Minggu, 18 Desember 2016

#AksiDamai is A Privilage

#AksiDamai is A Privilage

Jakarta sedang jadi sorotan. Semua mata mengarah ke Jakarta sebulan terakhir ini. Jakarta tempat saya tinggal, yang semua numplek di satu tempat, menjadi barometer apa yang akan terjadi di masa mendatang.

History is in the making now. 

Will Jakarta have a non-Moslem/ Chinese Governor elected?

Saya nggak paham politik. Saya juga nggak paham benar Islam, agama yang saya percaya, sebaik orang-orang Muslim lainnya. Namun ketika ditanya tentang apa yang sedang terjadi saat ini, inilah stand-point saya.

Sejak dulu saya selalu tegas mengatakan bahwa seorang pejabat publlik, siapapun itu, harus berhati-hati berbicara. Mulai dari Marzuki Ali yang dulu mengatakan resikonya penduduk Pulau Mentawai yang tinggal di tepi pantai sampai kena tsunami. Iya bener, waktu itu dia kalau enggak salah Ketua DPR. Masa’ Ketua DPR yang terhormat ngomongnya begitu? Lah, Mentawai khan bagian dari Indonesia, sudah seharusnya menjadi tanggung jawab kita semua untuk membantu khan? Pernyataan seperti itu sih udah enggak nolong, ditambah sangat tidak sensitif. 

Lalu pernyataan Ahok soal surat Al-Maidah? Bahwa memang Ahok tidak sepatutnya berkata seperti itu di depan publik. Apapun itu, bias munculnya, dan akhirnya menimbulkan keresahan. Umat Muslim pun meradang. Seorang Ahok bisa mengumpulkan ratusan ribu, well, jutaan ya? orang berkumpul di jantung ibukota Indonesia, 2 kali. 

Aksi Damai 4 November 2016 yang awalnya terlihat ‘damai’ berakhir dengan kericuhan. Gas air mata sempat dilepaskan. Saya juga mendapat kabar bahwa di sekitar Penjaringan dan Pluit, kediaman Ahok, sekumpulan orang dikatakan melakukan sweeping. Ada kiriman foto pecahan kaca yang dilempar batu hingga segerombalan orang berpakaian putih-putih masuk ke kompleks perumahan. Sempat dikabarkan mall Baywalk ditutup dan orang-orang di dalamnya diinapkan di dalam mall. Semua warga dan marinir bersiaga. 

Saya yang tadinya percaya segalanya akan berjalan baik-baik saja menjadi khawatir. Kok modelnya seperti tahun 1998? Waktu itu saya masih SMP. Masih jelas diingatan orang pertama yang masuk ke Makro Meruya (sekarang Lotte Wholesale Meruya) untuk menjarah. Terus dari siang hingga keesokan paginya. Saya ingat orang-orang bolak-balik di depan rumah dengan barang jarahannya. Kakek saya yang ketakutan sampai menutup stiker Mabes Polri yang ditempel di jendela rumah. Yang ternyata juga terjadi adalah papa saya yang tidak pulang 2 hari karena harus siaga di kantor. 

Tapi saya percaya dengan Jokowi dan seluruh jajarannya. Saya percaya dia tidak akan tinggal diam membiarkan sejarah terkelam yang terjadi di Indonesia terulang lagi. Ketika Jokowi akhirnya mengeluarkan pernyataan bahwa ada aktor-aktor politik di balik aksi damai, saya tahu, bahwa semua ini hanya permainan politik yang berusaha untuk mengambil alih kekuasaan. 

Lalu bagaimana Aksi Damai tanggal 2 Desember 2016? Sama saja. Semua tentang pengambilan kekuasaan. Semua ini tentang segelintir orang yang ingin menghancurkan apa yang susah payah kita bangun sejak reformasi. Indonesia sudah lebih baik dan lebih kuat. Kudeta, apapun bentuknya, akan menghancurkan bangsa ini. 

Tapiiiii, saya juga paham bahwa banyak orang yang merasa perlu membela agama dan kepercayaannya atas apa yang diucapkan Ahok. Bahwa tidak semua orang yang hadir di aksi damai kemarin adalah orang bayaran. Saya percaya banyak sekali orang yang memang ingin datang untuk berkumpul bersama umat Muslim lainnya menuntut keadilan atas penistaan agama. Rasanya seperti ngebelain anak sendiri yang ditabok sama anak orang dan akhirnya punya kesempatan untuk membela diri. 

Namun saya punya opini sendiri, saya merasa bahwa umat Muslim memiliki hak istimewa untuk menyuarakan pendapat mereka, salah satunya dengan menutup jalanan protokol dan sekitar Monas untuk melakukan kegiatan agama. Betapa baiknya pemerintah saat ini dengan mengizinkan aksi damai tersebut terjadi, padahal jalanan yang digunakan adalah milik publik. Seluruh warga Jakarta menghormati bentuk penyampaian pendapat, hak berdemokrasi di republik ini. Sebagai Muslim, kami beruntung punya hak istimewa ini. Karena saya tahu persis bagaimana sulitnya umat beragama dan kepercayaan lainnya untuk membangun tempat ibadah dan menjalankan ibadah agamanya. Apakah mungkin umat beragama lainnya punya kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya seperti Aksi Damai yang lalu? Sampai dua kali lho. Belum lagi ceramah shalat Jum’at yang sering menyudutkan orang-orang beragama lain. 

Coba liat aja apa yang terjadi di Sabuga baru-baru ini (7 Desember 2016). Apa hak kalian membubarkan orang yang jelas-jelas sedang beribadah? Apa hak kalian mengganggu orang yang sedang mengagungkan Tuhan mereka? Sejak kapan Islam seperti ini? Sejak kapan? Saya Muslim dan saya bukanlah Muslim yang seperti itu. Kalian yang membubarkan ibadah seseorang, kalian yang melarang pembangunan tempat ibadah, kalian yang menghancurkan patung Buddha, kalian tidak mewakili saya sebagai Muslim. TIDAK. 

Saya kecewa dengan sikap pemerintah yang seharusnya bisa tegas akan hal ini. Saya masih menunggu apa yang akan Jokowi lakukan sebagai Presiden. Ketika Aher, Gubernur Jawa Barat saja bisa bilang itu bukan masalah besar, I have no hope. Kebebesan beragama menurut kepercayaan masih berupa hapalan teori di buku pelajaran. Saya beruntung menjadi mayoritas di negara ini. Tapi saya tahu banyaknya rakyat Indonesia yang bahkan tidak bisa menikmati hak-hak mereka sebagai warga negara di Indonesia. Ahok punya dua ‘dosa’ untuk bisa jadi pemimpin ibukota Jakarta yang luar biasa plural. Jakarta itu semua ada. Enggak hanya milik mayoritas. Saya rasa kita belum siap menjadi bangsa plural yang ketika menjadi mayoritas tidak menekan yang minoritas, dan yang minoritas tidak merasa minderan. 

Kita tinggal di Indonesia dengan keberagamannya, kenapa ya ini bisa sampai terjadi? Saya juga bingung sekali. Apa karena orang-orang seperti saya tidak bersuara selantang yang lainnya? Apa karena orang-orang seperti saya tidak berani dihakimi oleh Muslim lainnya? Iya. Itu dia. Betul. Saya takut dihakimi oleh umat Muslim lainnya. Saya takut dihakimi oleh penganut agama yang juga saya anut. Lalu kemudian saya paham mengapa minoritas lainnya pun akhirnya enggan bersuara. Saya aja yang Muslim takut!

Saya takut dicap kafir oleh sesama Muslim. Saya takut digurui dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Saya merasa bahwa saya tidak bisa berpendapat dengan tenang kecuali tidak berseberangan dengan pendapat orang-orang yang merasa paling benar. Mungkin itu sebabnya mengapa orang-orang yang merasa paling benar, yang lainnya salah, bisa bebas melakukan apa yang mereka ingin lakukan dengan mengatasnamakan agama. 

Lalu bagaimana dengan orang-orang baik yang sedang diserang orang-orang jahat jika silent majority keep silent? Kenapa ya kita tidak bisa berbeda pendapat tanpa harus saling memaksakan bahwa pendapat itu harus bisa diterima orang lain? Kenapa kita tidak bisa hidup berdampingan dengan damai seperti dulu? Kenapa sekarang sekelompok minoritas bisa saja mengatasnamakan agama lalu melakukan apa saja yang mereka anggap benar sampai tidak ada seorang pun yang mengatakan bahwa itu tuh salah. Iya salah. Yang berhak melakukan penggerebekan, misalnya, adalah pihak berwajib, itu pun juga ada prosedurnya. Iya harus begitu karena kita negara hukum, bukan hutan rimba yang enggak punya aturan. 

Ingat ya, keimanan nggak hanya diukur dari apa yang keliatan di luar. Keimanan adalah privasi yang tidak boleh diganggu oleh siapapun. Yang jelas kita harus bisa hidup saling menghargai dan menghormati. Itu saja. Bisa, Indonesia?

Home
18 December 2016

22:21

Rabu, 16 November 2016

Here I Present Myself: 2016 Porsekary Badminton Mixed Double Champion!

Siapa yang sangka ternyata di tahun 2016 gue akan mencoret salah satu bucket list gue sebagai juara badminton Porsekary. 

Yep, I am a champion! Finally after 7 years attempted, finished as runner-up twice, on November 15, 2016, I finished as number one with my partner, Mr. San Karya.  

Tiap tahun rasanya gue udah nggak mau ikut aja karena mulai dari susahnya cari partner, diajakin partneran sama orang yang sama sekali nggak pernah main sebelumnya sampai ditinggal sama partner beberapa hari sebelum pertandingan pertama. 

Tahun lalu, karena ditinggal partner, akhirnya panitia memasangkan gue dengan orang di luar kampus Simprug. Gue belum pernah main sama dia sebelumnya dan… drawing yang selalu kurang menguntungkan karena ketemu sama seeded player di babak awal. 

Entah mana yang lebih buruk, nggak pernah latihan sama pasangan atau drawing yang nggak menguntungkan. 
Either way, I lost in first match in mixed double discipline but got walk-out in women’s single setelah lawan ditungguin nggak dateng-dateng sampe jam 9:30 malem!

Gagal di mixed-double, satu-satunya harapan adalah di women’s single yang untuk pertama dan seperti terakhir kalinya diadakan. Perjalanan gue cukup mulus hingga ke final tapiiiiii…. karena nervousnya, akibatnya gue bermain under-performed pas di final. Nggak hanya lawan gue anak UKM Badminton, gue juga cuma dikasih 1 skor sama lawan. I did remember what I said to my friend in between sets, “I just want this to be over. I am so tired i could kill  myself.”
Dari tahun ke tahun, makin ke sini, mental gue udah macam mental tempe aja. Belum main, belum apa udah takut duluan sama lawan. Mau gampang, mau susah, takut aja bawaannya. Kalo aja gue nggak di bawah tekanan, mungkin gue bisa dapet skor lebih banyak walaupun gue yakin bakal tetep kalah sih. So I finished as runner-up in 2015 dengan sebotol Mylanta sebagai penopang keresahan gue selama seminggu lebih menanti dari satu pertandingan ke pertandingan berikutnya. 

Believe it or not, winning Porsekary is one of my bucket list. Sepertinya sudah 2-3 tahun lalu gue tweet soal ini. Gue lupa alasannya tetapi gue pengen banget menang di sini. Walaupun lawannya banyak di bawah kemampuan gue, tetapi ada aja 1-2 orang yang jauh lebih bagus dari gue, biasanya anak UKM Badminton yang juga magang. Coba pikir, gimana caranya ngalahin orang yang jauh lebih muda dari gue dan berlatih di klub? Apa nggak mamam tuh gue?!
Setelah dua kali berakhir sebagai runner-up, sekali bersama Pak Ermun, di mixed-double dan women’s single, harapan gue makin pupus ketika tahun 2016 panitia membuat aturan baru: pasangan ditentukan oleh panitia secara acak. Lalu gue pun mengucapkan, “Wasalamualaikum warohmatulahiiii wabarokatuh.”

Sudah sangat tipis keinginan gue untuk ikut karena di awal gue sudah punya beberapa kandidat yang akan gue bawa ke Porsekary tahun ini. Tapi bagaimana mungkin gue bisa melewatkan ajang tahunan ini setelah penasaran selama bertahun-tahun nggak bisa menang? Akhirnya gue mendaftarkan diri dan berharap nasib baik akan berpihak sama gue. 
Akhirnya waktu yang ditunggu tiba, hasil undian pasangan dan pertandingan muncul. Begitu tahu akan berpasangan dengan Pak San, ada muncul sedikit harapan untuk menang, minimal sampai semifinal lah, soalnya…. begitu sampai semifinal, ternyata gue satu pool sama yang ngalahin gue di final women’s single tahun lalu dan yang ngalahin Pak San di mixed-double! Pak San sendiri juga yang ngalahin gue tahun lalu di mixed-double pun kalah di semifinal! Tapiii, ada lah sedikit harapan menang karena pasangannya ini nggak sekuat tahun lalu, still, he’s good though. I was nervous. 

Babak pertama dilalui dengan super duper nervous. Kalo gue masih bermain segugup babak pertama, nggak mungkin banget gue bisa menang di semifinal, terlepas lawannya emang lebih jago dari gue. Babak pertama sebenernya nggak berat sama sekali lawannya, lumayan buat coba-coba lapangan sama partner. Hanya saja kita berdua masih nervous. Walaupun gue inget, nggak banyak bikin salah sendiri, tapi gue masih grogi banget mainnya. Beberapa kali juga pukulan Pak San keluar padahal pukulan dan smash-nya kenceng & tajem!

Melenggang ke semifinal, enggak ada persiapan fisik secara khusus sih, karena yaa mo gimana lagi? Lapangan Simprug nggak bisa dipake buat latihan. Lagian mau latian apaan lagi deh. Tapi sejak 2 bulan lalu gue suka ngerekam pertandingan ala-ala Srimulat khan tuh. Gue selalu terhibur nonton rekaman pertandingan gue sama temen-temen, entah karena akhirnya gue bisa liat sendiri gimana gue main dan ada beberapa match yang akhirnya gue bisa bilang, “Wow, ternyata elo bisa main sebagus itu ya,” atau ketawa geli ngeliat 4 orang wakwau main badminton. Hahahaha. Anyway, watching my own matches boost my mood and confidence. Ketika tau lawan gue adalah yang mengalahkan gue tahun lalu, one thing that I can say a day before the match was if I play in my best form, I might win the match! 

Begitu pun orang-orang yang gue tanyain, suami gue, temen-temen bahkan murid gue, “Kamu bisa aja menang, peluangnya 50-50 kok.” Wow, di sini gue merasa semakin percaya diri. Harus gue akui pula, bahwa mungkin gue terlalu rendah menilai diri sendiri. Bahwa benar adanya yang paling sulit itu ya mengalahkan diri sendiri kok. Kalo emang lawan di atas kita sekali pun, selama mental bertandingnya adalah memberikan yang terbaik & gak mau gampang mati, apa pun bisa aja terjadi. So, I hope I can beat myself so I can beat my opponent.

And, you wont believe what happened! I won the semifinal!!! Entah karena kami bermain selepas mungkin mengalahkan rasa gugup dan lawan yang juga ternyata sama gugupnya, gue ngotot untuk bermain sebaik mungkin. I couldn’t believe myself! Banyak banget pukulan-pukulan gue yang biasanya nggak masuk, ini masuk terus. Sedikit banget unforced error daannn partner gue gilaaaa! Gada matinya! Dan yang paling penting lagi adalah Pak San is one of the greatest player yet most humble! Itulah sebabnya kenapa gue bisa cepet gelling sama dia karena dia menganggap gue setara dengan dia sehingga dia mempercayakan bola-bola yang memang seharusnya gue ambil tapi tetap bisa menutupi kekurangan gue. Backhand yang menjadi salah satu kelemahan gue justru menjadi pukulan yang sering membuahkan poin. Karena ketika backhand gue masuk dengan sempurna, bakal sangat tipis dan rendah di depan net. Silakan mamam pukulan backhand gue. 

Pak San and I, a minute after won the semifinal against  strong opponent.
He said, "Fotonya mah nanti aja kalo udah menang di final."
And I said, "Udah menang lawan mereka aja bagus banget, Pak. Yang penting foto dulu."
Memang sih kalo backhand gue lemah dan harus lebih kenceng lagi, lalu gue bilang, “Nggak perlu kenceng, asal masuk & jadi poin.” What happened in semifinal proved it. Lagian, kalo soal pukulan kenceng, ya itu tugas partner laki gue di belakang sih.  Namun harus gue akui bahwa respon defense gue masih kurang banget makanya sebisa mungkin kami selalu memperlambat tempo permainan dan sebisa mungkin menurunkan bola. Kemenangan kami di semifinal juga dikarenakan lawan yang bermain di bawah performa terbaik mereka. Bisa jadi karena mereka nggak biasa main mixed-double sama-sama. Memang susah juga kalo spesialis tunggal harus main ganda. Siapa bilang main ganda gampang, enggak, lebih susah. Mungkin nggak secapek single fisiknya, tapi main double bisa jadi lebih capek hati haha.

Kemenangan kami di semifinal signifikan dengan skor 21-10, 21-11. Gue sebenernya lebih parno kalo angkanya ketat karena gue suka bloon kalo main di angka-angka tua. Untungnya kami selalu memimpin dan menjaga margin dengan baik. 

Melewati lawan berat di semifinal enggak bikin gue lebih tenang ketika berhadapan dengan lawan di final. Setelah Pak San memenangkan pertandingan men’s double, panitia menawarkan kami untuk melanjutkan ke partai final. Ya gue sih oke aja, lah, Pak San gimana? Apa nggak modiar maen sampe 3 games gitu? Tapi daripada musti bolak-balik ke kampus penuh pengorbanan batin, gue setuju aja. 
2016 Badminton Mixed Double Finalist

Akhirnya kami bertanding final di hari yang sama, di mana lawan masih seger karena belum main sama sekali dan gue udah setengah babak belur di semifinal, plus Pak San yang udah 2x main serius malam itu. But well, biasanya gue juga maen sampe jam 9 malem kok, so let’s do it!

Lawan gue di final sebenernya nggak seberat semifinal karena walaupun yang laki-laki lebih kuat tapi secara skill yang cewek jauh di bawah gue lah. Cumaaannn, nah tau khan kalo masih beginner gitu pukulan-pukulannya suka aneh-aneh? Kayak jaman dulu gue main tuuuhhh hahahaha. Anyway, sempet di awal-awal set 1 & 2 kami ketinggalan 4 poin sampai akhirnya bisa ditutup dengan skor meyakinkan 21-12. Gue begitu semangat berkata dalam hati, “Come on! It’s just a set away from the champion title.”

Set kedua sempet agak tegang dan panas karena sempet ketinggalan 8-12 hingga akhirnya bisa match point di angka 20-11 walaupun sempat akhirnya kehilangan beberapa match point dan menang dengan 21-15! Harus gue akui, kalau ditanya mana yang lebih berat, keduanya sama berat, kami beruntung karena kami bisa lepas dari tekanan. Secara fisik, kami sudah mulai lelah di set kedua. Pukulan Pak San mulai banyak ke luar & badan gue mulai berasa capeknya. Kalau sampai rubber game, bisa panjang urusannya. Gue cuma bisikin satu hal ke Pak San, “Kasih aja ke ceweknya.” Well, it’s a game, we want to win. So be it. Karena gue juga sering banget diserang sama lawan yang laki dengan smash-nya. Gue sih nggak masalah, udah berkali-kali latihan di-smash ama bapak-bapak Simprug plus sama guru olahraga pas kena bibir gue sampe jontor! It was nothing compare to what I have in my practice and play in Simprug.

Ketika pukulan depan net Pak San yang bertubi-tubi akhirnya gak bisa dikembalikan lawan, finally, we got the title, Mixed Double Champion! Senang? Jelas! Tapi lebih ke nggak percaya karena akhirnya bisa menang! 

Why is it so important and memorable for me? Because I never been a champion before. Never. Always ended-up as runner-up or second runner-up. Sempet sih waktu mau mulai final pengen bilang ke Pak San, “Pak, saya udah pernah jadi runner-up, pengennya juara kali ini,” tapi gue urungkan because I don’t want to jinx it. Badminton adalah passion gue yang terlambat gue temukan. Seandainya gue temukan itu jauh ketika gue masih kecil, bisa jadi gue udah melanglang buana dengan bermain badminton karena gue nggak bisa bayangkan hidup nggak main badminton. Ketika ada kesempatan untuk main, maka gue bermain. Tujuh tahun yang lalu, gue diajak temen gue untuk main bersama temen-temen di kantor. Dari yang enggak bisa mukul sama sekali, selalu kalah di babak-babak awal, sampai akhirnya gue bisa juara, what a journey & achievement! 

Semuanya nggak mungkin terwujud tanpa dukungan temen-temen gue, so I would like to say thanks to Pak San Karya, Kiki, Mega, Pak Edi, Pak Manik, Pak Didi, Pak Alfret, Nico, Udek Dennis, Pak Ermun, Pak Jito, Hendra, Ibu Alma, Miki, Henry, Bang Sadrakh & Pak Dai, and of course, my always favorite student, Joey, yang selalu lebih semangat ngalahin gue daripada jadi partner gue hehe. This title is for all of us who always excited to be on badminton court and nowhere else. 
With some die-hard fans from Simprug. Haha! Thank a ton!
The champion is signing off now. See you all on court!

Jakarta, 16 November 2016
10:33 P.M.
Bedroom

*Porsekary: Pekan Olahraga dan Seni Karyawan

Rabu, 03 Agustus 2016

Kekerasan Fisik Guru terhadap Murid

Udah lama nggak nulis akhirnya gue kembali dan ingin membahas topik yang sempet rame soal orang tua yang menuntut guru yang mencubit anaknya hingga sampai ke pengadilan. Opini terpecah antara pro sang guru dan pro orang tua. Jadi di mana posisi gue sekarang untuk masalah ini mengingat gue juga seorang guru dan orang tua?

Gue menjadi guru terlebih dulu sebelum menjadi orang tua. Pada awal-awal mengajar, gue selalu menekankan bahwa adalah kewajiban orang tua untuk mendidik anak-anaknya. Jadi gue merasa kalo ada anak murid gue yang koslet, ini pasti orang tuanya nggak bener. Apa sih yang lebih penting dari ngurus anak sendiri sampe mereka nggak keurus? Gue juga keras sama anak-anak murid gue dalam hal disiplin dan tanggung jawab. Gue merasa bahwa itu yang kurang dari rumah, mereka terbiasa diurus orang lain dan tidak diberikan kesempatan untuk belajar melakukan sesuatu sendiri. Mereka juga terbiasa diurus oleh selain orang tuanya seperti pengasuh, supir atau kakek-neneknya. Keterlibatan orang tua hanya sebatas membayar uang sekolah dan memastikan bahwa guru-guru atau pengasuh melakukan tugas mereka & ketika terjadi sesuatu, orang-orang inilah yang akan disalahkan. 

Mau lebih dalam lagi? Banyak orang tua yang bahkan tidak bekerja namun masih menyerahkan tanggung jawabnya sebagai orang tua ke orang lain. Sudah hal yang sering gue temui ketika orang tua bertanya ke pengasuh apa yang dibutuhkan anaknya atau menanyakan apa yang dimakan anaknya tadi pagi atau apakah barang-barang tertentu sudah dipunyai anak atau belum. Jangan kaget kalo si anak lebih sedih ditinggal pengasuhnya daripada ibu atau bapaknya. Separation anxiety sekarang bukan cuma antara anak dan orang tua tetapi antara anak dan pengasuhnya. 

Setelah menjadi orang tua, akhirnya gue bisa melihat perspektif mereka. Menjadi orang tua adalah tanggung jawab besar. Menjadi orang tua berarti meninggalkan ego pribadi dan mencurahkan segalanya untuk anak. Bisa bayangin khan yang tadinya bisa ngelayap sampe malam, bisa tidur jam berapa aja, bisa melakukan hobi semaunya & sekarang setelah punya anak semaunya tergantung si anak. Kapan dia bangun, kapan dia minta ditemenin main, anter jemput anak ke sekolah atau klub. Angkat topi juga untuk yang bahkan nggak punya pembantu atau pengasuh dan tidak bekerja. Bagaimana harus mengatur antara mengasuh anak dengan mengerjakan pekerjaan rumah sehari-hari. Harus gue katakan bahwa tidak semua orang bisa atau mau menjadi orang tua. Buat gue, menjadi orang tua adalah pilihan, bukan tujuan. Sayangkan budaya kita masih menanggap bahwa memiliki anak adalah tujuan, banyak yang nggak tau sebenar-benarnya menjadi orang tua itu kayak apa. 

Orang tua jaman sekarang beda sama jaman dulu. Karena kemajuan teknologi, banyak orang tua yang sibuk sama social media dan urusan di luar rumah. Ibaratnya, orang tua jaman dulu kayak kurang hiburan jadi mau gak mau ya ngurusin anaknya lebih fokus. Menurut gue, selalu ada kelebihan dan kekurangan di setiap generasi orang tua. Namun benang merah yang harus tetap dijaga adalah orang tua seharusnya menjadikan anak sebagai prioritas. Kalo enggak bisa ya nggak usah punya anak. 

Kembali ke perspektif orang tua, iya, jadi orang tua itu berat. Dari sini gue belajar bahwa jika orang tua murid-murid gue bisa memberikan lebih dari apa yang sudah mereka berikan, gue rasa mereka  akan memberikan hal tersebut. Banyak keterbatasan, tantangan, hal lain yang kita sebagai orang yang melihat dari luar enggak tau apa yang terjadi di dalam rumah. Lagian siapa sih yang mau puny anak koslet? Satu statement yang selalu gue sampaikan ke siapapun yang gue ajak ngobrol, 

“Anak-anak murid hanya 1-2 tahun bersama gurunya, tetapi anak-anak kalian akan bersama kalian seumur hidup.”

Kembali ke masalah guru mencubit murid, ini adalah stand point gue, kekerasan, apapun bentuknya, verbal apalagi fisik, adalah salah. Kalo dilihat dari perspektif orang tua, gue nggak akan pernah rela anak gue dipukul, apalagi sama orang lain. Gue pernah mukul anak gue, trust me, nothing good come out from there. Kekerasan fisik itu adalah emergency exit buat gue. Digunakan hanya kalo kepepeeeettt banget. Gue juga paham bahwa nggak semua orang tua itu punya ilmu yang lengkap untuk membesarkan anak-anak mereka. Kalau memang sebagian orang tua masih menggunakan cara itu, ya silahkan saja, tapi jangan kaget kalo hasilnya justru akan ke arah yang tidak produktif. Sekarang gue udah nggak pernah lagi melakukan kekerasan fisik sama sekali. Gue masih meninggikan suara gue kalo memang diperlukan tetapi gue selalu menjaga kata-kata gue yang sifatnya negatif. Gue lebih suka pakai kata “Mama tidak suka” daripada “Mama benci”. Harus juga dijelaskan kenapa tidak sukanya dan menegaskan bahwa yang tidak disukai adalah perbuatannya bukan dirinya. Itu pun juga kadang kalo lagi amsyiong berat, gue suka marah-marah nggak jelas. Yes, being a parent is tough.

Being a parent is tough so why bother? Karena kalo liat hasilnya kerja keras kita, nothing can compare a feeling of being proud as a parent. Nothing. Bahkan gue yang rasanya kayak nggak ada tampang-tampang jadi emak aja bisa terharu biru liat anak gue bisa lebih tangguh dari anaknya sendiri. Some of our hard work seems to be paid off. We are in the right track. 

Nah, dari perspektif guru, bahkan sebelum gue menjadi orang tua, gue tidak pernah melakukan kekerasan fisik terhadpa murid gue. Kenapa? Karena kekerasan fisik adalah cara yang primitif. Kekerasan fisik hanya akan menjadi lingkaran setan yang tidak akan pernah putus. Sebagai guru yang harusnya lebih terdidik dalam menangani anak murid, gue harusnya lebih punya banyak cara dan solusi untuk mengatasi masalah murid gue. Mengutip Pandji Pragiwaksono, 

“Guru yang menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan masalah, pertanda dia juga hilang akal untuk menyelesaikannya secara intelektual.”

Lalu bagaimana dengan pendapat orang-orang yang mengatakan bahwa dengan kekerasan fisik, kita menjadi manusia yang lebih kuat? Toh jaman dulu kita sekolah, guru sering melakukan hal tersebut dan hal tersebut mengajarkan kita sesuatu. Mungkin iya, mungkin juga tidak. Tapi sampai kapan kita mau jadi bangsa yang apa-apa harus ditakut-takutin dulu supaya bisa maju dan kuat? Sampai kapan kita mau teruskan mental bangsa terjajah? Ini khan sama aja sama akar ospek yang isinya cuma menurunkan derajat manusia. Tujuannya apa? Supaya hormat sama senior atau pendahulu? Well, respect is earned. Banyak kok caranya tanpa harus menurunkan derajat seseorang. Kalo sampai hari ini kita masih nggak tau caranya, artinya khan emang selama ini kita hormat karena kita takut atau harus, bukan karena kita emang hormat karena sikap dan perilakunya yang baik. 

Sebagai orang tua dan guru, adalah tanggung jawab gue dan kita semua untuk mendidik generasi penerus sebagai generasi yang siap dengan tantangan, kuat, cerdas, dan yang terpenting punya akhlak yang baik & gue percaya itu semua tidak akan datang dari kekerasan fisik. 

Gue tidak bermaksud menggurui kalian semua kok, ini hanya perspektif gue. Semua gue kembalikan ke orang tua masing-masing, karena satu metode nggak selalu cocok untuk setiap orang. Apapun itu, selalulah ada untuk anak-anak kita. 

Art Room
9:48 a.m.







Rabu, 29 Juni 2016

A Letter to Jonatan Christie


Dear Jonatan,

I am a huge fan of badminton since 22 years ago. I watched we won Thomas and Uber Cup 1994 & 1996. That's the moment when I hooked by badminton. I collected most of the article in newspaper since then. When we lost in Uber Cup 1998, my heart was broken. I still can picture Susi Susanti couldn't reach the shuttle near the net and the title of the article said, "I am sorry we can bring the cup back to Indonesia." Therefore I still had hope with Thomas Cup team, so I stayed until we lost at 2002. So much pain to watched our team lost made me stop to follow, not because I didn't care but because I cared so much I couldn't watch more loses. It's painful.

But I have so many regrets now because I missed greatest things happened: 
I missed Taufik Hidayat & Markis Kido/ Hendra Setiawan won Olympic Gold Medalist.
I missed Liliyana Natsir won her first World Championship title when she was just 19 years old & another title after that with Nova Widianto. 

Liliyana Natsir is the reason why I decided to 'comeback' to badminton. Since 2011, I watched Liliyana won her 3 consecutive All England titles with Tontowi Ahmad, her other partner. I watched Hendra Setiawan finally won All England title in 2014 & 2x World Championship title with his new partner M. Ahsan after people second-guessed him at the beginning. 

Not just following news from far, I started to watched Indonesia Open PSS live at Istora since 2012 until 2015 with my best friends who also a huge fans of badminton. I also started to play badminton 7 years ago until now & I really enjoy it.

When I see you, I see hope. I see a youngster who prepare everything well, work hard and about to embark to the highest podium. Along with your compatriots, Anthony Sinisuka Ginting and Ihsan Maulana Mustofa, I can see a brighter future for Indonesia Men's Singles.  I can see Thomas & Sudirman Cup is about to come home. Take care, support & remind each other to the greatest podium. 


Jonatan Christie, Ihsan Maulana Mustofa & Anthony Ginting

You are the reason why I want to stick around because I don't want to miss another great things that will happen in the future. I will watch you win or lose, the proud and the pain. 

Keep focus on your goals, practice even harder, have stronger faith because you are in the right track. It's not about a whole county's hope. It's about you who work so hard since the beginning, how your parents guide and sacrifice for your success to come. God has a plan and I think the plan is you.

I believe you will have a bright future. It's just about when you are going to execute it because you are ready. The future is here. 

Good luck, Jo. Rise & shine!

Cheers to the greatest,

arinariane
a badminton addict

Rabu, 15 Juni 2016

Finally, There is A Hope

Adalah keharusan bagi gue untuk menulis ini karena udah seminggu ini gue kayak orang gila: cengengesan sendiri di depan laptop dan hape. Sebenernya sih udah dari 2 minggu lalu pengen nulis, tapi ya itu, masih cengengesan sendiri sama halu-halu gak jelas. Gue tuh nggak pernah minum ya, apalagi mabok, jadi apa iya ini rasanya celeng?

Akhir bulan Mei, ketika gue udah patah arang mengikuti perkembangan betminten yang tercinta dan setelah gue memutuskan tv kabel gue, lalu tiba-tiba putaran final Thomas Cup mulai. Haiiissshhh!! Kenapa pas gue mutusin tv kabel gue?? Tapi percuma juga sih gue punya tv kabel secara nyali gue tipis banget untuk nonton pertandingan langsung di tivi. Nonton rekaman di Youtube aja masih perlu tangki oksigen biar nggak terpengsan-pengsan.
Pada saat tau line-up pemain Indonesia adalah dedek-dedek gemes yang bikin kejutan di putaran kualifikasi zona Asia yang akhirnya juara tuuhhh, jantung gue makin melorot. Ya kualifikasi aja jatoh bangun begitu, ini masuk putaran final bagaimana?

Lalu kemudian gue mulai terbawa nostalgia dengan nonton rekaman di Youtube pas Sea Games 2015 & semifinal dan final kualifikasi. Antara haru dan deg-degan, mungkin inilah saatnya kita bisa mengembalikan piala Thomas yang sudah 14 tahun lepas dari tangan kita. Gila, 14 tahun itu ibarat dari lahir sekarang anaknya udah masuk SMP kelas 2! Lama loh itu! Sambil siap-siap pake seragam biru, eh loh, maksudnya usaha untuk nyambungin tivi kabel gue, akhirnya gue bisa nonton siaran langsungnya di tivi kabel.


Tim Beregu Putra Indonesia mempertahankan tradisi emas di Sea Games 2015

Tunggal Putra Muda Indonesia Sea Games 2015: Jonatan, Ihsan, Firman & Anthony
Jonatan, Ihsan & Anthony di Badminton Asia Team Championship (Kualifikasi Zona Asia Thomas Cup) 2016

Komposisi pemain tahun ini berimbang antara senior dan junior. Masih ada Hendra Setiawan sebagai kapten tim tahun ini, ditemani M. Ahsan. Terus ada juga yang harusnya udah bisa gantiin Ahsan/Hendra tapi akhir-akhir ini turun pretasinya: Angga Pratama/ Ricky Karanda Suwardi. Lalu pelapisnya Kevin Sanjaya/Gideon Marcus. Dua pasang terakhir ini terakhir kali menjuarai Sea Games 2015. Keduanya masuk final. Yang diharap langsung melapisi Ahsan/Hendra malah kalah sama juniornya di 2 superseries: India & Australia Open 2016.

Dari tunggalnya, seniornya hanya Tommy Sugiarto. Katanya sih dipanggil untuk memperkuat tim setelah tidak lagi di pelatnas. Sisanya? Nah ini dia yang bikin gue senyum-senyum nggak jelas: Jonatan Christie (18), Anthony Sinisuka Ginting (19) & Ihsan Maulana Mustofa (20). Setelah bertahun-tahun pemain tunggal putra kita hidup segan mati tak mau prestasinya, akhirnya gue bisa menumbuhkan harapan baru dari tiga dedek-dedek ini.

Sejak Piala Sudirman sebenernya nama-nama ini mulai muncul ke permukaan. Waktu liat line-up Piala Sudirman 2015, ada nama Jonatan Christie & Firman Abdul Kholik (18), gue mikir, “Siapa ini anak-anak?”. Apalagi Firman pas lawan Jan O Jorgensen, alahmaaakkk, badannya kebanting banget! Waktu itu mereka berdua masih 17 tahun. Gila! Dua anak 17 tahun dipasang di perhelatan sebesar Piala Sudirman! Event ini juga loh yang jadi event internasional pertama mereka. Hebatnya lagi, Jojo berhasil menyumbangkan 1 poin pas melawan Taipe. Lalu gue pun mikir, “Lah ini tunggal kita yang senior tuh sapa aja yah?” Aselik gue sampe nggak inget (kalian inget nggak siapa hayo?)

Setelah Sudirman Cup 2015, nama Jojo muncul lagi di Indonesia Open 2015 tapi kali ini Jonatan enggak sendirian, tiba-tiba ada nama Anthony Ginting yang melaju dari babak kualifikasi sampai akhirnya kalah di babak perempat final. Sebelum sampai ke babak perempat final, mereka sempet ngalahin pemain-pemain senior & unggulan sebelum akhirnya Jojo kalah sama Jan O Jorgensen & Anthony kalah sama Kento Momota.

Lalu ada Sea Games 2015 di mana muncul nama Ihsan Maulana Mustofa yang berhasil menggenapkan kemenangan di semifinal dan final beregu putra setelah kedudukan sama kuat. Nggak cuma itu, Ihsan bahkan sempat ketinggalan 14-20 atas Malaysia sebelum akhirnya memenangkan set 2 dengan skor 22-20 & memastikan Indonesia melaju ke final. Di final, Ihsan juga berhasil mengalahkan Thailand dengan pertarungan rubber set. Sayangnya di nomor perorangan, justru Malaysia yang menempatkan All Malaysian Final, Jojo dan Firman kalah di perempat final.

Setelah Sea Games, gue nggak ngikutin perkembangan secara intens sih. Hanya Anthony Ginting yang berhasil melaju sampai di semifinal Hongkong Open SS 2015. Sisanya rontok di babak awal. Lalu di awal 2016, Jojo juga berhasil melaju hingga ke babak semifinal Malaysia Open 2016. Karena rangking junior Jojo lebih baik dari yang lainnya, itu sebabnya mengapa rangkingnya paling tinggi dibanding teman-temannya.

Sea Games adalah modal awal bagi tim putra menuju Thomas Cup 2016. Di babak kualifikasi zona grup Asia pada Februari 2016, datang sebagai non-unggulan, Indonesia berhasil mengalahkan juara bertahan Thomas Cup 2014, Jepang, dalam pertarungan 5 partai. Jojo yang waktu itu berhasil menutup rubber game & memastikan kemenangan. Tapi kunci kemenangan kita sebenernya sih pada saat Anthony Ginting berhasil mengalahkan Sho Sasaki sebagai tunggal kedua. Sempet kaget juga sih Indonesia bisa menang babak kualifikasi Asia, karena yang turun bener-bener pemain muda semua.

Sampai akhirnya Thomas Cup 2016, gue lagi-lagi enggak terlalu mengikuti perkembangan dedek-dedek gemes ini. Kenapa? Karena sampai terakhir All England, mereka semua rontok di babak awal. Apa iya mereka cuma bisanya ‘keroyokan’ ya? Hehe.

Pada saat perhelatan Thomas Cup, gue merasa mereka sudah lebih siap karena sudah beberapa kali dikirim ke turnamen tingkat SS & SSP dan kejuaraan beregu. Ada rasa optimis namun juga siap kalah. Setiap partai gue ikuti dengan persiapan tangki oksigen. Di setiap babak, masih ada kombinasi antara pemain senior dan junior di partai tunggal hingga akhirnya ketika melawan Korea di semifinal, Indonesia menurunkan Jonatan, Anthony & Ihsan.

Sebelum sampai ke semifinal, perjalanan kita bisa dibilang bikin deg-degan. Kalo yang lepas itu partai tunggal sih gue masih maklum, lah ini, sebelum ketemu jagoan ganda Korea, Ahsan/Hendra kalah dari ganda Hong Kong! Gandanya juga yang gue nggak pernah denger namanya. Amsiyong nggak tuh?! Untungnya, Jonatan berhasil mengamankan tunggal kedua dengan pertarungan 3 set sehingga ganda kedua bisa memastikan kemenangan kita menuju semifinal.

Menunggu lawan di semifinal, ada China vs Korea. Gue berharap kita akan ketemu Korea sih walaupun nggak bisa dibilang pasti menang. Tapi opsi lebih terbuka ketika kita bertemu Korea daripada China. Inilah titik di mana Chen Long yang sampai paruh tahun 2016 belum menjuarai satu pun turnamen menyerah kalah atas So Wan Ho, tunggal pertama Korea. Another surprise juga sebenernya ketika Lee/Yoo juga berhasil mengalahkan Fu/Zhang dengan pertarungan macam di final Olimpiade. Hidup matik! Tapi memang Chen Long yang harus mengamankan tunggal pertama. Walaupun Lin Dan menang di tunggal kedua, kemungkinan ganda Kim/Kim menang lebih besar daripada ganda China. Betul saja, Korea yang akhirnya bertemu dengan Indonesia di semifinal. Maybe this is a sign that we can win the cup this year!

Semifinal melawan Korea tidaklah mudah. Namun keberanian manager tim menurunkan Jonatan, Anthony & Ihsan sebagai tunggal adalah sebuah kepercayaan yang luar biasa. Setelah mengalahkan Chen Long, So Wan Ho terus menunjukkan kemampuan terbaiknya dengan mengalahkan Jonatan di tunggal pertama. Tunggal pertama lepas, ganda pertama jadi nggak tentu mengingat performa Ahsan/Hendra sebelumnya. But this is what I try to believe, maybe they will win a match if it is really necessary. Entah karena sebelumnya habis-habisan melawan Fu/Zhang, Ahsan/Hendra menang relatif mudah melawan Lee/Yoo. Sepertinya Lee/Yoo yang kemarin bermain bukan orang yang sama. Mungkin karena Ahsan/Hendra nggak ngasi kesempatan untuk menekan dan adu keras.

Setelah Ahsan/Hendra menang, gue lebih optimis walaupun deg-degan juga karena ganda kedua belum tentu aman. Tapi sekarang siapa yang akan curi 1 angka di tunggal? Setelah sempet ketinggalan di awal set 1, Anthony berhasil menutup set dengan kemenangan. Set kedua lebih ketat tapi akhirnya juga berhasil ditutup dengan 21-18; 21-18. I have a good feeling, Anthony will take the single point and he did!

Ganda kedua, Angga/Ricky akan menentukan apakah Indonesia bisa melaju ke babak final atau tunggal ketiga akan dimainkan jika kalah. Di set pertama, mereka menang dengan cukup mudah, 21-15. Namun set kedua sempet bikin jantungan karena udah unggul 19-11 sempet kekejar 19-16 walaupun akhirnya bisa menutup dengan 21-18. Siapa sangka kita bisa sampai ke final?!

Menunggu lawan juga merupakan hal yang bikin deg-degan. Malaysia vs Denmark di pool sebelah harus mati-matian untuk bisa melaju ke final. Keliatannya sih Malaysia yang akan ketemu kita di final karena mereka unggul 2-0 sebelum akhirnya kedudukan berbalik menjadi 2-2. Gue pikir sih juga Malaysia yang akan ke final. Mereka punya Lee Chong Wei. Gue juga liat tunggal putra mereka main bagus di Sea Games. Matik juga nih kalo ketemu sama dedek-dedek gemes di final. Ganda-gandanya juga bagus.

Nah sedangkan Denmark sebenernya bagus juga. Setelah China kalah, Denmark adalah negara yang berpeluang menang. Ketiga tunggalnya sedang di atas, ya, ketiganya, dibanding negara-negara lain: Viktor Axelsen, Jan O Jorgensen & Vittinghus. Dua gandanya bisa aja sih colong-colong indah. Bisa aja. Buktinya mereka berhasil mengalahkan ganda kedua Malaysia, Koo/Tan. Yang menarik justru ketika Jan O Jorgensen nggak turun di semifinal. Justru Vittinghus yang naik jadi tunggal ke dua & Emil Holst sebagai tunggal ketiga. Guess what? Emil Holst won against Chong Wei Feng! Entah siapa Emil Holst ini tapi gue nggak pernah denger namanya. He’s the hero of the night. Denmark goes to final & will meet Indonesia!

Ngeri-ngeri sedep pada putaran final, Indonesia tidak menurunkan Jonatan Christie melainkan Tommy Sugiarto, Anthony Ginting & Ihsan Maulana Mustofa. Macam coro nggak bernyali, gue lemes nonton partai pertama melawan Viktor Axelsen. Alhasil gue nggak berani nonton partai Ahsan/Hendra yang akhirnya dimenangkan Indonesia & kedudukan jadi 1-1. Belum pulih sepenuhnya dari cedera, Jan O tampil baik melawan Anthony. Kedudukan akhirnya disamakan oleh Angga/Ricky menjadi 2-2. Partai ketiga adalah partai hidup mati keduanya. Dengan kedudukan sama, gue yakin kemampuan pun sebenarnya sama, Ihsan menyerah atas Vittinghus dengan straight set.

Terlihat sekali pemain tunggal kita bermain di bawah performa terbaik mereka. Keinginan untuk menang setelah 14 tahun lepas & keriuhan final, ternyata masih terlalu berat untuk dikalahkan. Denmark berhak menjadi juara untuk pertama kali karena mereka lebih siap.

Pada saat upacara penyerahan medali, gue melihat raut wajah mereka begitu kecewa. Bibir Jonatan manyun seada-adanya, Ihsan keliatan abis nangis, suram muka mereka semuanya. Hendra pun memaksakan diri untuk tersenyum. Sang Kapten dengan gelar individual yang sudah lengkap belum berkesempatan mengangkat piala Thomas untuk yang kesekian kalinya. Ada rasa nggak enak dari junior mengingat ini bisa jadi kejuaraan Thomas terakhir Hendra. Namun Hendra dengan bijaksana mengatakan, “Dengan atau tanpa saya, tim Thomas akan jauh lebih baik di kemudian hari.” Ya nggak semua bisa kayak Taufik Hidayat & Lin Dan ya. Lee Chong Wei & Lee Yong Dae aja belum pernah angkat piala Thomas juga loh. 

Runner Up: Thomas Cup Indonesia 2016

Gue pun merasa bahwa memang belum saatnya Indonesia menang. Sea Games & Badminton Asia Cup sebenernya cukup untuk menjadikan booster di Thomas Cup, tapi memang kita belum siap. Belum saatnya. Gue merasa mereka harus balik lagi ke kandang dan terus berlatih. Fisik, skill, mental, semuanya. Gue yakin kok proses yang panjang & keras nggak akan mengingkari hasilnya. Yakin.

Di tengah perhelatan Thomas 2016, ada 1 nama yang gue cari-cari nggak ada dan hampir aja gue lupa, macam ada 1 orang yang biasanya ada bersama dedek-dedek gemes lainnya: kemana Firman? It used to be four of them: Jonatan, Firman, Ihsan & Anthony. Ternyata sejak babak kualifikasi zona Asia, Firman sudah tidak bergabung dengan tim. Peringkatnya yang sudah di 50 besar, saat ini melorot hinggal 116. Ada apa dengan Firman? Apa iya hanya karena cedera? Akhirnya sejak awal tahun 2016, Jonatan, Anthony & Ihsan diplot untuk bermain di SS & SSP. Mereka menjadi pemain senior di pelatnas. Sedangkan Firman, yang seumur dengan Jonatan, masih harus bersama junior lainnya yang akan bertarung di level GP & GPG. Gue berharap dia bisa nyusul ketiga temannya untuk ke SS & SSP. Mereka bertiga juga awalnya dari bawah sampai akhirnya sekarang bisa masuk 20 besar. 

Firman Abdul Kholik (18)
Firman saat dikalahkan Jonatan di kualifikasi Indonesia Open 2015.
Jonatan melaju hingga babak perempat final.

Terbaru, Ihsan berhasil menyusul Jonatan & Anthony ke semifinal SS di Indonesia Open 2016. Anthony berhasil masuk semifinal SS keduanya di Australia Open 2016 setelah mengalahkan Chen Long di perempat final. Jonatan mengulang hingga perempat final di Indonesia Open 2016, sama seperti tahun sebelumnya. Dia kembali kalah oleh Jan O Jorgensen. Tahun ini terlihat lebih baik namun harus banyak latihan lagi & makin banyak ketemu pemain top. Sebelum sampai ke perempat final, Jonatan akhirnya berhasil mengalahkan idolanya, Lin Dan, dengan skor meyakinkan 21-12; 21-12. Sebuah pencapaian luar biasa. 

Jonatan Christie (18)

Anthony Sinisuka Ginting (20)

Ihsan Maulana Mustofa (20)

Pada akhirnya, mungkin ada titik terang di sektor tunggal putra. Tidak hanya satu tetapi tiga pemain yang pada akhirnya gue harap bisa mempertahankan pace dan terus meningkatkannya.

Bukan nggak mungkin mereka akan jadi Top 3, menguasai semifinal & final SS & SSP, memenangkan piala Thomas dan mengembalikan tradisi emas, perak & perunggu di Olimpiade. Terlalu beratkah beban untuk mereka? Gue rasa sih enggak karena kalo gue memutuskan untuk jadi atlet nasional sampe akhirnya masuk pelatnas, itu akan jadi tujuan gue. Gue tau persis nggak gampang untuk bisa sampai di titik ini. Mereka nggak sekonyong-konyong masuk pelatnas kemarin sore tapi mereka udah berlatih sejak kecil. Waktu & tenaga yang dikorbankan akan percuma kalo nggak terus maju.

I wish you all good luck. Maybe there is a hope. Oh, I mean finally. 

Selasa, 14 Juni 2016
09:09 a.m.
Art Room

Senin, 11 Januari 2016

Love is Blind

Semua orang yang pernah jatuh cinta bilang kalau cinta itu buta. Gue masih inget banget Bude gue bilang, 
Kalo lagi jatuh cinta, tai (bisa ber-) rasa (seperti) coklat.
Lalu semua orang yang mendengar tertawa dan setuju dengan pernyataan itu. Saat itu gue masih berusia 20 tahunan dan nggak paham maksud sebenarnya setelah gue merasakannya sendiri.
Tapi itu khan udah 10 tahun lebih ya. Sejalan dengan waktu, seiring bertambahnya umur gue, masalah percintaan tentu nggak jadi masalah besar lagi, yang ada ya masalah-masalah atau cerita tentang hubungan pernikahan. 
Gue merasa beruntung karena bisa menemukan seseorang di usia 20 tahunan & akhirnya memutuskan untuk menikah. Namun ada aja sih beberapa orang yang gue kenal masih juga belum punya seseorang di usia 30-an mereka. Bahkan ada juga yang sudah 40 tahun dan masih belum menikah. 
Ada sih yang memang memutuskan untuk tidak menikah dulu untuk sekarang ini, tetapi sebagian besar mereka ingin segera menikah. Alasannya macem-macem:
  • Karena usia udah nggak muda lagi, terutama yang perempuan, berarti usia produktif untuk bisa punya anak semakin sempit. Semuanya masih ingin mempunyai anak. Bisa aja sih punya anak, tetapi kemungkinan untuk punya anak di atas 35 tahun akan kecil dan beresiko. 
  • Karena keluarga yang mendesak. Kalau yang ini sepertinya paradigma sosial kita yang harus diubah pelan-pelan. Apakah kita harus menikah dan punya anak? Sebenernya sih, keinginan orang tua untuk menikah dan punya cucu kadang lebih besar dari keinginan si anak sendiri. 
  • Nah yang satu lagi alasannya karena merasa itu adalah hal yang harus dilakukan. Bener loh, kadang kita suka mikir gak sih bahwa enggak ada alasan yang kuat untuk tidak menikah, terutama di masyarakat kita. Mau tinggal di kota besar sekali pun, akarnya pasti balik ke, "Kok udah umur sekian belum kawin juga?" atau "Kapan kasih cucu buat Ibu?"
Sebenernya gue nggak mau ngomongin soal kawin nggak kawin. Yang mau gue omomgin di sini justru orang-orang yang belum menikah karena 'pilihan' yang sulit & akan kembali ke topik bahwa cinta itu buta. 
Gue sih punya banyak cerita tentang cinta itu buta, gue pun pernah mengalaminya. Justru karena gue pernah mengalaminya maka gue pikir akan 'mudah' untuk memberikan masukan, penjelasan, arahan kepada seseorang yang sedang di persimpangan jalan kehidupan cintanya. Tsaahh...
Kenyataannya gue salah. Gue pikir semua orang yang pernah merasakan bahwa cinta itu buta akan paham bahwa ketika kita sedang jatuh cinta, tidak satu pun jeleknya pasangan kita akan keliatan, sesering apapun orang-orang terdekat kita menasehati. 
Hubungan yang didasari cinta buta biasanya juga mengandung unsur kekerasan. Kekerasan di sini tidak hanya fisik aja, tetapi juga kekerasan psikis & mental. Bentuknya bisa macem-macem, mulai dari saling mengendalikan, saling tidak menghormati, saling tidak percaya, cemburu berlebihan. 
Di dalam hubungan yang tidak sehat seperti ini, biasanya kita bahkan nggak sadar bahwa kita ada di dalamnya. Yang liat justru orang-orang terdekatnya. Tapi seberapa sering orang-orang terdekatnya ngasih tau, kita juga nggak akan sadar sampai pada satu titik di mana akhirnya kita sadar.
Percayalah, teman-teman kita nggak perlu ada di dalam hubungan tidak sehat itu untuk tau seperti apa hubungan kita. Mereka cukup tau dari cerita dan sikap kita ke mereka. Mereka mungkin terdengar menghakimi, tapi kalo gue di posisi 'temen' & gue nggak peduli, gue juga nggak akan repot-repot ngingetin kok. 
Gue pikir masalah macem begini hanya ada pada saat usia gue 20 tahunan, tapi hal ini justru terjadi pada salah satu temen gue yang bahkan jauh lebih tua dari gue. Recently. 
Gue sampe nggak tau harus ngomong gimana, mengingat biasanya kalo udah di atas 30 tahun, biasanya kita khan mulai settle down in some points, nah, biasanya justru ini yang malah makin susah dikasih tau karena lebih keras kepala. 
Pada akhirnya gue menyerah karena berkali-kali gue bilang sama dia, 
Ini bagian di mana gue udah nggak bisa bantu elo karena gue nggak punya ilmunya. Elo harus ke psikiater, orang yang profesional untuk bantu elo.
I have to admit, I pity him. For all of the things happened in this world, dia cukup beruntung bisa sampai di titik ini, di mana dia punya pekerjaan yang layak, gaya hidup yang layak, dan cewek yang kaya raya. Masalahnya selama ini dia nggak menyadari bahwa ceweknya hanya memanfaatkan dia, for any reasons. Like I said, we've been through this before, we've learnt & finally we moved on. Too bad, for some of them, it is kind of too late. 
Tapi...., mendingan telat sih daripada enggak sama sekali. Karena hidup adalah pilihan, ya pilih yang terbaik. 
Masalahnya yaa nggak semua orang punya kemampuan yang sama untuk bisa memilih yang lebih baik. Nggak semua orang punya kemampuan yang sama untuk membuka diri untuk berubah. Most people choose not to change and expect different results.
Perubahan hanya akan terjadi jika kita berubah. Kalau kita enggak mau berubah & membuka diri, nggak ada siapapun yang bisa membantu kita. 
As a friend, I always be on my friend's side. I might not give the suggestion they need, but sometimes some people need to be punched in their face really hard to realise how stupid/ blind they are. I love to give the bitter truth that might help them faster, but some people needs a bit sugar here and there before the painful bitter & sour truth. 
Pardon my languages, but I always be around. I promise. 

Art Room
2:11 p.m.