Pertanyaan
apa yang paling males elo jawab saat bersama keluarga besar atau teman-teman
yang udah lama nggak ketemu, emm…, di kondangan misalnya? Aha! Yep, “Udah punya
pacar?”, “Kapan kawin?”, “Kapan punya anak?” adalah pertanyaan paling sering
ditanyain oleh orang-orang yang udah lama nggak ketemu atau bertemu dalam
suasana ‘basa-basi’. Honestly, I am brutal about this. I prefer to avoid such
kind of situation. Mungkin orang akan menganggap gue sombong, tapi situasi
sosial seperti ini menyakitkan. Call me selfish. Don’t give a damn but I’m done
judged by ‘not so random’ people. Well, you know whom I am talking about. Mungkin
Tante elo dari sodara nyokap lo yang mana, tante lo yang setaun sekali ke
tempat lo karena tinggal di luar kota, Oom elo dari bokap, sepupu nenek lo,
sepupu jauh, sampe ke temen SMA atau temen kuliah yang elo temuin hanya pas
kondangan. You damn right, kenapa musti ada tradisi bernama kondangan di
Indonesia sih?!? Oya, belum lagi acara keluarga besar di mana hampir seluruh
keluarga lo ngumpul, mulai dari ngumpul standar di hari raya sampe arisan
keluarga yang lebih rutin, bisa sebulan sekali hingga tiga bulan sekali atau
juga sekedar makan bareng ngerayain ulang tahun sepupu elo.
Orang
tua gue selalu ngajarin untuk terus menjaga tali silaturahmi dengan keluarga.
Itu sebabnya sebisa mungkin gue dateng ke acara keluarga. Biasanya tingkat
pentingnya acara tersebut diukur dari orang tua gue sendiri. Kalo mereka
mewajibkan gue dateng, itu artinya nggak boleh dinegosiasi. Kalo bisa dinego,
itu artinya ada dua: acaranya nggak penting banget atau keluarga gue lagi ribut
sama keluarga yang lain. Hahaha, yep just face the fact that every family has
their own problems & their own secrets.
Waktu
kecil, tekanan muncul dari membanding-bandingkan diri gue dengan sepupu-sepupu
gue soal sekolah. Jangan tanya tekanan apa yang gue dapet ketika nilai rapor
gue terjun bebas dari rangking teratas trus tau-tau ada nilai merah. Gue nggak
bisa bayangin gimana sepupu gue harus berhadapan dengan tekanan dari yang lain
ketika setiap terima rapor pasti ada nilai merahnya. Ok, I was quite smart in
my school day but it didn’t mean I was safe. Quite smart was not enough. Kalo
bukan urusan rapor, pasti urusan ‘sibuk’ bakal diangkat-angkat. Misalnya ketika
gue nggak dateng ke ultah siapa karena gue harus latihan Paskibra. Sepulang
dari ekskul, gue pasti diomongin, “Kamu ditanyain sama Bude, kenapa nggak
dateng?”, “Lain kali dateng lah, kapan lagi kamu ketemu sodara-sodara jauh?
Nanti ketemu di jalan nggak kenal lagi.” Oh, yep, that kind of classic.
Nah,
waktu kuliah, tentu saja siapa yang jadi pacar bakalan jadi sasaran topik
berikutnya. Gue sii nggak tau ya apa pendapat keluarga besar gue tentang
pacar-pacar gue, tapi gue yakin banget mereka ngomongin gue, seperti keluarga
lainnya ngomongin pacar-pacar sepupu gue. Pendapat keluarga dan keluarga besar
tentunya sangat mempengaruhi pengambilan keputusan gue. Jadi, bayangin ketika
gue harus menebalkan kuping gue dan nangis meraung-raung di kamar sendirian
ketika gue mendengar pendapat keluarga gue tentang pacar-pacar gue.
Fase
pertanyaan “Kapan kawin?” gue lewatkan dengan mulus karena gue menikah muda. Di
usia 24 tahun, ketika gue sudah mengenal calon suami gue selama 3 tahun. Waktu
menikah, gue membayangkan acara pernikahan yang sederhana saja. Teman-teman
dekat gue dan suami gue tentunya. Saat itu gue sempet ‘gak paham’ kenapa orang
tua gue kepo banget ngurusin ini-itu dan mengundang orang sebanyak itu. Ini
orang juga siapa? Sampe akhirnya gue paham bahwa pesta ini bukan pesta ‘gue’
tapi pesta orang tua gue yang merayakan anaknya yang menikah. Pesta gue dihadiri
oleh lebih dari 1000 orang, tanpa kacamata, di mana gue tidak bisa melihat
siapa saja yang datang kecuali mereka dalam jarak dekat. Banyak orang yang gue
salami yang nggak gue kenal. Mereka bilang pesta gue meriah, makanan enak &
banyak, suasana enak, nggak ngantri. Orang-orang yang gue harapkan dateng pun
dateng. Pesta 2 jam itu berakhir dengan sukses. Oyah, tentu saja banyak orang
yang akan membicarakan pesta gue. Saat itu gue juga baru tau bahwa setiap pesta
kawinan itu bakal di omongin orang. Jelek pasti diomongin, bagus pun juga
diomongin. Yah, tipikal orang Indonesia yah...
Sebagai
anak pertama, entah kapan gue menyadari betapa besarnya pengharapan orang tua
gue atas keberhasilan gue di masa depan. Mulai dari lulus dengan nilai baik,
punya kerjaan yang bagus, menikah dengan orang yang baik sampe segera punya
anak. Konsep bahwa menikah akan membebaskan gue dari aturan orang tua gue itu
ternyata salah. Bukannya melepaskan gue, mereka semakin mengatur apa yang harus
gue lakukan. Contoh klasik orang tua gagal move on. Tapi orang tua mana yang
bisa melepas anak perempuannya begitu saja, khan?
Entah
sudah berapa kali gue menangis di kamar (cengeng is my middle name) karena gue
harus menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru menikah. Urusan orang tua,
mertua dan tentu aja suami. It was damn tough. I was like I wanted to scream, “Oh
God! Give me a break!” I felt like I was the only one who face this kind of
marriage problems. Susah mau sharing saat itu karena gue nggak punya temen yang
udah menikah. Sempet sih dikasih wejangan pernikahan sebelum menikah, bahwa
ketika memasuki pernikahan, “Kamu dan suami kamu nggak boleh membawa masalah ke
dalam pernikahan kamu. Selesaikan masalah yang harus kamu selesaikan sebelum
menikah. Ada hal yang bisa dibicarakan sebelum menikah tetapi ada hal-hal yang
baru bisa dibicarakan setelah kamu memasuki pernikahan itu.” Well, I didn’t
have any idea what he was talking about. Okeh, gue pikir gue paham tentang
pernikahan, tapi gue hanya tau 10% dari apa yang sudah gue antisipasi. No
fucking way that you know about marriage until you get married!
Ngeliat
rumah tangga dengan masalah perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga sampe
kawin cerai sebenernya bikin siapapun parno buat menikah. Tapi sebenernya yang
bikin banyak rumah tangga bermasalah dan akhirnya nggak bertahan itu karena
mereka berpikir mereka sendirian. Maksudnya, berapa banyak sii dari kita yang
jujur sama masalah rumah tangga kita? Pasti malu khan cerita masalah rumah
tangga ke orang lain? Masalah di sini bukan hanya masalah besar loh ya, tapi
masalah kecil yang akhirnya jadi ganggu. Karena kita dididik dari kecil untuk
nggak membuka ‘aib’ di depan umum, menceritakan masalah rumah tangga dengan
orang lain. Masalah harusnya diselesaikan di dalam kamar & nggak dibawa ke
ranah publik. Ok, gue tau apa yang kalian pikirkan. Gue nggak menyarankan elo
membuka aib pasangan elo seada-adanya, tapi berbagi cerita pada orang-orang
tertentu yang bisa elo percaya itu menyehatkan. Parahnya lagi, alih-alih
bercerita untuk menyelesaikan masalah ke orang yang tepat, sekarang banyak
banget yang ‘menceritakan’ masalahnya di social media. ‘Epic’ banget nggak
sih?!
Nah,
ngomong-ngomong social media, coba cek berapa banyak dari temen-temen elo yang
uplot foto kemesraannya dengan pasangannya & berapa banyak yang uplot
foto-foto perkembangan anak-anaknya di social media? I tell you something: ini
racun, Man! Racun yang mempengaruhi orang lain memandang tentang betapa
sempurnanya hidup orang lain & betapa nestapanya idup elo! (dan kata
‘nestapa’ pun muncul). Padahal kita khan nggak pernah tau apa yang terjadi di
balik senyum di foto itu khan? Lucunya, foto-foto tersebut berbanding lurus
dengan status social media yang isinya ngeluh, ngeluh dan ngeluh. Lama-lama
social media itu semacam riya, trus diharamkan MUI deh. Aseekkk!!
Dan
ketika menikah adalah menyesuaikan diri dengan pasangan, mengalah sesekali dan
menerima kekurangan apa adanya, maka ketika ditanya, “Kapan punya anak?” seakan
meruntuhkan seluruh ketegangan dan digantikan dengan yang jauh lebih tegang!
Inilah hal yang masih menekan gue sampai sekarang. I am married for 3,5 years
with no kids. Tentu saja tekanan datang dari orang tua tercinta. Dua bulan setelah menikah, gue positif hamil. Well,
test pack mengatakan gue hamil tapi 3 bulan berlalu, gue mengalami flek &
ternyata janin gue tidak berkembang. Alhasil gue harus melepas janin tersebut. Saat
itu gue tegar dan kuat. Gue hanya menangis 3 kali: 1x di mobil setelah
melihat hasil USG dokter, 1x saat gue melihat bokap gue sepulang dari dokter, 1x
di rumah sehari setelah proses kuret selesai. Saat itu gue hanya berpikir
bagaimana caranya cepat kembali sehat dan bisa hamil lagi.
Proses
tersebut lewat namun siapa sangka kalau proses melewati masa setelah kuret
ternyata lebih terjal. Setelah 6 bulan, kami mencoba kembali, hingga hari ini.
Selama 6 bulan mencoba dan tanpa hasil, gue frustasi. Tetiba banyak aja ibu
hamil dan anak kecil yang berseliweran depan gue. Belum lagi sodara-sodara gue
yang akhirnya menikah dan hamil. Setiap sodara yang menikah, beban gue seakan
bertambah. Dari yang frustasi sampai akhirnya gue berkata sama diri gue
sendiri, “You have set yourself free before you have a kid.” Ada masa
juga ketika gue bertanya kenapa gue harus punya anak? Apa karena gue harus
menuruskan keturunan? Lah, gimana dengan pasangan yang nggak bisa punya anak? Sampai
akhir di mana gue merasa bagaimana kalau gue harus menikah tanpa dikaruniai anak. Namun
sejalan dengan perjalanan tersebut, gue terus mencari makna menjadi orang tua
(memiliki anak)
Sebagai
guru TK, gue selalu dikelilingi sama anak kecil dan permasalahan perkembangan
anak. Sepanjang perjalanan mencari makna tersebut, gue dihadapkan dengan banyak
fakta yang menguatkan keputusan untuk tidak terburu-buru mempunyai anak. Saat
ini gue berada di tengah anak-anak yang tumbuh dari berbagai pola asuh. Banyak perkembangan
anak yang terganggu dan faktor yang paling menentukan adalah orang tua. Satu
sisi gue memang belum pernah jadi orang tua sehingga gue tidak pernah ada di
posisi yang sama. Tapi gue bekerja bersama anak-anak dan orang tua selama 5
tahun, mengambil kuliah tentang anak selama 2 tahun, menikah selama 3.5 tahun dan…gue
adalah seorang anak. Trust me, I know what kind of things that parents should
deal with. Bisa bayangin nggak kalau gue punya anak di saat kondisi gue tidak
stabil? Bisa bayangin ketika gue masih mementingkan keinginan gue sendiri dan
gue punya anak? Nggak hanya perkembangan anak gue yang terganggu tapi gue perkembangan
kejiwaan gue.
Having kids is like having tattoo on your face. You will have it for the rest of your life – Eat, Pray, Love 2011
Banyaaaaaaakkkkk
banget orang tua yang menyerahkan pengasuhan anak-anak mereka kepada pengasuh
dengan alasan karir. Bahkan orang tua yang tidak bekerja pun memiliki pengasuh
dan menyerahkan sepenuhnya kepada pengasuh. Dilematis. Satu sisi, ibu tetap
ingin memiliki karir yang cemerlang. This one, I totally understand. I’m a
working wife, I always work, I can imagine how mother will feel if they have to
choose between work or kids. Trust me, it’s a tough call. Banyak yang memilih
untuk meninggalkan pekerjaan demi anak, tapi nggak sedikit juga yang meneruskan
karirnya dan mempercayakan orang lain untuk mengasuh anak. Memiliki anak adalah
pilihan. Ketika seorang perempuan memutuskan untuk tetap bekerja setelah memiliki
anak, gue angkat topi. I salute. You need to be a superwoman to be both but in
the end, you have to sacrifice one. Unfortunately, a lot of them sacrifice
their kids.
Sebagai
orang tua bekerja, mengikuti perkembangan anak menjadi menantang karena
mereka nggak pernah ada di rumah seperti orang tua yang tidak bekerja. Mereka
mungkin juga nggak paham banyak kalau anaknya mengalami masalah perkembangan
anak. Nggak hanya perkembangan fisik yang kasat mata. Perkembangan kognitif
(otak) biasanya jadi prioritas tapi banyak yang lupa sama perkembangan sosial
dan emosional anak. Ini yang akan jadi bumerang bagi orang tua sendiri saat
anak menginjak abege/ remaja.
To cut
the story short, what if I am not ready? Sepertinya memang gue harus lebih
berserah diri sama Allah karena Allah yang paling tau kapan gue dan suami gue
siap memiliki anak. Orang tua gue hanya berpikir kalo nanti gue juga akan siap
sendiri tapi gue bilang, “Tidak. Gue akan punya anak ketika gue siap.” Sepanjang
perjalanan mencari makna kenapa gue harus punya anak, gue akhirnya memutuskan untuk
kuliah. Kuliah S2 ini sedikit banyak mengalihkan perhatian gue kendati tetap
aja nyokap gue mendorong gue untuk segera punya anak karena bisa kuliah sambil
punya anak. Yeah, right.
Sekarang
gue di sini. Perjalanan hidup gue selama 3.5 tahun pernikahan tidak mudah tetapi
gue bertahan, karena 1 alasan: my husband is a great person. We deal with a lot
of things but we survive because we are willing to be a better person each day
and hopefully 'till the death do us apart. Memang tidak mudah tapi kami saling
mengerti satu sama lain karena memang tidak ada pilihan lain selain saling
mengerti.
Akhirnya
setelah perjalanan hampir 4 tahun pernikahan, gue siap dan ikhlas soal anak. Siap
dan ikhlas ketika diberi saat ini juga atau jika tidak diberi sama sekali. Gue harus
ikhlas. Demi kesehatan jiwa gue sendiri dan semoga suami gue juga mengikhlaskan
ini. Sekarang gue menjalani hidup sehari-hari dengan tujuan untuk menjadikan
diri gue berguna, sama seperti ketika gue memutuskan untuk menjadi guru. Ini tugas
gue di Bumi yang diberikan Allah maka itu gue akan menjalankan tugas gue
sebagai rasa syukur atas nikmat yang gue dapatkan selama ini. Mungkin banyak
orang yang berpikir bahwa gue mencari pembenaran atas pilihan-pilihan hidup gue.
But note this, I don’t need to explain any reasons to anyone if they don’t even
try to listen. Why bother?
Jadi,
kalau ditanya apakah gue masih nyes ketika ditanya, “Kapan punya anak?” Jawab
gue pastilah masih karena gue manusia biasa. Tapi sikap gue yang akan
menjadikan nyes itu sekedar sensasi semata dan nggak lebih dari itu. Because I’m
living my dream and I’m happy. Are they?