang berencana mencari koneksi wi-fi, gue pindah ke lt. 1 dan duduk di tangga untuk mendapatkan sinyal. Entah karena udah mau liburan atau emang koneksinya bapuk, gue nggak berhasil mendapatkan sinyal di sana. Di tengah kesendirian gue dan mengutuki koneksi wi-fi, gue menerima e-mail perpisahan dari Peow. Sudah bisa diduga, gue menangis lagi membaca imel tersebut. Peow juga menyebutkan nama kami semua sebagai ‘my second family’. Entah apa arti tangisan-tangisan gue sedari kemarin, tapi yang jelas gue sangat kehilangan. Melelahkan memanggul emosi seberat ini tapi gue terus menguatkan diri bahwa ini bukanlah perpisahan. Ya, akan ada yang berubah, namun ini bukan perpisahan. Bukan.

3:30 p.m.

Setelah teman-teman gue kembali dari kelilingan, kami pun bersiap-siap untuk memulai keseruan yang dimulai dari Nanny’s Pavillon Bathroom Pasific Place. Kenapa di PP? Karena si Jeung ketiban rejeki dapet iPod Nano setelah nge-klik ‘like’ di FB dan harus ngambil hadiahnya di La Senza PP. Di sanalah ternyata terjadi percapakan seru yang – sayangnya – tidak gue saksikan sendiri. Adalah Agus Leo yang akan menikah di awal September dan mengingat ‘keortodokan’ kelakuan dan sifatnya, kami sebagai teman penting mengingatkan beberapa hal menjelang pernikahan. Karena percakapan terjadi di depan toko lingerie, maka percakapan pun berkisar malam pertama. Ketika kami menawarkan beberapa lingerie ke Agus Leo, “Ah, ngapain pake lingerie yang bagus-bagus? Ntar juga dilepas.”

Jeung pun menyaut di sambit kemudian oleh Coi2, “Yah, ibarat nasi kuning, yang satu di bentuk tumpengan, yang satu di dalem nasi kotak. Noh, kalo udah kawin setaun dua taun macem si Arin, baru deh celana dalem melar-melar juga nggak papa dipake hari2. Ya khan, Rin?”

Gue mengiyakan namun tidak mengambil bagian dari percakapan. Sepertinya perjalanan Agus Leo menuju malam pertama perlu pengawalan ketat! :D

5:20 p.m.

Ok. Kita masuk Nanny’s setelah puas muter-muter di La Senza. Seperti biasa kita hahahihi tentang kerjaan kantor dan keonyonan orang-orang di dalamnya. Percakapan masuk ke yang lebih serius dan personal. Harus gue akui bahwa berbagi adalah skill yang harus terus dilatih karena berbagi adalah taruhan. Berbagi bukanlah berbagi sesuatu yang sifatnya ngegosipin orang lain di kantor atau ngoceh ngalor-ngidul nggak jelas. Berbagi sesuatu yan personal bukanlah perkara mudah. Sulit bahkan. Dari semua temen-temen gue, Miss J adalah yang paling gampang berbagi sesuatu yang personal. Mungkin dia terlihat pendiam dengan fluktuasi emosi yang stabil, tapi dia adalah orang yang mau berbagi dan pendengar yang baik. Sisanya? Paling2 si Jeung, tapi itu pun jarang karena doi sering menghilang belakangan. Untunglah dia bertemu pria yang sepertinya baik, jadi kelakuannya bener :p

Yep, berbagi sesuatu yang personal mungkin menyakitkan dan sulit tapi bukankah itu gunanya teman? Cara masing-masing kami berbeda mengatasi masalah dan cara kami memberikan masukan pun beda. Mungkin bikin nggak nyaman tapi temen yang baik selalu mengingatkan yang terbaik. Selalu.

Setelah ngalor-ngidul nggak jelas, gue, Gogo dan Agus Leo akhirnya ngasih kejutan yang udah kita siapin dengan segala keterbatasan waktu dan perintilan. I hope you like it! Setelah puas hahahoho di Nanny’s, kita sempetin jalan-jalan dan foto-foto di sekitar PP.

9:20 p.m.

Setelah capek muter-muter, akhirnya kita capcus ke rumah J! Yep! Kita memutuskan untuk nginep di rumah J. Sayangnya Agus Leo & Gogo nggak ikutan. Sepanjang perjalanan gue berdoa semoga nggak kena macet. Sementara J nganterin Agus Leo balik ke Gandaria, gue langsung ke arah rumah J. Alhamdulillah nggak terlalu macet. Tapi justru J yang kejebak macet di mana sampe akhirnya gue, Peow dan Jeung sempet nongkrong dulu di Mc D Cinere lebih dari setengah jam.

Karena udah malem dan gue ngantuk abis, setelah mandi gue menyerah kalah pada ngantuk dan tidur sebelum jam 12 sementara yang lain..entahlah pada ngomongin apaan. Tapi gue sempet denger si Jeung ngomongin gue soal pilihan sepatu ama baju yang so last year! Biarin. Ngok. Si Peow juga sempet kena gebuk sama gue , kayaknya sih gue ngelindur :p

“Wah, kasian banget laki lo tiap malem lo gebukin,” kata si Jeung. Pret!


11 Juni 2011

Besokannya kita berencana untuk nemenin si Coi2 bikin tato. Dia berencana pasanga tato di deket kuping dengan bentuk kunci G. Semoga si treble clef bikin membantu proses penyampaian wejangan ke kupingnya lebih cepat dan lebih baik. Meresap gitu, nggak cuma numpang lewat. Tadinya si Coi2 berencana ke tukang tato di daerah Senopati atau Benhil. Dia juga dapet rekomendasi dari salah satu kolega di Blok M Square. Sepertinya Coi2 pengen bikin yang di daerah Senopati. Maka perjalanan ke tukang tato dimulai.

2:15 p.m.

Setelah sarapan nasi uduk yang nikmat ituh, disadari bahwa perut sudah mulai keroncongan lagi. Si Jeung menyarankan untuk makan sate domba afrika. Yey! Udah lama banget gue pengen nyobain juga. Katanya ada di daerah deket rumah J. So…mekuncurlah kita ke Goyang Domba. Lucu banget poster-poster di warung Goyang Domba (pelesetan Goyang Dombret kayaknya). Ada poster End of Day (??) lengkap dengan domba terbangnya. Juga ada wall of fame dan teryata Alec Baldwin pernah makan di sana! Nyam! Nyam si domba itu. Nggak terlalu mahal, enak walaupun sedikit bau domba. Hehehehe.

3:30 p.m.

Nggak terasa tau-tau dah sore dan kita masih musti nyari-nyari si tukang tato. Setelah muter-muter lewat jalan tikus ngindarin macet, akhirnya ketemulah si tukang tato. Pas kita dateng, ada pelanggan yang lagi di tato di seluruh tangan dan belon beres. Ini pertama kali gue ke tukang tato. Serem? Iyah. Tempatnya remang-remang ber-AC dengan bau rokok. Perpaduan mematikan! Berhubungan perjalanan jauh, taka da salahnya gue numpang buang air kecil alias pipis di sana. Ternyata setelah ditanya, wek! 800rb/ jam! Nego sana sini ternyata nggak dapet juga, akhirnya Coi2 memutuskan untuk ke Blok M Square seperti rekomendasi sebelumnya. Menurut J sayang harus keluar segitu karena tato yang diminta itu nggak rumit dan kecil. Sebelum ke Blok M, kita mampir dulu di toko kue Tivi. Entah kenapa saya cukup terkesan dengan kleponnya. Lho?

5:50 p.m.

J harus balik ke rumah karena ternyata Luna, kucingnya, harus diopname karena nggak mau makan dan minum selama 4 hari. Si Gogo yang nyusul ke rumah J pagi-pagi juga berpisah di toko Tivi karena musti nyambung ke Gading (btw jas gue jangan ampe ilang yee…buat graduation taun depan tuu, eike bakal mejeng di panggung soalnya :D)

Perjalanan diteruskan dengan menyisakan gue, Coi2, Peow dan Jeung. Berbeda dengan tukang tato di Senopati, tukang tato di Blok M ini cuman berupa kios kecil 2x3 m dengan luas yang minimalis. Entahlah apa yang membuat Coi2 akhinya yakin dengan si abang, akhirnya dia memutuskna untuk ditato di sana. Awalnya si Coi2 melebai seperti biasa, bawel ke si abang sampe tangan si Jeung dipegang macam pengen beranak aja. Nggak sampe setengah jam, si kunci G bertengger manis di bawah kuping Coi2. Selamat!

It’s not a goodbye

Setelah semua beres, Jeung dijemput pacar untuk pulang. Gue, Coi2 dan Peow pulang juga balik pulang. Seperti bias ague mengantar si Coi2 ke kosannya. Saat itu gue sadari, itulah terakhir kalinya gue mengantarkannya pulang ke kosan. Gue pun masuk ke kosannya karena Peow berencana pindah ke sana. Gue lihat kamarnya sudah kosong dan barang-barangnya sudah terpak rapi. Itulah juga pertama kalinya gue masuk ke kamar kosannya. Gue masih inget waktu musti jemput dia ke Obonk. Kata ibu kos si Coi2 udah nggak ngekos lagi di situ. Heh? Padahal baru kemarennya gue nganterin dia pulang ke sana. Ibu kos bilang kalo Coi2 dah lama pindah kerja ke Grand Indonesia. Heh?! Nii anak punya kehidupan ganda apa gimana sii?

Pas mo pulang karena nggak berhasil menemui si Coi2, si Ibu nanya lagi, “Ini Patricia yang mana ya?”

Peow jawab, “Itu, Bu, yang tinggal di kamar depan situ.”

“Ooww!! Yenny? Kalo Yenny ada.”

Gubrak!

Sampai di rumah gue pun tidur dalam gelap menunggu laki gue pulang. Ini bukan perpisahan, tapi kenapa gue sedih sekali? Setelah nganter Peow ke kosannya, gue tau kalo gue akan ketemu dia lagi setelah ini, tapi kenapa gue sedih? Entahlah, apa karena setelah gue masuk sekolah lagi gue akan sendirian? Atau karena Peow nggak akan nemenin gue lagi pagi-pagi berangkat sekolah? Atau karena gue akan sendirian pulang ke rumah setelah hamper tiap hari gue mengacau bersama Peow dan Coi2? Atau karena temen-temen gue nggak ada buat ngabur-ngaburan abis jam sekolah? Atau apa?

Pada akhirnya gue bangga dengan temen-temen gue yang pergi dan mengejar mimpi mereka. Bangga karena nggak semua seberani mereka mengambil keputusan besar meninggalkan tempat yang sedikit banyak sudah memberikan kenyamanan pada kami. Nekat tepatnya. Hahahaha.

Thank you for a wonderful friendship for the past 3 years. It is something that I never expected. Before I wonder why this is happen but maybe it is a simple sign that I’m strong enough to face it by myself. All of you truly give me inspirations to spread my wings wider and fly higher because when you can, I also can. Good luck for all of us! Cheers!

19 June 2011

8:50 p.m.

My bedroom

Kamis, 10 Februari 2011

What A Teacher Make

Jadi guru adalah hal yang nggak terpikirkan untuk gue jadikan pekerjaan sebelumnya karena stereotipe yang bermacam-macam. Mulai dari tidak menguntungkan secara finansial hingga masa depan yang suram (lagi2 karena alasan finansial)
Tapi sekarang, gue nggak bisa membayangkan bekerja dan mengisi hidup gue tanpa mengajar. Oke, gue sekolah komputer dan akuntansi. Oke gue bisa kerja di bank atau perusahaan lainnya. Tapi apakah gue akan menikmat pekerjaan gue seperti gue menikmati pekerjaan gue sebagai guru?
Suka duka yang gue jalanin kadang bikin gue lelah menjadi guru. Apa sii yang gue dapat dari pekerjaan ini? Apalagi jaman ini beda banget sama jaman gue dulu sekolah, di mana orang tua dan guru bekerja sama mendidik anak. Sekarang guru yang sangat berhati-hati pun bisa aja kena semprot hanya karena orang tua merasa membayar jasa & guru sebagai pemberi jasa yang harus mampu memberikan yang terbaik.
Tapi yang mereka selalu lupa adalah sekolah merupakan tempat belajar mempertajam hal baik yang mereka bawa dari rumah, melengkapi apa yang tidak ada di rumah, belajar bersosialisasi dan berempati.
Nyatanya, sekolah kini dilimpahi seluruh tanggung jawab yang harusnya dipikul bersama orang tua serta mengejar nilai akademik.

Satu artikel yang gue dapet dari si Coy2 benar-benar menggambarkan kehidupan gue di sekolah bersama murid-murid gue. It's true... It's really what happen..
Dan yang paling penting, apa elo bisa menjawab pertanyaan terakhir, "What do you make?"

A school principal 's speech at a graduation
He said, "Doctor wants his child to become a doctor, engineer wants his child to become engineer, businessman wants his ward to become CEO, BUT a teacher also wants his child to become one of these..! Nobody wants to become a teacher BY CHOICE. Very sad but that's the truth!"

A Teacher Answers
The dinner guests were sitting around the table discussing life. One man, a CEO, decided to explain the problem with education. He argued, "What's a kid going to learn from someone who decided his best option in life was to become a teacher?"
To stress his point he said to another guest; "You're a teacher, Bonnie. Be honest. What do you make?"

Bonnie, who had a reputation for honesty and frankness replied, "You want to know what I make?"

She paused for a second, then began,

"Well, I make kids work harder than they ever thought they could.
I make a C+ feel like the Congressional Medal of Honor winner.
I make kids sit through 40 minutes of class time when their parents can't make them sit for 5 without an I Pod, Game Cube or movie rental.
You want to know what I make?"

She paused again and lookedat each and every person at the table,

"I make kids wonder.
I make them question.
I make them apologize and mean it.
I make them have respect and take responsibility for their actions.
I teach them how to write and then I make them write. Keyboarding isn't everything.
I make them read, read, read.
I make them show all their work in math. They use their God-given brain, not the man-made calculator.
I make my students from other countries learn everything they need to know about English while preserving theirunique cultural identity.
I make my classroom a place where all my students feel safe.
Finally, I make them understand that if they use the gifts theywere given, work hard, and follow their hearts, they can succeed in life."

Bonnie paused one last time and then continued.

"Then, when people try to judge me by what I make, with me knowing money isn't everything, I can hold my head up high and pay no attention because they are ignorant.
You want to know what I make?
I MAKE A DIFFERENCE IN ALL YOUR LIVES, EDUCATING KIDS AND PREPARING THEM TO BECOME CEO's, AND DOCTORS AND ENGINEERS."

"What do you make Mr. CEO?"

His jaw dropped. He went silent