Malam ini gue baru saja menghadiri sebuah stand-up comedy
Indonesia, Bhineka Tunggal Tawa menampilkan Pandji Pragiwaksono. Sebagai orang
Indonesia, gue salut dengan Pandji yang memprakarsai banyak hal, menjalani
hidup dengan passion-nya, dan dia lucu! :D
Yang mau gue sampaikan di sini adalah gue banyak belajar dari
Pandji, gue belajar banyak tentang Indonesia dari Pandji, gue belajar untuk
tidak mudah sensitif terhadap sesuatu dan mencerna apa yang coba disampaikan
seseorang serta terus mengejar passion gue: menulis. Yep, menulis.
Kalau soal kecintaan gue terhadap Indonesia, kayaknya udah
nggak mungkin ditanyain lagi betapa cintanya gue dengan Indonesia tapi
mengetahui lebih banyak Indonesia betul-betul semakin menebalkan rasa cinta
gue. Gue paling suka dengan fakta-fakta sejarah yang diungkapkan – walau
pastinya kontroversial – tapi memiliki
perspekif berbeda dari apa yang selama ini kita tahu menurut gue perlu. Kenapa?
Karena keraguanlah yang membuat kita semakin ingin mencari tahu kebenarannya.
Seperti mencintai seseorang, bukankah kita harus mencintai bangsa ini dengan
segala kebaikan dan keburukannya?
Sensitifitas bangsa Indonesia cukup luar biasa. Baru saja gue
membaca timeline @Mongol_stres yang sibuk mengklarifikasi sesuatu yang berbau
agama. Sepertinya, ada hal sensitif yang menjadi materi stand-up comedy-nya
yang menyinggung beberapa pihak. Yang gue lihat bukannya hanya TL-nya saja tapi
juga orang-orang yang mention. Wew! Ada ajah deh yang menghujat habis-habisan.
Gue nggak bisa bayangin kalo itu gue. Gue bakalan kapok stand-up selama
beberapa bulan ke depan. Lalu gue pun berpikir, sejauh mana materi sensitif ini
bisa dikembangkan menjadi bahan becandaan? Apa iya beberapa comic ini cross the
line? Atau kitanya yang simply sensitive? Beberapa hal yang gue secara pribadi
tersinggung dengan materi Pandji karena hal tersebut bersinggungan langsung
dengan kehidupan pribadi gue. Yep, nggak tanggung-tanggung, soal polisi dan
kepolisian. Soal pekerjaan bokap gue. Bokap gue. My hero. Gue sempet unfollow
Pandji ketika dia membahas soal itu. Namun seiring waktu, gue harus melihat ini
dari persepsi berbeda. Harus diakui apa yang menjadi materi Pandji tentang
polisi adalah benar, tapi seperti kata Pandji juga, jangan liat sesuatu
plek-plekan hitam putih. Nggak semua polisi begitu, nggak semua polisi gaptek,
masih banyak polisi yang bekerja untuk bangsa dan negaranya dengan baik dan
bokap gue bukan orang suci :p Still, he’s my hero ;) Semacam menjadi resilient,
sepertinya gue harus menarik terus garis toleransi gue agar nggak mudah
sensitif karena sepertinya lebih mudah tertawa daripada mengkerut menyikapi
ironi kehidupan.
Terakhir, setelah gue menyelesaikan S2, gue janji akan
meneruskan hobi dan kesenangan gue sejak dulu: menulis. Entah apa yang membuat
gue berhenti menulis. Sejak SMP, gue tidak pernah berhenti nulis sampai
akhirnya gue masuk kuliah. Mendekati
semester akhir, gue berhenti menulis hingga…kini. Banyak hasil tulisan gue yang
gue print dalam bentuk buku dan mengonggok di laci karena nggak ada yang mau nerbitin
tulisa-tulisan gue. Beberapa kali gue mencoba, semua naskah gue dikembalikan. Mungkin
karena penolakan gue inilah yang membuat gue berhenti menulis. Setelah baca
buku Pandji dan nonton stand-up-nya hari ini, gue kembali berpikir, masa’ gue
nggak punya passion selain ngajar sih? Lalu gue inget betapa gatelnya tangan
gue untuk nulis tapi akhirnya nggak jadi apa-apa. Selama 2 jam, gue nulis dan
berakhir dengan 3 tulisan setengah jadi yang akhirnya enggan gue teruskan,
salah satunya gue apus file-nya. Lalu gue pun berpikir, kenapa nggak gue mulai
lagi rajin nulis? Toh semua sinetron dan buku-buku nggak ‘menuntut’ banyak? Kalo
baca tulisan gue dulu, nggak jauh beda noraknya sama jalan cerita sinetron
sekarang dan terbukti sinetron sekarang episodenya panjang-panjang. Mungkin
rumah produksi mau yah beli tulisan gue :p. Sekarang kesempatakan menerbitkan
buku lebih banyak daripada dulu. Penerbit nggak hanya itu-itu aja. Isinya ya
gitu-gitu aja lah. Penulis yang paling gue tunggu karya-karyanya hanya 2 orang:
Andrea Hirata dan Raditya Dika. Andrea karena tulisannya yang cerdas dan lucu.
Raditya Dika karena tulisannya yang seputar kehidupan yang sangat dekat dengan
kita dan berhasil dia tuang ke dalam tulisan dengan sangat lucu. Jadi, apa tadi
alasan gue berhenti nulis?