Pagi ini gue harus bangun untuk sahur jam 3 pagi setelah sebelumnya seluruh rakyat Indonesia yakin seyakin-yakinnya kalau hari ini sudah Lebaran. Untuk pertama kali setelah 27 tahun gue mendiami tanah Indonesia, pemerintah tidak ‘sepakat’ dengan tanggalan merah di kalender. Sepanjang hari (Senin, 29 August 2011) gue sudah menerima berbagai ucapan Maaf Lahir Bathin – terima kasih untuk semua yang meluangkan waktu untuk mengirimkan ucapan ke gue – dan temen-temen non-muslim gue pun bertanya, “Kapan Lebaran?” – bah berasa ditanya kapan kawin, kapan punya anak – jawaban gue tetep, “Nggak tau,” temen-temen gue pun makin bingung. Akhinya setelah sidang isbat menetapkan bahwa Lebaran jatuh pada hari Rabu, 31 August 2011, maka suami gue pun memutuskan untuk berpuasa besok harinya. Sedangkan bokap nyokap gue tidak.
Jam 10 pagi gue bangun setelah makan sahur jam 3 pagi dan beranjak ke kamar bokap. Rencananya gue akan berkunjung ke rumah nenek suami gue kalau hari ini sudah Lebaran. Mertua gue bilang kalo semua sodara-sodaranya udah Lebaran hari ini. Tapi nenek Lebaran tetap ngikutin pemerintah. Artinya gue nggak jadi lebaran ke rumah nenek suami gue. Yep, gue sekarang malah maenin laptop sementara bokap nyokap gue berencana nonton Transformer 3. Namun ada pernyataan bokap gue yang cukup mengejutkan gue,
“Puasa hari ini haram tau nggak.”
Marilah kita telaah lagi bahwa memang ada waktu-waktu di mana puasa diharamkan bagi umat Islam, antara lain pada saat Idul Fitri & Idul Adha. Haram adalah salah satu hukum Islam di mana jika kita melakukan maka kita akan berdosa dan akan mendapat pahala jika kita tidak melakukannya. Pernyataan bokap gue sebenernya menarik karena sejak kapan bokap gue begitu ‘peduli’ dengan term ‘haram’ dan ‘halal’? Perlu diketahui sedikit latar belakang religius keluarga gue. Sepanjang hidup gue, orang tua gue tidak begitu menekankan penerapan agama secara praktikal. Maksdunya gue tidak dipaksa untuk shalat, puasa, mengaji walaupun mereka memfasilitasinya. Dari kecil gue diajarkan baca Qur’an & belajar shalat oleh guru ngaji namun orang tua sendiri tidak mengajarkan secara langsung. Yang justru gue ingat dari pendidikan religius dari orang tua gue adalah bahwa sebagai manusia yang hidup di muka bumi ini kita harus saling mengasihi, memberi dan menghormati perbedaan. Gue cukup terkesima melihat perubahan mereka yang perlahan namun pasti mulai ‘mempermasalahkan’ pritilan semacam ini. Karena ketika gue sudah mulai menemukan hakikat puasa itu sendiri, gue merasa orang tua gue ‘berjalan’ ke arah yang lain.
Yep, gue masih ‘berjuang’ untuk menemukan kesejatian shalat tapi gue merasa sudah mulai menemukan kesejatian puasa di tahun ini. Hal ini tanpa gue sadari gue ‘temukan’ ketika gue sedang ngobrol dengan partner gue di kelas. Gue merasa sangat beruntung bisa bekerja di tempat dengan beragam etnis, kepercayaan, bahkan kebangsaan karena pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti, “Kenapa 21 di sini nggak impor film Hollywood lagi sekarang?”, atau “Kenapa kamu nggak punya family name?”, atau “Kenapa orang Islam puasa?” Pertanyaan terakhir ini pernah ditanyakan di awal minggu bulan puasa tahun ini oleh partner gue dan seinget gue dia juga pernah bertanya dulu. Gue pun nggak menyangka akan penjelasan yang gue berikan ke dia ketika tepatnya dia bertanya,
“Kenapa KAMU puasa?”
Hmm… karena gue ini bukan Islam yang praktikal. Gue nggak shalat, gue udah lama nggak baca Qur’an, dan sejumlah ritual keagamaan yang harusnya gue lakukan sebagai muslim. Tapi puasa gue merasa beda, gue puasa karena ini saatnya di mana gue menghormati Allah SWT, Tuhan gue, mengucap syukur atas berkah dan rahmah-Nya, mengikuti semua aturan praktikal berpuasa. Puasa mendekatkan gue dengan Tuhan gue secara religius karena gue juga mempunyai beberapa cara mendekatkan diri dengan Allah SWT, salah satunya dengan bekerja menjadi guru J. Yep, gue berpuasa karena ini cara gue mengucap syukur kepada Allah SWT dan nggak yang lain. Tahun ini gue kehilangan banyak hari puasa karena gue sakit, tapi gue mendapatkan seminggu puasa paling bermakna dalam hidup gue di minggu pertama puasa. Di minggu itu, gue merasa enjoy menjalankan aktivitas. Gue tidak menggunakan alasan gue sedang berpuasa untuk tidak melakukan sesuatu seperti bekerja seperti biasa – bahkan lebih sibuk supaya nggak berasa laper :p – tetep olahraga sejam sebelum buka dan diterusin seperti biasa.
Lalu tibalah hari ini, 30 Agustus 2011, kalender sih udah merah yah, tapi karena sidang isbat memutuskan kalo Lebaran masih besok, maka hari ini gue masih berpuasa. Kali ini gue punya alasan lain kenapa gue berpuasa, karena suami gue mengimani bahwa sebagai umat Islam kita harus taat pada keputusan pemerintah karena kita tidak mengikuti aliran manapun. Alhamdulillah, gue ikhlas mengikuti keputusan suami dan gue menghormati keputusannya.
Lalu apakah tindakan gue haram? Alhamdulliah lagi, gue tidak merasa seperti itu karena gue melakukannya semata-mata karena gue mengikuti imam gue dan ini adalah bagian dari cara gue bersyukur kepada Allah. Cuma satu hal: it feels right J. Jadi apalah arti haram dan halal ketika jauh di lubuk hati terdalam elo tau apa yang salah dan bener?
Gue cuman cengar-cengir aja memantau status BBM dan Twitter yang ribut soal perbedaan ini, gue nggak menanggapi sama sekali. Tapi dengan media ini gue mengomentari bahwa apakah sedangkal itu keimanan elo sampe harus ribut? Gimana kita bisa akur antar agama ketika kita masih ribut nentuin kapan Lebaran? PR abis! Namun harus gue akui bahwa lucu karena ada 1 kejadian yang sebenernya sepele tapi ternyata signifikan dan mengganggu: opor ayam & ketupat bisa basi kalo Lebaran mundur! :D
Pada akhirnya gue mengucapkan Minal Aidin wal Faizin, mohon maaf lahir dan batin. Semoga kita semua kembali suci di bulan baru. Surely will gonna miss our fasting ritual: buka puasa bareng karena puasa nggak hanya mengucap syukur tapi juga menyambung & mempererat tali silahturahmi.
Hotel Atlet Century Park Jakarta
Room 737
11:07 a.m.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar