Minggu, 04 Maret 2012

'Till then, hang tough.


Hmm…, udah lama rasanya gue tidak menulis tentang badminton. Uyeh, I’m a huge fan of badminton. Gue masih inget tegangnya nonton siaran langsung Thomas Uber Cup di akhir 1990 dan awal 2000. I was so in love with the game, the crowd and of course the athletes.  You name it: Joko Suprianto, Heryanto Arbi, Ricky Subagja, Rexy Mainaky, Chandra Wijaya, Tony Gunawan, and of course Hendrawan. Gue masih inget ketika Hendrawan harus melawan Yong Hock Kin dari Malaysia untuk mengamankan poin tunggal kedua dan semua setuju bahwa Hendrawan adalah kunci kemenangan tim Thomas Indonesia saat itu. Atau saat Ricky Subagja harus berpisah dengan Rexy Mainaky di semifinal dan final Thomas Cup dan dipasangakan dengan Tony Gunawan. Oh My Gosh! This pair was a.m.a.z.i.n.g!! Dan mereka bedua berhasil mengamankan kedua poin yang dibebankan kepada mereka.

Ricky Subagja/ Rexy Mainaky


Hendrawan

Kemana mereka sekarang? To be honest, our greatest athletes are not in our country. Sadly, but true, mereka melatih di negara lain. Tony Gunawan masih bermain di usianya yang 35 tahun bersama Howard Bach di Amerika. Gue juga pernah nemu Tony dan istrinya, Etty Tantri bermain ganda campuran di beberapa turnamen kecil walaupun nggak juara.  Ricky Subagja masih di Indonesia, sesekali nongol jadi komentator. Rexy Mainaky dan Hendrawan hijrah ke Malaysia. Alasan klasik: mereka merasa apresiasi pemerintah kurang makanya milih melatih di negara lain. Tidak nasionalis? Nanti dulu. Kalo mereka nggak nasionalis, nggak mungkin lah mereka membela Indonesia selama ini di ajang internasional. You name it: Olimpic, Thomas Uber, Sudirman Cup, Kejuaraan Dunia. So why move?

Setelah Uber Cup lepas dari Indonesia tahun 1998, prestasi pemain putri hampir nggak pernah terdengar lagi. Terakhir gue pikir Mia Audina bakal menggantikan Susi Susanti. Ternyata enggak, karena masalah internal, akhirnya Mia memutuskan untuk pindah ke Belanda dan sekarang membela Belanda. Lalu gue dengar ada juga Maria Kristin Yulianti yang berhasil meraih medali perunggu Olimpiade Beijing and…that’s it. Ganda putri? Jangan tanya. Itu sebabnya kita nggak pernah juara Uber Cup dan Sudirman Cup karena sektor putri kita lemah, sektor putranya bersaing ketat dan ganda campuran masih bergantung sama pemain senior yang saat itu adalah Trikus/ Minarti.


Setelah Thomas lepas tahun 2004, gue nggak pernah ngikutin badminton lagi. My heart is broken. Gimana bisa kita dulu bisa sebagus itu, disegani negara lain dan sekarang? Banyak pemain yang memilih menjadi pemain non-pelatnas. Kita juga masih mengandalkan pemain senior seperti Taufik Hidayat dan nggak ada pelapis sebaik dia untuk menggantikan posisinya. Taufik itu namanya udah kedegeran sejak Thomas 1998 dan dia masih maen sampe sekarang! Gilak! Itu jamannya Sun Jun dan Yong Hock Kin masih maen dan sekarang mereka udah digantiin sama Lin Dan, Cheng Long dan Lee Chong Wei!

Taufik Hidayat
Lalu sekarang gue mulai ngikuti lagi karena aksesnya yang gampang. Banyak akun Twitter yang selalu membagi berita seputar badminton atau cukup klik tournamentsoftware.com untuk ngecek jadwal dan hasil pertandingan. Kalo beruntung ada live streaming. Nggak cuman itu, karena sekarang ada Twitter, bahkan jarak antara atlet dan fansnya makin deket. Satu-satunya atlet yang kedengeran namanya saat ini hanya Liliyana Natsir. Wew! Basis fans-nya gilaaaaaaaaaaaaaaa banget! Nggak hanya di Indonesia tapi juga di luar. She is outstanding because she is talented. Di usianya yang baru 19 tahun, dia udah berhasil menjadi juara dunia bersama Nova Widianto. Nggak hanya sekali tapi dua kali. Nggak hanya itu, mereka juga berhasil meraih perak Olimpiade Beijing. Bersama Vita Marissa, Liliyana berhasil menjuarai Indonesia Open 2008 dan China Master 2007 di mana saat itu ganda putri Cina mendominasi. Sekarang bersama Tontowi Ahmad, mereka diharapkan bisa mempertahankan tradisi emas Olimpiade di London. Oke. Stop right there. Gue tau mereka pasangan yang cepat naik, hanya perlu kurang dari 1 tahun, pasangan ini bisa masuk 4 besar dunia bersaing dengan pasangan lainnya. Tapi melihat rekam jejaknya, well, terakhir mereka juara MakauGPG. Selebihnya bahkan pernah nyangkut di babak 1 dan 2. Oke, mereka juga juara Sea Games (tapi lawannya semua itu itungannya lapis kedua). Trus juara di SingaporeSS 2011 dan finalis IndonesiaPSS 2011 and…that’s it. Really? Cuman mau bergantung sama 1 pasang ini?

Tontowi Ahmad/ Liliyana Natsir

Terakhir penyisihan Thomas dan Uber Cup 2012, please be realistic, I don’t think we will win the cup next May. Bayangin, tim Uber bahkan musti ikut babak play-off untuk masuk putaran final berebut tempat ke-5! Kita kalah lawan Thailand, Jepang, hampir kalah lawan Singapura! Mengutip perkataan temen gue, “Cobaan dari Tuhan apa lagi yang bisa buat lo sadar??”

Lalu kenapa hari ini gue memutuskan untuk menulis uneg-uneg gue selama 6 bulan terakhir? Karena gue baru saja menonton pertandingan final kualifikasi piala Uber antara Jepang dan Cina yang dimenangkan oleh… Jepang saat posisi mereka ketinggalan 2-0! Oke, tim Cina yang turun memang lapis kedua, tapi toh akhirnya memang bisa dikalahin. Apa kita bisa sementara Thailand aja berhasil mempecundangi kita 2x?

TL gue panas waktu babak penyisihan Uber Cup Indonesia vs. Thailand dimulai. Mulai dari susunan pemain hingga urutan pertandingan. Okey, it matters but it’s also a strategy. To win is about to plan and execute it well. Ada sii faktor keberuntungannya juga tapi keberuntungan itu datang dari persiapan yang matang, skill yang mumpuni dan mental juara.

Too pesimistic? Okay, coba simak ini, pernyataan dari salah satu legenda bulutangkis Indonesia, Rudy Hartono, “Bulutangkis saat ini ‘memble’. Saya melihat ada persoalan dalam program pembinaan para atlet.  Masuk final, tim Uber sudah untung, mereka berjuang seperti itu. Kalau Thomas iya masuk final. Tapi untuk menjadi juara, maaf, saya kira itu sulit. Apalagi main di ‘kandang macan’ (Cina). Kualifikasi saja kita kalah kemarin.” Soal emas Olimpiade, ini katanya, “Hanya kalau ada keberuntungan bisa dapat emas. Saya bukan pesimis, pernyataan saya ini untuk memotivasi mereka.” Ivana Lie juga menyampaikan hal yang sama bahwa tradisi olimpiade bakal lepas. Belum lagi pendapat Taufik Hidayat soal mental pemain yang manja, nggak ada mental juara. Harusnya kalo kalah terus yah harus mau keluar dari pelatnas dan berjuang sendiri.

Ketika gue pikir kita nggak bisa lebih buruk lagi, gue salah. Setelah bertahun-tahun Thomas, Uber dan Sudirman Cup lepas, bisa jadi emas Olimpiade pun akan lepas tahun ini. Sama halnya seperti kita, ada manusia yang bisa dikasih tau baik-baik dan bisa berubah. Ada yang perlu ‘disentil’ dikit baru berubah. Ada yang perlu nyungsep dulu baru bisa berubah. Ada yang dijedotin berkali-kali baru akhirnya berubah. Nah, mungkin badminton kita perlu dijedotin berkali-kali sampe akhirnya sadar kalo kita ada di titik terendah dan perlu berubah. Apa yang harus berubah? Semuanya, atletnya, pelatihnya, pengurusnya, programnya, semuanya.

Like I said, I’m a huge fan of badminton. I always do. I’ll always wait till we come back. Till then, hang tough.

1 komentar:

  1. what a nice analytic. Bulutangkis kita memang sedang di titik nadir. Mungkin agar pemerintah sadar bahwa mereka harus berubah total

    BalasHapus