Minggu, 18 Desember 2016

#AksiDamai is A Privilage

#AksiDamai is A Privilage

Jakarta sedang jadi sorotan. Semua mata mengarah ke Jakarta sebulan terakhir ini. Jakarta tempat saya tinggal, yang semua numplek di satu tempat, menjadi barometer apa yang akan terjadi di masa mendatang.

History is in the making now. 

Will Jakarta have a non-Moslem/ Chinese Governor elected?

Saya nggak paham politik. Saya juga nggak paham benar Islam, agama yang saya percaya, sebaik orang-orang Muslim lainnya. Namun ketika ditanya tentang apa yang sedang terjadi saat ini, inilah stand-point saya.

Sejak dulu saya selalu tegas mengatakan bahwa seorang pejabat publlik, siapapun itu, harus berhati-hati berbicara. Mulai dari Marzuki Ali yang dulu mengatakan resikonya penduduk Pulau Mentawai yang tinggal di tepi pantai sampai kena tsunami. Iya bener, waktu itu dia kalau enggak salah Ketua DPR. Masa’ Ketua DPR yang terhormat ngomongnya begitu? Lah, Mentawai khan bagian dari Indonesia, sudah seharusnya menjadi tanggung jawab kita semua untuk membantu khan? Pernyataan seperti itu sih udah enggak nolong, ditambah sangat tidak sensitif. 

Lalu pernyataan Ahok soal surat Al-Maidah? Bahwa memang Ahok tidak sepatutnya berkata seperti itu di depan publik. Apapun itu, bias munculnya, dan akhirnya menimbulkan keresahan. Umat Muslim pun meradang. Seorang Ahok bisa mengumpulkan ratusan ribu, well, jutaan ya? orang berkumpul di jantung ibukota Indonesia, 2 kali. 

Aksi Damai 4 November 2016 yang awalnya terlihat ‘damai’ berakhir dengan kericuhan. Gas air mata sempat dilepaskan. Saya juga mendapat kabar bahwa di sekitar Penjaringan dan Pluit, kediaman Ahok, sekumpulan orang dikatakan melakukan sweeping. Ada kiriman foto pecahan kaca yang dilempar batu hingga segerombalan orang berpakaian putih-putih masuk ke kompleks perumahan. Sempat dikabarkan mall Baywalk ditutup dan orang-orang di dalamnya diinapkan di dalam mall. Semua warga dan marinir bersiaga. 

Saya yang tadinya percaya segalanya akan berjalan baik-baik saja menjadi khawatir. Kok modelnya seperti tahun 1998? Waktu itu saya masih SMP. Masih jelas diingatan orang pertama yang masuk ke Makro Meruya (sekarang Lotte Wholesale Meruya) untuk menjarah. Terus dari siang hingga keesokan paginya. Saya ingat orang-orang bolak-balik di depan rumah dengan barang jarahannya. Kakek saya yang ketakutan sampai menutup stiker Mabes Polri yang ditempel di jendela rumah. Yang ternyata juga terjadi adalah papa saya yang tidak pulang 2 hari karena harus siaga di kantor. 

Tapi saya percaya dengan Jokowi dan seluruh jajarannya. Saya percaya dia tidak akan tinggal diam membiarkan sejarah terkelam yang terjadi di Indonesia terulang lagi. Ketika Jokowi akhirnya mengeluarkan pernyataan bahwa ada aktor-aktor politik di balik aksi damai, saya tahu, bahwa semua ini hanya permainan politik yang berusaha untuk mengambil alih kekuasaan. 

Lalu bagaimana Aksi Damai tanggal 2 Desember 2016? Sama saja. Semua tentang pengambilan kekuasaan. Semua ini tentang segelintir orang yang ingin menghancurkan apa yang susah payah kita bangun sejak reformasi. Indonesia sudah lebih baik dan lebih kuat. Kudeta, apapun bentuknya, akan menghancurkan bangsa ini. 

Tapiiiii, saya juga paham bahwa banyak orang yang merasa perlu membela agama dan kepercayaannya atas apa yang diucapkan Ahok. Bahwa tidak semua orang yang hadir di aksi damai kemarin adalah orang bayaran. Saya percaya banyak sekali orang yang memang ingin datang untuk berkumpul bersama umat Muslim lainnya menuntut keadilan atas penistaan agama. Rasanya seperti ngebelain anak sendiri yang ditabok sama anak orang dan akhirnya punya kesempatan untuk membela diri. 

Namun saya punya opini sendiri, saya merasa bahwa umat Muslim memiliki hak istimewa untuk menyuarakan pendapat mereka, salah satunya dengan menutup jalanan protokol dan sekitar Monas untuk melakukan kegiatan agama. Betapa baiknya pemerintah saat ini dengan mengizinkan aksi damai tersebut terjadi, padahal jalanan yang digunakan adalah milik publik. Seluruh warga Jakarta menghormati bentuk penyampaian pendapat, hak berdemokrasi di republik ini. Sebagai Muslim, kami beruntung punya hak istimewa ini. Karena saya tahu persis bagaimana sulitnya umat beragama dan kepercayaan lainnya untuk membangun tempat ibadah dan menjalankan ibadah agamanya. Apakah mungkin umat beragama lainnya punya kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya seperti Aksi Damai yang lalu? Sampai dua kali lho. Belum lagi ceramah shalat Jum’at yang sering menyudutkan orang-orang beragama lain. 

Coba liat aja apa yang terjadi di Sabuga baru-baru ini (7 Desember 2016). Apa hak kalian membubarkan orang yang jelas-jelas sedang beribadah? Apa hak kalian mengganggu orang yang sedang mengagungkan Tuhan mereka? Sejak kapan Islam seperti ini? Sejak kapan? Saya Muslim dan saya bukanlah Muslim yang seperti itu. Kalian yang membubarkan ibadah seseorang, kalian yang melarang pembangunan tempat ibadah, kalian yang menghancurkan patung Buddha, kalian tidak mewakili saya sebagai Muslim. TIDAK. 

Saya kecewa dengan sikap pemerintah yang seharusnya bisa tegas akan hal ini. Saya masih menunggu apa yang akan Jokowi lakukan sebagai Presiden. Ketika Aher, Gubernur Jawa Barat saja bisa bilang itu bukan masalah besar, I have no hope. Kebebesan beragama menurut kepercayaan masih berupa hapalan teori di buku pelajaran. Saya beruntung menjadi mayoritas di negara ini. Tapi saya tahu banyaknya rakyat Indonesia yang bahkan tidak bisa menikmati hak-hak mereka sebagai warga negara di Indonesia. Ahok punya dua ‘dosa’ untuk bisa jadi pemimpin ibukota Jakarta yang luar biasa plural. Jakarta itu semua ada. Enggak hanya milik mayoritas. Saya rasa kita belum siap menjadi bangsa plural yang ketika menjadi mayoritas tidak menekan yang minoritas, dan yang minoritas tidak merasa minderan. 

Kita tinggal di Indonesia dengan keberagamannya, kenapa ya ini bisa sampai terjadi? Saya juga bingung sekali. Apa karena orang-orang seperti saya tidak bersuara selantang yang lainnya? Apa karena orang-orang seperti saya tidak berani dihakimi oleh Muslim lainnya? Iya. Itu dia. Betul. Saya takut dihakimi oleh umat Muslim lainnya. Saya takut dihakimi oleh penganut agama yang juga saya anut. Lalu kemudian saya paham mengapa minoritas lainnya pun akhirnya enggan bersuara. Saya aja yang Muslim takut!

Saya takut dicap kafir oleh sesama Muslim. Saya takut digurui dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Saya merasa bahwa saya tidak bisa berpendapat dengan tenang kecuali tidak berseberangan dengan pendapat orang-orang yang merasa paling benar. Mungkin itu sebabnya mengapa orang-orang yang merasa paling benar, yang lainnya salah, bisa bebas melakukan apa yang mereka ingin lakukan dengan mengatasnamakan agama. 

Lalu bagaimana dengan orang-orang baik yang sedang diserang orang-orang jahat jika silent majority keep silent? Kenapa ya kita tidak bisa berbeda pendapat tanpa harus saling memaksakan bahwa pendapat itu harus bisa diterima orang lain? Kenapa kita tidak bisa hidup berdampingan dengan damai seperti dulu? Kenapa sekarang sekelompok minoritas bisa saja mengatasnamakan agama lalu melakukan apa saja yang mereka anggap benar sampai tidak ada seorang pun yang mengatakan bahwa itu tuh salah. Iya salah. Yang berhak melakukan penggerebekan, misalnya, adalah pihak berwajib, itu pun juga ada prosedurnya. Iya harus begitu karena kita negara hukum, bukan hutan rimba yang enggak punya aturan. 

Ingat ya, keimanan nggak hanya diukur dari apa yang keliatan di luar. Keimanan adalah privasi yang tidak boleh diganggu oleh siapapun. Yang jelas kita harus bisa hidup saling menghargai dan menghormati. Itu saja. Bisa, Indonesia?

Home
18 December 2016

22:21

Tidak ada komentar:

Posting Komentar