Jumat, 29 Juni 2018

Menjadi Manusia Indonesia yang Lebih Baik

#BalasDi18Spesial2018

Sejak kapan ya setiap orang bisa berkata semau mereka tanpa berpikir jauh?
Media sosial memang luar biasa mengubah cara kita berinteraksi dengan orang-orang dekat hingga orang asing sekali pun. 
Media sosial membuat yang jauh terasa dekat, sebegitu dekatnya hingga kita merasa punya hak untuk berkata tanpa memikirkan perasaan orang yang kita ajak berkomunikasi. 

Yang paling membuat gue gerah adalah ketika orang-orang merasa paling benar dan mengoreksi yang salah, terutama soal agama, tepatnya orang Islam. 
Sebegitu perlunya saling mengoreksi sehingga lebih penting menyampaikan apa yang kita anggap benar, bagaimana pun caranya. 

Di belakang rumah gue ada mesjid yang corongnya ngadep ke rumah, seakan-akan corongnya itu cuma diadepin ke rumah gue aja. Setiap Jumat kalo lagi ada di rumah dan sedang 'beruntung', isi ceramahnya beberapa kali menyudutkan pemeluk agama lain, terutama Kristen, sangat provokatif. Isu ini sempat memanas saat Pilkada Jakarta 2017. Apapun tujuannya, yang jelas ingin mendeskriditkan salah satu calon yang kebetulan saat itu adalah pertahana. 

Gue yang di rumah aja mikir gini ya, "Malu sih denger orang Islam memprovokasi ya...minimal laki-laki satu mesjid itu lah, merasa kalo milih non-muslim itu dosa."
Kalau kalian berpikir itu tidak berdampak, kalian salah, dampaknya cukup membuat ibunya temen gue takut masuk neraka karena milih non-muslim. It happened. It was real.

Saat itu gue sudah pada titik capek, marah, kesel tapi nggak bisa berbuat banyak karena gue ngerasa ilmu agama gue gak seberapa. Kalo kata Pandji khan, orang Islam negur pemuka agama yang provokatif nanti dibilang dosa, "Astaghfirullah, tau apa kamu soal agama?" Gitu. Ya emang sih gue nggak tau banyak, tapi gue jelas tau kalo menyebarkan kebencian dan provokasi ya salah. 

Karena, kalo itu benar, kenapa gue resah?

Indonesia butuh pemikir atau cendikiawan Muslim yang progresif. Orang-orang yang kayak gini yang harusnya lebih banyak dikasih panggung. Orang-orang ini yang harusnya lebih sering muncul supaya kita nggak terus-terusan dibegoin. Ini yang tadinya pinter bisa lama-lama jadi bego beneran lho. Takutnya gue jadi salah satunya. 

Indonesia butuh pemikir yang bisa menjelaskan agama secara terbuka, bahwa agama itu gak mutlak benar atau salah, bahwa agama boleh dibicarakan tanpa ada orang yang harus merasa dosa kalo apa yang dia pikirkan gak sesuai sama yang selama ini dipercayai benar. Khan setiap orang punya tafsiran masing-masing. Gue berharap suatu hari nanti ya kita bisa menghormati bahwa setiap orang punya tafsiran sendiri-sendiri tentang apa yang dia percaya dan yang lainnya menghormati keimanan orang tersebut. 

Menurut gue, keimanan itu adalah hubungan pribadi seseorang dengan Allah atau Tuhan. Selama ini, orang Indonesia udah terlalu banyak ikut campur sama urusan yang sangat pribadi ini. Ini juga yang akhirnya bikin orang Islam cuma ngejalanin ritual-ritualnya seperti shalat, puasa, beramal, naik haji, cuma supaya keliatan kayak orang yang bener tapi sikapnya jauh dari ajaran Islam (ini cuma contoh ya, nggak semua orang Islam begini, gak semua orang beragama begini)

Gue butuh safe space untuk berani bicara seperti ini. Sayangnya gue merasa belum banyak tempat aman ini, terutama di media sosial. As if like they have gut to talk about this matter if they are meet in real life. Karena emang paling gampang kalo cuma ngumpet di belakang laptop. So I keep quite. I maintain my silence until...now. 

Pandji berkata, "Menjadi orang beragama seharusnya menjadikan kita manusia yang lebih baik, bukan menjadi orang yang merasa paling benar, karena ketika kita merasa paling benar maka kita cenderung mengoreksi yang salah. Di sinilah terjadi perpecahan."

Betul sekali. Kita mudah sekali terpecah belah. Seperti ketika kita dengan gampang kalah sama Belanda jaman dulu. It is in our history and I think we should learn from it. Karena apapun yang sudah kita capai sampai hari ini, sebagai bangsa dan negara, nggak sepantasnya bubar gara-gara sekelompok orang merasa lebih benar dari kelompok lainnya. Lebih konyolnya, kita yang sesama orang Islam berantem karena ngerasa Islamnya paling bener padahal shalatnya masih ngadep Ka'bah semua. 

Tidak akan pernah salah kok untuk duduk sebentar, berpikir sejenak, tahan emosi untuk ngomong atau ngetik sesuatu, untuk tau apa sih sebenernya duduk perkaranya. Tidak pernah salah untuk memahami sebelum memutuskan untuk setuju atau tidak. Lagi pula, kalaupun enggak setuju, emang kita nggak bisa sepakat untuk tidak sepakat dan saling menghormati itu? Gue yakin kita bisa, memang susah, tapi gue yakin, kita bisa. 

Indonesia bisa. 

Jakarta, 29 June 2018
10:54 pm




Sabtu, 26 Mei 2018

Thomas & Uber Cup 2018

Thomas Uber Cup 2018  sudah memasuki babak final. Akan ada juara baru karena juara bertahan sudah gugur. Setelah menjadi juara bertahan sebanyak 3x berturut-turut dan menjadi juara terbanyak 14x, China kalah di babak semifinal. Ini adalah prestasi terburuk mereka sejak 1984. 

Antara senang luar biasa karena berarti China tidak lagi mendominasi, namun juga semakin khawatir karena persaingan semakin ketat tapi Indonesia belum juga menunjukkan tanda bahwa kita bahkan punya bahkan satu saja tunggal putri yang sebaik Ratchanok, Akane, atau Sindhu apalagi si nomor satu dunia Tai Tzu Ying. Mungkin yang terdekat sepertinya Gregoria Mariska. 

Untuk ganda putrinya sebenarnya bisa bersaing karena ganda putri kalo menurut gue sih cuma adu tahan aja, beda sama ganda putra yang sekarang sudah masuk ke level yang lebih tinggi dan gila setelah era Ahsan/Hendra dan Lee Yong Dae: era kesetanan angin ribut, The Minons, Marcus/ Kevin. They truly bring men’s double level to whole another new level!

Haruslah gue akui bahwa bermain tim dan individual memang berbeda. Minions bisa jadi memecahkan rekor pemegang juara terbanyak sepanjang tahun, tetapi sejak 2018, kekalahan mereka justru terjadi di pertandingan pertama mereka di Thomas Cup. Konon kabarnya Ihsan 2 bulan masih ngerasa bersalah sejak kalah di pertandingan penentuan final Thomas Cup 2016. 

Bermain di event tim beda magisnya. Misalnya Jonatan Christie yang selalu menyumbang angka di Asia Team Championship padahal dia mau juara SS aja susah bener. Atau Anthony Ginting yang udah 2x juara SS malah kalah terus di Thomas Cup kemarin. Atau Firman Abdul Kholik yang rangkingnya sekarang terjun bebas malah bisa diandalkan jadi tunggal penentu. 

Gue seneng banget liat persaingan badminton sekarang. Dulu, ibaratnya ngapain lah ada kejuaran tim kayak gini, toh China udah pasti menang. Sekarang, siapapun bisa jadi juara. SIAPAPUN. Final hari ini dan besok justru Jepang yang bisa jadi mengawinkan Thomas dan Uber Cup. As if like kalo China bisa juara Uber lagi, gue cuma bisa tepuk tangan malesin. Not because I am upset that we don’t win, but I want to see others to win. 

Prediksi gue di awal, Jepang yang akan bawa Uber Cup. Tapi karena lawan mereka di final adalah Thailand, everything is possible. Either way, we will have a new champion! So excited! Terakhir kali Jepang menjadi juara yaitu tahun 1981, lalu kalah di final dari China tahun 2014. Sebelum 2014, mereka tidak pernah sampai ke final sejak 1981. Sedangkan Thailand lebih gila lagi. Ini kali pertama mereka masuk final! Mereka juga hanya sekali sampai di semifinal pada tahun 2012. Keduanya sama-sama berpeluang karena kedua negara memiliki materi pemain bagus walaupun di atas kertas, pemain Jepang lebih unggul. 

Untuk Thomas, honestly, gue mau Jepang kalahin China di final. Setelah Thomas Cup lepas dari China tahun 2014, untuk menyamakan rekor Indonesia, mereka harus setidaknya juara 4x lagi. Setelah itu Jepang dan Denmark juara. Ini kali pertamanya sejak 2014 China masuk final. Kalau mau mundur sedikit agak jauh, dulu Indonesia seperti China di Uber Cup. We have great singles and double players. As if like siapa yang bisa ngalahin Indonesia sih? Taufik HIdayat, Hendrawan, Joko Suprianto, Heryanto Arbi, Ardi B. Wiranata, Alan Budikusma, Ricky/Rexy, Chandra/Sigit, Chandra/ Tony, Tony/Halim. Ibaratnya, tim Thomas lainnya cuma cari runner-up aja lah. Sama ngeselinnya sama kalo Marcus/Kevin ikut kejuaraan. 

Do I think Japan will beat China tomorrow? I hope so. Di atas kertas, sama seperti final Uber Cup, Jepang dan China sama-sama punya peluang untuk menang. I predict sepertinya semua partai akan main. 

Indonesia? Materi pemain putra kita luar biasa kok. It takes a village to create a great player. Can you imagine what we need to create a great team? Persaingan makin ketat. So what should we do? I don’t know really but if we wan to win, we have to live like a champion. Like Hendra Setiawan, Liliyana Natsir, Tontowi Ahmad, Mohammad Ahsan, Kevin Sanjaya, Marcus Fernaldi, Susi Susanti, Hendrawan, Chandra Wijaya, Tony Gunawan. Ya. Seperti mereka. Hidup sebagai juara dan punya mental juara.