Rabu, 28 Maret 2012

3 Ultimate Questions


Pertanyaan apa yang paling males elo jawab saat bersama keluarga besar atau teman-teman yang udah lama nggak ketemu, emm…, di kondangan misalnya? Aha! Yep, “Udah punya pacar?”, “Kapan kawin?”, “Kapan punya anak?” adalah pertanyaan paling sering ditanyain oleh orang-orang yang udah lama nggak ketemu atau bertemu dalam suasana ‘basa-basi’. Honestly, I am brutal about this. I prefer to avoid such kind of situation. Mungkin orang akan menganggap gue sombong, tapi situasi sosial seperti ini menyakitkan. Call me selfish. Don’t give a damn but I’m done judged by ‘not so random’ people. Well, you know whom I am talking about. Mungkin Tante elo dari sodara nyokap lo yang mana, tante lo yang setaun sekali ke tempat lo karena tinggal di luar kota, Oom elo dari bokap, sepupu nenek lo, sepupu jauh, sampe ke temen SMA atau temen kuliah yang elo temuin hanya pas kondangan. You damn right, kenapa musti ada tradisi bernama kondangan di Indonesia sih?!? Oya, belum lagi acara keluarga besar di mana hampir seluruh keluarga lo ngumpul, mulai dari ngumpul standar di hari raya sampe arisan keluarga yang lebih rutin, bisa sebulan sekali hingga tiga bulan sekali atau juga sekedar makan bareng ngerayain ulang tahun sepupu elo.

Orang tua gue selalu ngajarin untuk terus menjaga tali silaturahmi dengan keluarga. Itu sebabnya sebisa mungkin gue dateng ke acara keluarga. Biasanya tingkat pentingnya acara tersebut diukur dari orang tua gue sendiri. Kalo mereka mewajibkan gue dateng, itu artinya nggak boleh dinegosiasi. Kalo bisa dinego, itu artinya ada dua: acaranya nggak penting banget atau keluarga gue lagi ribut sama keluarga yang lain. Hahaha, yep just face the fact that every family has their own problems & their own secrets.

Waktu kecil, tekanan muncul dari membanding-bandingkan diri gue dengan sepupu-sepupu gue soal sekolah. Jangan tanya tekanan apa yang gue dapet ketika nilai rapor gue terjun bebas dari rangking teratas trus tau-tau ada nilai merah. Gue nggak bisa bayangin gimana sepupu gue harus berhadapan dengan tekanan dari yang lain ketika setiap terima rapor pasti ada nilai merahnya. Ok, I was quite smart in my school day but it didn’t mean I was safe. Quite smart was not enough. Kalo bukan urusan rapor, pasti urusan ‘sibuk’ bakal diangkat-angkat. Misalnya ketika gue nggak dateng ke ultah siapa karena gue harus latihan Paskibra. Sepulang dari ekskul, gue pasti diomongin, “Kamu ditanyain sama Bude, kenapa nggak dateng?”, “Lain kali dateng lah, kapan lagi kamu ketemu sodara-sodara jauh? Nanti ketemu di jalan nggak kenal lagi.” Oh, yep, that kind of classic.  

Nah, waktu kuliah, tentu saja siapa yang jadi pacar bakalan jadi sasaran topik berikutnya. Gue sii nggak tau ya apa pendapat keluarga besar gue tentang pacar-pacar gue, tapi gue yakin banget mereka ngomongin gue, seperti keluarga lainnya ngomongin pacar-pacar sepupu gue. Pendapat keluarga dan keluarga besar tentunya sangat mempengaruhi pengambilan keputusan gue. Jadi, bayangin ketika gue harus menebalkan kuping gue dan nangis meraung-raung di kamar sendirian ketika gue mendengar pendapat keluarga gue tentang pacar-pacar gue.

Fase pertanyaan “Kapan kawin?” gue lewatkan dengan mulus karena gue menikah muda. Di usia 24 tahun, ketika gue sudah mengenal calon suami gue selama 3 tahun. Waktu menikah, gue membayangkan acara pernikahan yang sederhana saja. Teman-teman dekat gue dan suami gue tentunya. Saat itu gue sempet ‘gak paham’ kenapa orang tua gue kepo banget ngurusin ini-itu dan mengundang orang sebanyak itu. Ini orang juga siapa? Sampe akhirnya gue paham bahwa pesta ini bukan pesta ‘gue’ tapi pesta orang tua gue yang merayakan anaknya yang menikah. Pesta gue dihadiri oleh lebih dari 1000 orang, tanpa kacamata, di mana gue tidak bisa melihat siapa saja yang datang kecuali mereka dalam jarak dekat. Banyak orang yang gue salami yang nggak gue kenal. Mereka bilang pesta gue meriah, makanan enak & banyak, suasana enak, nggak ngantri. Orang-orang yang gue harapkan dateng pun dateng. Pesta 2 jam itu berakhir dengan sukses. Oyah, tentu saja banyak orang yang akan membicarakan pesta gue. Saat itu gue juga baru tau bahwa setiap pesta kawinan itu bakal di omongin orang. Jelek pasti diomongin, bagus pun juga diomongin. Yah, tipikal orang Indonesia yah...

Sebagai anak pertama, entah kapan gue menyadari betapa besarnya pengharapan orang tua gue atas keberhasilan gue di masa depan. Mulai dari lulus dengan nilai baik, punya kerjaan yang bagus, menikah dengan orang yang baik sampe segera punya anak. Konsep bahwa menikah akan membebaskan gue dari aturan orang tua gue itu ternyata salah. Bukannya melepaskan gue, mereka semakin mengatur apa yang harus gue lakukan. Contoh klasik orang tua gagal move on. Tapi orang tua mana yang bisa melepas anak perempuannya begitu saja, khan?

Entah sudah berapa kali gue menangis di kamar (cengeng is my middle name) karena gue harus menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru menikah. Urusan orang tua, mertua dan tentu aja suami. It was damn tough. I was like I wanted to scream, “Oh God! Give me a break!I felt like I was the only one who face this kind of marriage problems. Susah mau sharing saat itu karena gue nggak punya temen yang udah menikah. Sempet sih dikasih wejangan pernikahan sebelum menikah, bahwa ketika memasuki pernikahan, “Kamu dan suami kamu nggak boleh membawa masalah ke dalam pernikahan kamu. Selesaikan masalah yang harus kamu selesaikan sebelum menikah. Ada hal yang bisa dibicarakan sebelum menikah tetapi ada hal-hal yang baru bisa dibicarakan setelah kamu memasuki pernikahan itu.” Well, I didn’t have any idea what he was talking about. Okeh, gue pikir gue paham tentang pernikahan, tapi gue hanya tau 10% dari apa yang sudah gue antisipasi. No fucking way that you know about marriage until you get married!

Ngeliat rumah tangga dengan masalah perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga sampe kawin cerai sebenernya bikin siapapun parno buat menikah. Tapi sebenernya yang bikin banyak rumah tangga bermasalah dan akhirnya nggak bertahan itu karena mereka berpikir mereka sendirian. Maksudnya, berapa banyak sii dari kita yang jujur sama masalah rumah tangga kita? Pasti malu khan cerita masalah rumah tangga ke orang lain? Masalah di sini bukan hanya masalah besar loh ya, tapi masalah kecil yang akhirnya jadi ganggu. Karena kita dididik dari kecil untuk nggak membuka ‘aib’ di depan umum, menceritakan masalah rumah tangga dengan orang lain. Masalah harusnya diselesaikan di dalam kamar & nggak dibawa ke ranah publik. Ok, gue tau apa yang kalian pikirkan. Gue nggak menyarankan elo membuka aib pasangan elo seada-adanya, tapi berbagi cerita pada orang-orang tertentu yang bisa elo percaya itu menyehatkan. Parahnya lagi, alih-alih bercerita untuk menyelesaikan masalah ke orang yang tepat, sekarang banyak banget yang ‘menceritakan’ masalahnya di social media. ‘Epic’ banget nggak sih?! 

Nah, ngomong-ngomong social media, coba cek berapa banyak dari temen-temen elo yang uplot foto kemesraannya dengan pasangannya & berapa banyak yang uplot foto-foto perkembangan anak-anaknya di social media? I tell you something: ini racun, Man! Racun yang mempengaruhi orang lain memandang tentang betapa sempurnanya hidup orang lain & betapa nestapanya idup elo! (dan kata ‘nestapa’ pun muncul). Padahal kita khan nggak pernah tau apa yang terjadi di balik senyum di foto itu khan? Lucunya, foto-foto tersebut berbanding lurus dengan status social media yang isinya ngeluh, ngeluh dan ngeluh. Lama-lama social media itu semacam riya, trus diharamkan MUI deh. Aseekkk!!

Dan ketika menikah adalah menyesuaikan diri dengan pasangan, mengalah sesekali dan menerima kekurangan apa adanya, maka ketika ditanya, “Kapan punya anak?” seakan meruntuhkan seluruh ketegangan dan digantikan dengan yang jauh lebih tegang! Inilah hal yang masih menekan gue sampai sekarang. I am married for 3,5 years with no kids. Tentu saja tekanan datang dari orang tua tercinta. Dua bulan setelah menikah, gue positif hamil. Well, test pack mengatakan gue hamil tapi 3 bulan berlalu, gue mengalami flek & ternyata janin gue tidak berkembang. Alhasil gue harus melepas janin tersebut. Saat itu gue tegar dan kuat. Gue hanya menangis 3 kali: 1x di mobil setelah melihat hasil USG dokter, 1x saat gue melihat bokap gue sepulang dari dokter, 1x di rumah sehari setelah proses kuret selesai. Saat itu gue hanya berpikir bagaimana caranya cepat kembali sehat dan bisa hamil lagi.

Proses tersebut lewat namun siapa sangka kalau proses melewati masa setelah kuret ternyata lebih terjal. Setelah 6 bulan, kami mencoba kembali, hingga hari ini. Selama 6 bulan mencoba dan tanpa hasil, gue frustasi. Tetiba banyak aja ibu hamil dan anak kecil yang berseliweran depan gue. Belum lagi sodara-sodara gue yang akhirnya menikah dan hamil. Setiap sodara yang menikah, beban gue seakan bertambah. Dari yang frustasi sampai akhirnya gue berkata sama diri gue sendiri, “You have set yourself free before you have a kid.” Ada masa juga ketika gue bertanya kenapa gue harus punya anak? Apa karena gue harus menuruskan keturunan? Lah, gimana dengan pasangan yang nggak bisa punya anak? Sampai akhir di mana gue merasa bagaimana kalau gue harus menikah tanpa dikaruniai anak. Namun sejalan dengan perjalanan tersebut, gue terus mencari makna menjadi orang tua (memiliki anak)

Sebagai guru TK, gue selalu dikelilingi sama anak kecil dan permasalahan perkembangan anak. Sepanjang perjalanan mencari makna tersebut, gue dihadapkan dengan banyak fakta yang menguatkan keputusan untuk tidak terburu-buru mempunyai anak. Saat ini gue berada di tengah anak-anak yang tumbuh dari berbagai pola asuh. Banyak perkembangan anak yang terganggu dan faktor yang paling menentukan adalah orang tua. Satu sisi gue memang belum pernah jadi orang tua sehingga gue tidak pernah ada di posisi yang sama. Tapi gue bekerja bersama anak-anak dan orang tua selama 5 tahun, mengambil kuliah tentang anak selama 2 tahun, menikah selama 3.5 tahun dan…gue adalah seorang anak. Trust me, I know what kind of things that parents should deal with. Bisa bayangin nggak kalau gue punya anak di saat kondisi gue tidak stabil? Bisa bayangin ketika gue masih mementingkan keinginan gue sendiri dan gue punya anak? Nggak hanya perkembangan anak gue yang terganggu tapi gue perkembangan kejiwaan gue.

Having kids is like having tattoo on your face. You will have it for the rest of your life – Eat, Pray, Love 2011

Banyaaaaaaakkkkk banget orang tua yang menyerahkan pengasuhan anak-anak mereka kepada pengasuh dengan alasan karir. Bahkan orang tua yang tidak bekerja pun memiliki pengasuh dan menyerahkan sepenuhnya kepada pengasuh. Dilematis. Satu sisi, ibu tetap ingin memiliki karir yang cemerlang. This one, I totally understand. I’m a working wife, I always work, I can imagine how mother will feel if they have to choose between work or kids. Trust me, it’s a tough call. Banyak yang memilih untuk meninggalkan pekerjaan demi anak, tapi nggak sedikit juga yang meneruskan karirnya dan mempercayakan orang lain untuk mengasuh anak. Memiliki anak adalah pilihan. Ketika seorang perempuan memutuskan untuk tetap bekerja setelah memiliki anak, gue angkat topi. I salute. You need to be a superwoman to be both but in the end, you have to sacrifice one. Unfortunately, a lot of them sacrifice their kids.

Sebagai orang tua bekerja, mengikuti perkembangan anak menjadi menantang karena mereka nggak pernah ada di rumah seperti orang tua yang tidak bekerja. Mereka mungkin juga nggak paham banyak kalau anaknya mengalami masalah perkembangan anak. Nggak hanya perkembangan fisik yang kasat mata. Perkembangan kognitif (otak) biasanya jadi prioritas tapi banyak yang lupa sama perkembangan sosial dan emosional anak. Ini yang akan jadi bumerang bagi orang tua sendiri saat anak menginjak abege/ remaja.

To cut the story short, what if I am not ready? Sepertinya memang gue harus lebih berserah diri sama Allah karena Allah yang paling tau kapan gue dan suami gue siap memiliki anak. Orang tua gue hanya berpikir kalo nanti gue juga akan siap sendiri tapi gue bilang, “Tidak. Gue akan punya anak ketika gue siap.” Sepanjang perjalanan mencari makna kenapa gue harus punya anak, gue akhirnya memutuskan untuk kuliah. Kuliah S2 ini sedikit banyak mengalihkan perhatian gue kendati tetap aja nyokap gue mendorong gue untuk segera punya anak karena bisa kuliah sambil punya anak. Yeah, right.

Sekarang gue di sini. Perjalanan hidup gue selama 3.5 tahun pernikahan tidak mudah tetapi gue bertahan, karena 1 alasan: my husband is a great person. We deal with a lot of things but we survive because we are willing to be a better person each day and hopefully 'till the death do us apart. Memang tidak mudah tapi kami saling mengerti satu sama lain karena memang tidak ada pilihan lain selain saling mengerti.

Akhirnya setelah perjalanan hampir 4 tahun pernikahan, gue siap dan ikhlas soal anak. Siap dan ikhlas ketika diberi saat ini juga atau jika tidak diberi sama sekali. Gue harus ikhlas. Demi kesehatan jiwa gue sendiri dan semoga suami gue juga mengikhlaskan ini. Sekarang gue menjalani hidup sehari-hari dengan tujuan untuk menjadikan diri gue berguna, sama seperti ketika gue memutuskan untuk menjadi guru. Ini tugas gue di Bumi yang diberikan Allah maka itu gue akan menjalankan tugas gue sebagai rasa syukur atas nikmat yang gue dapatkan selama ini. Mungkin banyak orang yang berpikir bahwa gue mencari pembenaran atas pilihan-pilihan hidup gue. But note this, I don’t need to explain any reasons to anyone if they don’t even try to listen. Why bother?

Jadi, kalau ditanya apakah gue masih nyes ketika ditanya, “Kapan punya anak?” Jawab gue pastilah masih karena gue manusia biasa. Tapi sikap gue yang akan menjadikan nyes itu sekedar sensasi semata dan nggak lebih dari itu. Because I’m living my dream and I’m happy. Are they?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar