Rabu, 28 Maret 2012

3 Ultimate Questions


Pertanyaan apa yang paling males elo jawab saat bersama keluarga besar atau teman-teman yang udah lama nggak ketemu, emm…, di kondangan misalnya? Aha! Yep, “Udah punya pacar?”, “Kapan kawin?”, “Kapan punya anak?” adalah pertanyaan paling sering ditanyain oleh orang-orang yang udah lama nggak ketemu atau bertemu dalam suasana ‘basa-basi’. Honestly, I am brutal about this. I prefer to avoid such kind of situation. Mungkin orang akan menganggap gue sombong, tapi situasi sosial seperti ini menyakitkan. Call me selfish. Don’t give a damn but I’m done judged by ‘not so random’ people. Well, you know whom I am talking about. Mungkin Tante elo dari sodara nyokap lo yang mana, tante lo yang setaun sekali ke tempat lo karena tinggal di luar kota, Oom elo dari bokap, sepupu nenek lo, sepupu jauh, sampe ke temen SMA atau temen kuliah yang elo temuin hanya pas kondangan. You damn right, kenapa musti ada tradisi bernama kondangan di Indonesia sih?!? Oya, belum lagi acara keluarga besar di mana hampir seluruh keluarga lo ngumpul, mulai dari ngumpul standar di hari raya sampe arisan keluarga yang lebih rutin, bisa sebulan sekali hingga tiga bulan sekali atau juga sekedar makan bareng ngerayain ulang tahun sepupu elo.

Orang tua gue selalu ngajarin untuk terus menjaga tali silaturahmi dengan keluarga. Itu sebabnya sebisa mungkin gue dateng ke acara keluarga. Biasanya tingkat pentingnya acara tersebut diukur dari orang tua gue sendiri. Kalo mereka mewajibkan gue dateng, itu artinya nggak boleh dinegosiasi. Kalo bisa dinego, itu artinya ada dua: acaranya nggak penting banget atau keluarga gue lagi ribut sama keluarga yang lain. Hahaha, yep just face the fact that every family has their own problems & their own secrets.

Waktu kecil, tekanan muncul dari membanding-bandingkan diri gue dengan sepupu-sepupu gue soal sekolah. Jangan tanya tekanan apa yang gue dapet ketika nilai rapor gue terjun bebas dari rangking teratas trus tau-tau ada nilai merah. Gue nggak bisa bayangin gimana sepupu gue harus berhadapan dengan tekanan dari yang lain ketika setiap terima rapor pasti ada nilai merahnya. Ok, I was quite smart in my school day but it didn’t mean I was safe. Quite smart was not enough. Kalo bukan urusan rapor, pasti urusan ‘sibuk’ bakal diangkat-angkat. Misalnya ketika gue nggak dateng ke ultah siapa karena gue harus latihan Paskibra. Sepulang dari ekskul, gue pasti diomongin, “Kamu ditanyain sama Bude, kenapa nggak dateng?”, “Lain kali dateng lah, kapan lagi kamu ketemu sodara-sodara jauh? Nanti ketemu di jalan nggak kenal lagi.” Oh, yep, that kind of classic.  

Nah, waktu kuliah, tentu saja siapa yang jadi pacar bakalan jadi sasaran topik berikutnya. Gue sii nggak tau ya apa pendapat keluarga besar gue tentang pacar-pacar gue, tapi gue yakin banget mereka ngomongin gue, seperti keluarga lainnya ngomongin pacar-pacar sepupu gue. Pendapat keluarga dan keluarga besar tentunya sangat mempengaruhi pengambilan keputusan gue. Jadi, bayangin ketika gue harus menebalkan kuping gue dan nangis meraung-raung di kamar sendirian ketika gue mendengar pendapat keluarga gue tentang pacar-pacar gue.

Fase pertanyaan “Kapan kawin?” gue lewatkan dengan mulus karena gue menikah muda. Di usia 24 tahun, ketika gue sudah mengenal calon suami gue selama 3 tahun. Waktu menikah, gue membayangkan acara pernikahan yang sederhana saja. Teman-teman dekat gue dan suami gue tentunya. Saat itu gue sempet ‘gak paham’ kenapa orang tua gue kepo banget ngurusin ini-itu dan mengundang orang sebanyak itu. Ini orang juga siapa? Sampe akhirnya gue paham bahwa pesta ini bukan pesta ‘gue’ tapi pesta orang tua gue yang merayakan anaknya yang menikah. Pesta gue dihadiri oleh lebih dari 1000 orang, tanpa kacamata, di mana gue tidak bisa melihat siapa saja yang datang kecuali mereka dalam jarak dekat. Banyak orang yang gue salami yang nggak gue kenal. Mereka bilang pesta gue meriah, makanan enak & banyak, suasana enak, nggak ngantri. Orang-orang yang gue harapkan dateng pun dateng. Pesta 2 jam itu berakhir dengan sukses. Oyah, tentu saja banyak orang yang akan membicarakan pesta gue. Saat itu gue juga baru tau bahwa setiap pesta kawinan itu bakal di omongin orang. Jelek pasti diomongin, bagus pun juga diomongin. Yah, tipikal orang Indonesia yah...

Sebagai anak pertama, entah kapan gue menyadari betapa besarnya pengharapan orang tua gue atas keberhasilan gue di masa depan. Mulai dari lulus dengan nilai baik, punya kerjaan yang bagus, menikah dengan orang yang baik sampe segera punya anak. Konsep bahwa menikah akan membebaskan gue dari aturan orang tua gue itu ternyata salah. Bukannya melepaskan gue, mereka semakin mengatur apa yang harus gue lakukan. Contoh klasik orang tua gagal move on. Tapi orang tua mana yang bisa melepas anak perempuannya begitu saja, khan?

Entah sudah berapa kali gue menangis di kamar (cengeng is my middle name) karena gue harus menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru menikah. Urusan orang tua, mertua dan tentu aja suami. It was damn tough. I was like I wanted to scream, “Oh God! Give me a break!I felt like I was the only one who face this kind of marriage problems. Susah mau sharing saat itu karena gue nggak punya temen yang udah menikah. Sempet sih dikasih wejangan pernikahan sebelum menikah, bahwa ketika memasuki pernikahan, “Kamu dan suami kamu nggak boleh membawa masalah ke dalam pernikahan kamu. Selesaikan masalah yang harus kamu selesaikan sebelum menikah. Ada hal yang bisa dibicarakan sebelum menikah tetapi ada hal-hal yang baru bisa dibicarakan setelah kamu memasuki pernikahan itu.” Well, I didn’t have any idea what he was talking about. Okeh, gue pikir gue paham tentang pernikahan, tapi gue hanya tau 10% dari apa yang sudah gue antisipasi. No fucking way that you know about marriage until you get married!

Ngeliat rumah tangga dengan masalah perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga sampe kawin cerai sebenernya bikin siapapun parno buat menikah. Tapi sebenernya yang bikin banyak rumah tangga bermasalah dan akhirnya nggak bertahan itu karena mereka berpikir mereka sendirian. Maksudnya, berapa banyak sii dari kita yang jujur sama masalah rumah tangga kita? Pasti malu khan cerita masalah rumah tangga ke orang lain? Masalah di sini bukan hanya masalah besar loh ya, tapi masalah kecil yang akhirnya jadi ganggu. Karena kita dididik dari kecil untuk nggak membuka ‘aib’ di depan umum, menceritakan masalah rumah tangga dengan orang lain. Masalah harusnya diselesaikan di dalam kamar & nggak dibawa ke ranah publik. Ok, gue tau apa yang kalian pikirkan. Gue nggak menyarankan elo membuka aib pasangan elo seada-adanya, tapi berbagi cerita pada orang-orang tertentu yang bisa elo percaya itu menyehatkan. Parahnya lagi, alih-alih bercerita untuk menyelesaikan masalah ke orang yang tepat, sekarang banyak banget yang ‘menceritakan’ masalahnya di social media. ‘Epic’ banget nggak sih?! 

Nah, ngomong-ngomong social media, coba cek berapa banyak dari temen-temen elo yang uplot foto kemesraannya dengan pasangannya & berapa banyak yang uplot foto-foto perkembangan anak-anaknya di social media? I tell you something: ini racun, Man! Racun yang mempengaruhi orang lain memandang tentang betapa sempurnanya hidup orang lain & betapa nestapanya idup elo! (dan kata ‘nestapa’ pun muncul). Padahal kita khan nggak pernah tau apa yang terjadi di balik senyum di foto itu khan? Lucunya, foto-foto tersebut berbanding lurus dengan status social media yang isinya ngeluh, ngeluh dan ngeluh. Lama-lama social media itu semacam riya, trus diharamkan MUI deh. Aseekkk!!

Dan ketika menikah adalah menyesuaikan diri dengan pasangan, mengalah sesekali dan menerima kekurangan apa adanya, maka ketika ditanya, “Kapan punya anak?” seakan meruntuhkan seluruh ketegangan dan digantikan dengan yang jauh lebih tegang! Inilah hal yang masih menekan gue sampai sekarang. I am married for 3,5 years with no kids. Tentu saja tekanan datang dari orang tua tercinta. Dua bulan setelah menikah, gue positif hamil. Well, test pack mengatakan gue hamil tapi 3 bulan berlalu, gue mengalami flek & ternyata janin gue tidak berkembang. Alhasil gue harus melepas janin tersebut. Saat itu gue tegar dan kuat. Gue hanya menangis 3 kali: 1x di mobil setelah melihat hasil USG dokter, 1x saat gue melihat bokap gue sepulang dari dokter, 1x di rumah sehari setelah proses kuret selesai. Saat itu gue hanya berpikir bagaimana caranya cepat kembali sehat dan bisa hamil lagi.

Proses tersebut lewat namun siapa sangka kalau proses melewati masa setelah kuret ternyata lebih terjal. Setelah 6 bulan, kami mencoba kembali, hingga hari ini. Selama 6 bulan mencoba dan tanpa hasil, gue frustasi. Tetiba banyak aja ibu hamil dan anak kecil yang berseliweran depan gue. Belum lagi sodara-sodara gue yang akhirnya menikah dan hamil. Setiap sodara yang menikah, beban gue seakan bertambah. Dari yang frustasi sampai akhirnya gue berkata sama diri gue sendiri, “You have set yourself free before you have a kid.” Ada masa juga ketika gue bertanya kenapa gue harus punya anak? Apa karena gue harus menuruskan keturunan? Lah, gimana dengan pasangan yang nggak bisa punya anak? Sampai akhir di mana gue merasa bagaimana kalau gue harus menikah tanpa dikaruniai anak. Namun sejalan dengan perjalanan tersebut, gue terus mencari makna menjadi orang tua (memiliki anak)

Sebagai guru TK, gue selalu dikelilingi sama anak kecil dan permasalahan perkembangan anak. Sepanjang perjalanan mencari makna tersebut, gue dihadapkan dengan banyak fakta yang menguatkan keputusan untuk tidak terburu-buru mempunyai anak. Saat ini gue berada di tengah anak-anak yang tumbuh dari berbagai pola asuh. Banyak perkembangan anak yang terganggu dan faktor yang paling menentukan adalah orang tua. Satu sisi gue memang belum pernah jadi orang tua sehingga gue tidak pernah ada di posisi yang sama. Tapi gue bekerja bersama anak-anak dan orang tua selama 5 tahun, mengambil kuliah tentang anak selama 2 tahun, menikah selama 3.5 tahun dan…gue adalah seorang anak. Trust me, I know what kind of things that parents should deal with. Bisa bayangin nggak kalau gue punya anak di saat kondisi gue tidak stabil? Bisa bayangin ketika gue masih mementingkan keinginan gue sendiri dan gue punya anak? Nggak hanya perkembangan anak gue yang terganggu tapi gue perkembangan kejiwaan gue.

Having kids is like having tattoo on your face. You will have it for the rest of your life – Eat, Pray, Love 2011

Banyaaaaaaakkkkk banget orang tua yang menyerahkan pengasuhan anak-anak mereka kepada pengasuh dengan alasan karir. Bahkan orang tua yang tidak bekerja pun memiliki pengasuh dan menyerahkan sepenuhnya kepada pengasuh. Dilematis. Satu sisi, ibu tetap ingin memiliki karir yang cemerlang. This one, I totally understand. I’m a working wife, I always work, I can imagine how mother will feel if they have to choose between work or kids. Trust me, it’s a tough call. Banyak yang memilih untuk meninggalkan pekerjaan demi anak, tapi nggak sedikit juga yang meneruskan karirnya dan mempercayakan orang lain untuk mengasuh anak. Memiliki anak adalah pilihan. Ketika seorang perempuan memutuskan untuk tetap bekerja setelah memiliki anak, gue angkat topi. I salute. You need to be a superwoman to be both but in the end, you have to sacrifice one. Unfortunately, a lot of them sacrifice their kids.

Sebagai orang tua bekerja, mengikuti perkembangan anak menjadi menantang karena mereka nggak pernah ada di rumah seperti orang tua yang tidak bekerja. Mereka mungkin juga nggak paham banyak kalau anaknya mengalami masalah perkembangan anak. Nggak hanya perkembangan fisik yang kasat mata. Perkembangan kognitif (otak) biasanya jadi prioritas tapi banyak yang lupa sama perkembangan sosial dan emosional anak. Ini yang akan jadi bumerang bagi orang tua sendiri saat anak menginjak abege/ remaja.

To cut the story short, what if I am not ready? Sepertinya memang gue harus lebih berserah diri sama Allah karena Allah yang paling tau kapan gue dan suami gue siap memiliki anak. Orang tua gue hanya berpikir kalo nanti gue juga akan siap sendiri tapi gue bilang, “Tidak. Gue akan punya anak ketika gue siap.” Sepanjang perjalanan mencari makna kenapa gue harus punya anak, gue akhirnya memutuskan untuk kuliah. Kuliah S2 ini sedikit banyak mengalihkan perhatian gue kendati tetap aja nyokap gue mendorong gue untuk segera punya anak karena bisa kuliah sambil punya anak. Yeah, right.

Sekarang gue di sini. Perjalanan hidup gue selama 3.5 tahun pernikahan tidak mudah tetapi gue bertahan, karena 1 alasan: my husband is a great person. We deal with a lot of things but we survive because we are willing to be a better person each day and hopefully 'till the death do us apart. Memang tidak mudah tapi kami saling mengerti satu sama lain karena memang tidak ada pilihan lain selain saling mengerti.

Akhirnya setelah perjalanan hampir 4 tahun pernikahan, gue siap dan ikhlas soal anak. Siap dan ikhlas ketika diberi saat ini juga atau jika tidak diberi sama sekali. Gue harus ikhlas. Demi kesehatan jiwa gue sendiri dan semoga suami gue juga mengikhlaskan ini. Sekarang gue menjalani hidup sehari-hari dengan tujuan untuk menjadikan diri gue berguna, sama seperti ketika gue memutuskan untuk menjadi guru. Ini tugas gue di Bumi yang diberikan Allah maka itu gue akan menjalankan tugas gue sebagai rasa syukur atas nikmat yang gue dapatkan selama ini. Mungkin banyak orang yang berpikir bahwa gue mencari pembenaran atas pilihan-pilihan hidup gue. But note this, I don’t need to explain any reasons to anyone if they don’t even try to listen. Why bother?

Jadi, kalau ditanya apakah gue masih nyes ketika ditanya, “Kapan punya anak?” Jawab gue pastilah masih karena gue manusia biasa. Tapi sikap gue yang akan menjadikan nyes itu sekedar sensasi semata dan nggak lebih dari itu. Because I’m living my dream and I’m happy. Are they?

Selasa, 13 Maret 2012

Proudly present Ahmad/Natsir of Indonesia: All England 2012 Mixed Double Champion!


Okay, finally I make time to write about what happened in All England 2012 final as my promise. And the only reason why I write this is because I want to make this moment memorable. Where should I start? Hmm…, sebenarnya gue lebih pengen menceritakan dari apa yang gue rasakan ketimbang pertandingan itu sendiri. Sebelum sampai ke pertandingan itu sendiri, gue termasuk orang yang enggan nonton pertandingan badminton. Yep. I was too damn scared! Itu sebabnya kenapa gue tidak mengikuti perkembangan badminton Indonesia selama 10 tahun terakhir. Lalu kenapa gue berhenti? Yep, berhenti, karena sebelumnya gue mengukuti setiap sepak terjang atlet badminton Indonesia selama lebih dari 5 tahun sejak 1996-2002. Alasannya? Bisa baca post gue sebelumnya “’Till then, Hang Tough.”

Tapi harus gue akui, ada harapan besar pada final All England 2012. Besar karena lawan yang harus dihadapi pasangan Indonesia, Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir [4] adalah lawan yang bisa ditaklukkan: Thomas Laybourne/Kamila Rytter Juhl [8] dari Denmark. They beat them once, but also lost against them once. Apalagi mengetahui kenyataan bahwa 2 pasangan terkuat China sudah kalah sebelumnya. Harapan besar yang membebani pundak Ahmad/Natsir pasti dirasain sama seluruh pendukung mereka di tanah air & yang menonton di Birmingham. Terlebih gue tidak bisa menyaksikan sepak terjang perjalanan mereka sampai akhirnya ke final karena tidak ada yang menayangkan di TV, sehingga gue nggak bisa mengukur kekuatan mereka. Justru gue menonton Laybourne/Juhl di semifinal. Mereka dengan cemerlang mengalahkan Xu/Ma [2]. Sedangkan lawan Ahmad/Natsir di semifinal mengalahkan Adcock/Bankier [unseeded] yang mengalahkan Zhang/Zhao [1]. Well, karena tidak bisa mengukur kekuatan Ahmad/Natsir tapi mengingat rekor H2H-nya juga seimbang, bikin gue teggang seteggang nunggu sidang tesis. Seriously! I was so freakin’ nervous!

Sempet kepikiran nggak pengen nonton dan milih untuk nunggu hasilnya di Twitter atau internet, but I have to. I have to witnessed this! Seperti gue menyaksikan perjuangan Hendrawan mengalahkan Yong Hock Kin di Piala Thomas 2000, seperti gue menyaksikan Chandra/Tony di Olimpiade 2000, seperti gue menyaksikan Ricky/Rexy di Olimpiade 1996, seperti gue menyaksikan Ahmad/Natsir di Sea Games Jakarta 2011. Gue harus menyaksikan secara langsung Ahmad/Natsir menggoreskan sejarah dengan tinta emas. Akhirnya, gue kuatkan diri gue dan berani menonton. Poin demi poin.

Ahmad/Natsir lebih siap menjadi juara All England 2012

Di awal, poin ketat terjadi karena sepertinya kedua pasangan gugup memulai pertandingan. Gimana enggak? Buat Laybourne/Juhl sendiri, ini adalah kesempatan yang langka hingga bisa sampai ke final. Mereka kalah di final 7 tahun yang lalu dan tahun ini adalah kesempatan mereka untuk meraih gelar tersebut. Sedangkan Natsir? Wew! Ini adalah final ketiganya di All England. Sebelumnya Natsir pernah sampai ke final dua kali bersama Nova Widianto dan gagal. Tentu kesempatan langka ini akan menjadi motivasi sekaligus beban bagi Ahmad/Natsir. So, pertandingan final antara Ahmad/Natsir dan Laybourne/Juhl lebih memperlihatkan pasangan mana yang lebih siap menjadi juara ketimbang membuktikan siapa yang lebih hebat dari segi teknik. Karena dari segi teknik, mereka berdua berada di kelas yang sama.


Fokus pada poin demi poin, bukan pada kemenangan itu sendiri

Beberapa kali smes Ahmad menyangkut di net. Namun sering juga bola-bola Juhl tak sampai diseberangkan karena membentur net. Unforced error juga sering dilakukan pasangan Denmark. Servis Laybourne/Juhl beberapa kali tidak sampai. Bahkan Ahmad/Natsir menutup game 1 karena Juhl gagal menyeberangkan bola saat servis. Well, yang jelas, permainan pasangan Denmark pada saat bertemu Xu/Ma tidak keluar pada saat melawan Ahmad/Natsir. Mereka seperti frustasi menghadapi pasangan Ahmad/Natsir dan gak bisa berbuat banyak. Ahmad/Natsir juga terlihat bermain kurang lepas dan sangat berhati-hati.  Untungnya, Ahmad/Natsir lebih dulu keluar dari ketegangan dan meraih poin demi poin, dari hasil keringat sendiri hingga kesalahan lawan. Pengamatan akurat juga diperlihatkan Ahmad/Natsir. Beberapa kali mereka melepas bola yang memang keluar, terutama saat poin kritis di game 2. Ada beberapa trik yang dilakukan Ahmad/Natsir untuk menggangu ritme dan konsentrasi pemain Denmark antara lain meminta water break beberapa kali hingga menyeka keringat tepat di saat pemain Demnark siap melakukan servis. Bahkan Ahmad sempat ditegur wasit saat melakukan hal tersebut. Well, kurang etis, tapi strategi seperti itu sah-sah aja.

Lalu pada posisi kritis 20-19, smes Ahmad menyebabkan pengembalian pasangan Denmark menjadi sasaran empuk di depan net yang langsung dieksekusi tanpa ampun oleh Natsir. Saat itulah, akhirnya penantian 9 tahun bangsa Indonesia berakhir! I have to say, we deserved All England title this year!

Penantian paceklik gelar All England selama 9 tahun berakhir di sini

Harus gue akui, ada sedikit faktor keberuntungan ketika 2 pasangan terkuat China dikalahkan sampai akhirnya tidak bertemu Ahmad/Natsir. Tapi perjalanan Ahmad/Natsir sendiri tidak bisa dibilang mudah. Di babak pertama, mereka harus menundukkan pasangan Malaysia dalam 3 game. Di babak berikutnya mereka harus berhadapan dengan pasangan China lainnya walaupun bukan unggulan. Tak hanya itu, mereka harus berhadapan dengan pasangan England, Robertson/Wallwork dalam 3 game. Terakhir, mereka harus menundukkan pasangan Malaysia lainnya dengan poin ketat 27-25, 21-16 di semifinal.

Ketika gue menulis ini, gue menyaksikan kembali video pertandingan mereka, so, I have to say that they won because they prepared well and executed it well! Nggak hanya itu, mereka juga menjadi juara karena mental mereka lebih siap dibandingkan lawan-lawan mereka. Jadi, faktor keberuntungan yang gue ungkit sebelumnya itu nggak akan menjadi faktor pendukung kemenangan mereka tetapi hanya akan menjadi sesuatu yang mubazir karena ketidaksiapan fisik & mental.

Selama pertandingan berlangsung, gue kayak orang gila kesurupan, teriak-teriak sendirian di kamar! Teriakan seperti “Come on, Indonesia!”, “Ayooooo!!!”, “Abisiiiiinnnnn!!!!”, hingga “Woooohhhoooooooo!!!!!!!!!” sepertinya bisa bikin orang sekitar mikir gue mo disembelih! Belon lagi gebrakan-gebrakan ke kepala kasur yang super berisik! Entah kapan terakhir kali gue rela berteriak semaksimal itu sampe akhirnya suara gue serak sehabis pertandingan. Belum lagi ekspresi diem teggang melukin guling saat poin kritis, pengen muntah rasanya. Pas menang, tangan gue tepuk tangan sampe sakit, bahu gue ampe kejang ngepalin tangan ke atas berkali-kali. I didn’t care because I was so proud of them!

Foto ini fenomenal banget!

Penantian 33 tahun bagi gelar ganda campuran ndonesia akhirnya usai :)

Congratulation, Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir of Indonesia as  All England 2012 Mixed Double Champion! Sure you win today because of hard work, great strategies, great execution and winning attitudes! Proud Indonesian!  

Minggu, 04 Maret 2012

Chocolate is Heaven


*ini bukan blog berbayar

Dessert? Yes, please! Gue hampir nggak pernah melewatkan dessert sehabis makan. Tapi nggak sembarang dessert gue suka. Lately, gue memutuskan untuk mencoba rekomendasi sepupu gue yaitu melted chocolate di sebuah restoran. Rasanya? Wiiihiiiihiiiii, juara banget! Lalu dari situ gue pun memutuskan untuk menjajal beberapa melted chocolate di resto laen, ada gak nih yang bisa ngalahin rasa melted choco di resto yang direkomendasiin sepupu gue ini. 

Nah, yang pertama, ini adalah melted choco yang gue coba di Lokananta CafĂ© di Gandaria City. Dari suasananya, di satu sudut ada tempat yang enak banget buat nongkrong. Sofa berbentuk L dengan colokan listrik yang pas banget buat isi ulang baterai BB (mengingat kebiasaan orang sekarang, kalo nongkrong yang ditanya duluan, ada colokannya nggak? --"). Sayangnya, smoking area-nya terlalu deket sama yang non-smoking area, sehingga sayup-sayup bau rokok bisa kecium. Buat gue ini enggak nyaman karena gue anti sekali sama asep rokok. 

Melted Chocolate at Lokananta Cafe Gandaria City

Lalu gimana dengan choco melted-nya? Perlu nunggu sekitar 15-20 menit untuk menikmati choco melted. Di mana-mana juga begitu. Pastinya, choco melted selalu fresh from the oven, kalo enggak pasti jadinya cuma cake coklat biasa. Begitu dateng, gue langsung nggak pake mikir ambil sendok dan memotong bagian cake-nya. Seketika lelehan coklat yang terperangkap di dalam cake tipis mengalir deras ke luar. Nggak pake lama, gue langsung cicipin lelehan beserta cakenya. Rasanya? Surga dunia! Coklatnya nggak terlalu manis tapi juga nggak terlalu pahit. Es krimnya ngimbangin panasnya coklat yang baru ke luar dari oven. Sebagai pelengkap, ada potongan buah stroberi dan mangga serta potongan biskuit dengan kacang. Nggak hanya itu, ada 3 varian rasa es krim untuk nemenin melted choco ini: vanila, coklat dan stroberi. Menurut gue, rasa es krim paling enak untuk nemenin ini sii tergantung selera masing-masing soalnya gue malah suka makan ini tanpa es krim dan buah, tapi biskuitnya enak. Harga: Rp. 25,000 sebelum pajak.

Choco melted kedua yang gue coba yaitu chocolate fondant di The Playground Plaza Indonesia. Suasananya sii juara banget. Desain interiornya dibuat kayak taman bermain anak, ada ayunan yang dijadiin kursi untuk makan, trus ada sepeda roda tiga yang diparkir sebagai aksesoris, serta beberapa area yang ditutupin rumput buatan dengan pencahayaan yang minimalis. 



Chocolate Fondant at The Playground Plaza Indonesia

Gimana dengan chocolate fondantnya? Hmm, dari segi ukuran, bisa dilihat lebih kecil dari ukuran yang di Lokananta (atau cuma ilusi aja karena cake-nya di dalem cangkir :p). Dari penyajian sama oke-nya lah. Hanya saja, ada beberapa kesulitan yang gue temukan untuk menikmati hidangan ini. Pertama, sendoknya, bok! kecil banget! Susah banget buat nyendokin cake yang masih di dalem cangkir. Kedua, karena cake-nya di dalem cangkir, ada sisa cake yang akhirnya menempel di pinggir cangkir. Gimana dengan lelehan coklatnya? Oke lah, tapi nggak bisa sedramatis di Lokananta karena di dalam cangkir. Rasanya? Gue lebih suka yang di Lokananta karena lebih kaya rasa. Cuman gue suka banget dengan aksen remahan marie regal di sekitar es krim. Indah. Harga: Rp. 40,000 sebelum pajak.

Oke, yang ketiga, gue tergelitik untuk mencoba melted chocolate di Bakerzin setelah gue melihat posternya di Central Park. Tapi akhirnya gue mencoba melted chocolate di Bakerzin Plaza Senayan. Suasananya seperti layaknya kafe di tengah mal. Nggak ada tema spesial. Jadi langsung bahas melted choco-nya ya.

Melted Chocolate at Bakerzin Plasa Senayan

Seperti yang bisa dilihat, dari segi artistik, melted choco ini paling artistik yah. Beda dengan 2 cake yang sebelumnya, sebelum dipotong dengan sendok, udah keliatan lelehan cokelatnya. Cake-nya didesain berlubang. Nggak seperti dua cake lainnya juga, es krimnya ditaro di atas cake. Sayangnya karena ini, gue jadi nggak bisa ngerasain cake-nya secara individu. Apalagi di bawahnya ditaro potongan jeruk yang akhirnya 'memaksa' gue untuk merasakan cake yang bercampur dengan rasa jeruk. Cake-nya juga dilingkari oleh selai stroberi dan 3 buah stroberi. Secara keseluruhan, gue nggak menemukan kesan enak ketika makan ini karena gue 'dipaksa' untuk mencampur semua rasa di atas piring. Harga: Rp. 59,000 sebelum pajak.

Jadi, menurut gue juaranya melted choco di Lokananta. Selain murah, semua yang gue harapkan dari sepotong melted choco ada di sana. Tapi di kesempatan kedua gue balik ke sana, lelehan coklatnya nggak sederas pertama kali gue ke sana. Bisa jadi karena gue nggak langsung memakannya (karena gue poto-poto dulu khan :p)

Happy eating, selamat makan!


'Till then, hang tough.


Hmm…, udah lama rasanya gue tidak menulis tentang badminton. Uyeh, I’m a huge fan of badminton. Gue masih inget tegangnya nonton siaran langsung Thomas Uber Cup di akhir 1990 dan awal 2000. I was so in love with the game, the crowd and of course the athletes.  You name it: Joko Suprianto, Heryanto Arbi, Ricky Subagja, Rexy Mainaky, Chandra Wijaya, Tony Gunawan, and of course Hendrawan. Gue masih inget ketika Hendrawan harus melawan Yong Hock Kin dari Malaysia untuk mengamankan poin tunggal kedua dan semua setuju bahwa Hendrawan adalah kunci kemenangan tim Thomas Indonesia saat itu. Atau saat Ricky Subagja harus berpisah dengan Rexy Mainaky di semifinal dan final Thomas Cup dan dipasangakan dengan Tony Gunawan. Oh My Gosh! This pair was a.m.a.z.i.n.g!! Dan mereka bedua berhasil mengamankan kedua poin yang dibebankan kepada mereka.

Ricky Subagja/ Rexy Mainaky


Hendrawan

Kemana mereka sekarang? To be honest, our greatest athletes are not in our country. Sadly, but true, mereka melatih di negara lain. Tony Gunawan masih bermain di usianya yang 35 tahun bersama Howard Bach di Amerika. Gue juga pernah nemu Tony dan istrinya, Etty Tantri bermain ganda campuran di beberapa turnamen kecil walaupun nggak juara.  Ricky Subagja masih di Indonesia, sesekali nongol jadi komentator. Rexy Mainaky dan Hendrawan hijrah ke Malaysia. Alasan klasik: mereka merasa apresiasi pemerintah kurang makanya milih melatih di negara lain. Tidak nasionalis? Nanti dulu. Kalo mereka nggak nasionalis, nggak mungkin lah mereka membela Indonesia selama ini di ajang internasional. You name it: Olimpic, Thomas Uber, Sudirman Cup, Kejuaraan Dunia. So why move?

Setelah Uber Cup lepas dari Indonesia tahun 1998, prestasi pemain putri hampir nggak pernah terdengar lagi. Terakhir gue pikir Mia Audina bakal menggantikan Susi Susanti. Ternyata enggak, karena masalah internal, akhirnya Mia memutuskan untuk pindah ke Belanda dan sekarang membela Belanda. Lalu gue dengar ada juga Maria Kristin Yulianti yang berhasil meraih medali perunggu Olimpiade Beijing and…that’s it. Ganda putri? Jangan tanya. Itu sebabnya kita nggak pernah juara Uber Cup dan Sudirman Cup karena sektor putri kita lemah, sektor putranya bersaing ketat dan ganda campuran masih bergantung sama pemain senior yang saat itu adalah Trikus/ Minarti.


Setelah Thomas lepas tahun 2004, gue nggak pernah ngikutin badminton lagi. My heart is broken. Gimana bisa kita dulu bisa sebagus itu, disegani negara lain dan sekarang? Banyak pemain yang memilih menjadi pemain non-pelatnas. Kita juga masih mengandalkan pemain senior seperti Taufik Hidayat dan nggak ada pelapis sebaik dia untuk menggantikan posisinya. Taufik itu namanya udah kedegeran sejak Thomas 1998 dan dia masih maen sampe sekarang! Gilak! Itu jamannya Sun Jun dan Yong Hock Kin masih maen dan sekarang mereka udah digantiin sama Lin Dan, Cheng Long dan Lee Chong Wei!

Taufik Hidayat
Lalu sekarang gue mulai ngikuti lagi karena aksesnya yang gampang. Banyak akun Twitter yang selalu membagi berita seputar badminton atau cukup klik tournamentsoftware.com untuk ngecek jadwal dan hasil pertandingan. Kalo beruntung ada live streaming. Nggak cuman itu, karena sekarang ada Twitter, bahkan jarak antara atlet dan fansnya makin deket. Satu-satunya atlet yang kedengeran namanya saat ini hanya Liliyana Natsir. Wew! Basis fans-nya gilaaaaaaaaaaaaaaa banget! Nggak hanya di Indonesia tapi juga di luar. She is outstanding because she is talented. Di usianya yang baru 19 tahun, dia udah berhasil menjadi juara dunia bersama Nova Widianto. Nggak hanya sekali tapi dua kali. Nggak hanya itu, mereka juga berhasil meraih perak Olimpiade Beijing. Bersama Vita Marissa, Liliyana berhasil menjuarai Indonesia Open 2008 dan China Master 2007 di mana saat itu ganda putri Cina mendominasi. Sekarang bersama Tontowi Ahmad, mereka diharapkan bisa mempertahankan tradisi emas Olimpiade di London. Oke. Stop right there. Gue tau mereka pasangan yang cepat naik, hanya perlu kurang dari 1 tahun, pasangan ini bisa masuk 4 besar dunia bersaing dengan pasangan lainnya. Tapi melihat rekam jejaknya, well, terakhir mereka juara MakauGPG. Selebihnya bahkan pernah nyangkut di babak 1 dan 2. Oke, mereka juga juara Sea Games (tapi lawannya semua itu itungannya lapis kedua). Trus juara di SingaporeSS 2011 dan finalis IndonesiaPSS 2011 and…that’s it. Really? Cuman mau bergantung sama 1 pasang ini?

Tontowi Ahmad/ Liliyana Natsir

Terakhir penyisihan Thomas dan Uber Cup 2012, please be realistic, I don’t think we will win the cup next May. Bayangin, tim Uber bahkan musti ikut babak play-off untuk masuk putaran final berebut tempat ke-5! Kita kalah lawan Thailand, Jepang, hampir kalah lawan Singapura! Mengutip perkataan temen gue, “Cobaan dari Tuhan apa lagi yang bisa buat lo sadar??”

Lalu kenapa hari ini gue memutuskan untuk menulis uneg-uneg gue selama 6 bulan terakhir? Karena gue baru saja menonton pertandingan final kualifikasi piala Uber antara Jepang dan Cina yang dimenangkan oleh… Jepang saat posisi mereka ketinggalan 2-0! Oke, tim Cina yang turun memang lapis kedua, tapi toh akhirnya memang bisa dikalahin. Apa kita bisa sementara Thailand aja berhasil mempecundangi kita 2x?

TL gue panas waktu babak penyisihan Uber Cup Indonesia vs. Thailand dimulai. Mulai dari susunan pemain hingga urutan pertandingan. Okey, it matters but it’s also a strategy. To win is about to plan and execute it well. Ada sii faktor keberuntungannya juga tapi keberuntungan itu datang dari persiapan yang matang, skill yang mumpuni dan mental juara.

Too pesimistic? Okay, coba simak ini, pernyataan dari salah satu legenda bulutangkis Indonesia, Rudy Hartono, “Bulutangkis saat ini ‘memble’. Saya melihat ada persoalan dalam program pembinaan para atlet.  Masuk final, tim Uber sudah untung, mereka berjuang seperti itu. Kalau Thomas iya masuk final. Tapi untuk menjadi juara, maaf, saya kira itu sulit. Apalagi main di ‘kandang macan’ (Cina). Kualifikasi saja kita kalah kemarin.” Soal emas Olimpiade, ini katanya, “Hanya kalau ada keberuntungan bisa dapat emas. Saya bukan pesimis, pernyataan saya ini untuk memotivasi mereka.” Ivana Lie juga menyampaikan hal yang sama bahwa tradisi olimpiade bakal lepas. Belum lagi pendapat Taufik Hidayat soal mental pemain yang manja, nggak ada mental juara. Harusnya kalo kalah terus yah harus mau keluar dari pelatnas dan berjuang sendiri.

Ketika gue pikir kita nggak bisa lebih buruk lagi, gue salah. Setelah bertahun-tahun Thomas, Uber dan Sudirman Cup lepas, bisa jadi emas Olimpiade pun akan lepas tahun ini. Sama halnya seperti kita, ada manusia yang bisa dikasih tau baik-baik dan bisa berubah. Ada yang perlu ‘disentil’ dikit baru berubah. Ada yang perlu nyungsep dulu baru bisa berubah. Ada yang dijedotin berkali-kali baru akhirnya berubah. Nah, mungkin badminton kita perlu dijedotin berkali-kali sampe akhirnya sadar kalo kita ada di titik terendah dan perlu berubah. Apa yang harus berubah? Semuanya, atletnya, pelatihnya, pengurusnya, programnya, semuanya.

Like I said, I’m a huge fan of badminton. I always do. I’ll always wait till we come back. Till then, hang tough.