“Kesuksesan seseorang bukan di saat ia berada di titik tertingginya, tetapi di titik ketika orang tersebut mampu bangkit kembali di titik terendah dalam hidupnya.” Mas Saleh, Paskibra 78
Tesis.
Perut gue selalu mules mendengar kata itu. Nggak hanya mendengar kata itu, juga ketika gue melihat teman-teman gue mengerjakannya dengan segala keribetannya. Gue mules tapi gue juga males. Gue pun berpikir, apa sii yang menbuat gue mules, takut dan males ngerjain tesis?
Sebutlah…gue tidak bersyukur dengan apa yang gue punya saat ini yang menghambat pengerjaan tesis gue. Hmm…, puzzling, eh?
Kemarin gue baru saja bertemu dengan seorang teman kampus yang sudah lulus, dengan segala keribetan dan protokoler tesis, gue dijejelin bermacam hal yang bikin gue pengen banting laptop gue dan pergi. I hate school! I hate thesis! *ngelengos. Agak ironis sebenernya ketika gue yang mendedikasikan hidup gue untuk pendidikan tetapi benci dengan protokoler pendidikan itu sendiri. Setelah dibombardir bermacam protokoler tesis, gue cuman bisa bengong aja sambil nggak tau apakah gue mampu ngerjain semuanya hanya dalam 1 bulan. Kalo cuman mengerjakan tesis tanpa peduli apakah gue ngerti atau enggak, gue nggak akan bingung kayak gini. Masalahnya, gue nggak ngerti sama sekali apa yang baru aja disampein sama temen gue dengan apa yang disebut dengan ‘tesis’.
Gue pulang. Nggak pulang sii tepatnya. Gue memutuskan untuk menghibur diri sendiri dengan makan di Nanny’s Pavillon memesan menu ‘sederhana’ kesukaan gue, Smoked Beef Spagetti. Dalam kesendirian gue, di tengah hiruk-pikuk malam mingguan di Central Park, gue membatin sambil menyuap sendok pertama, “ Bismillah. Heal me, come on, heal me.” Alhamdulillah, gue kenyang.
Hari itu, gue punya acara lain, pelantikan (yang sekarang disebut Diksar) Paskibra 78. Saat ini gue tidak terlibat lagi di setiap kegiatan yang diadain ekskul yg gue ikuti saat gue SMA ini tapi gue hampir nggak pernah absen dateng ke pelantikan. Sepanjang perjalanan dari CP ke 78, gue merenung melakukan napak tilas perjalanan gue selama gue kuliah, bahkan gue mundur lebih ke belakang saat gue kuliah S1. Apa gue sengaco ini ngerjain skripsi? Gue berhasil mengerjakan skripsi gue dalam 3 bulan. Sekarang, gue hanya punya waktu 1 bulan setelah memperpanjang 1 semester. Gue mau nangis saat menyetir ke 78, tapi enggak, gue tau gue nggak akan segampang itu menangis untuk sesuatu yang nggak perlu gue tangisi. Gue mudah menangis untuk sesuatu yang menyentuh, tapi nggak ini, bisa sii nangis, tapi dipaksa, but what’s the point, eh? Tapi akhirnya gue bersuara, “God, am I strong enough? God, tell me, am I strong enough?” sambil terus menyetir mendekati 78, rumah kedua gue. Nah, saat gue tidak menangis, yep, gue kuat, gue bisa!
Sesampainya di 78, gue bertemu dengan senior, kakak, sekaligus pembimbing spiritual gue (halah), Mas Saleh, dan langsunglah gue curhat soal tesis gue. Seperti biasa, ketika gue mengeluh, dia hanya bilang, “Bisa lah kamu.” Karena dia mengikuti perjalanan hidup gue selama 12 tahun, gue percaya aja dengan yang dia bilang.
“Dulu waktu kamu ngerjain skripsi, saya baru deg-degan, bisa nggak ni anak selesai. Tapi kalo sekarang, dalam 2 minggu, kamu bisa nyelesaian itu semua.”
I was speechless. Seinget gue, pada saat skripsi, kayaknya lebih gampang gue ngerjain itu, apa-apa lebih terstruktur, dan gue selalu konsultasi setiap minggu. Terjadwal. Sekarang nggak hanya gue harus ngejar dosen ke Karawaci, tapi gue harus meruntuhkan segala keegoan, kekesalan, keputusasaan, keluhan dan ketidakpercayaan diri gue.
“Dulu kamu itu belum stabil, masih bermasalah dengan orang tua kamu, belum lagi adik kamu. Hampir setiap ketemu saya, kamu selalu mengeluh itu. Sekarang udah nggak pernah lagi. Kamu berubah banyak, bukan orang tua kamu yang berubah, mereka udah tua. Kamu yang berubah.”
Gue lagi-lagi hanya bengong sambil menyerap maksudnya.
“Emang ngaruh ya, Mas?”
“Ya ngaruh lah. Kamu sudah stabil sekarang.”
“Trus kenapa saya masih kayak gini sekarang? Kenapa saya masih ngeluh?”
“Ya karena kamu manusia, wajar lah kalo ngeluh. Manusia itu hidup ada naik turunnya. Sesekali mengeluh itu manusiawi. Kesuksesan seseorang bukan di saat ia berada di titik tertingginya, tetapi di titik ketika orang tersebut mampu bangkit kembali di titik terendah dalam hidupnya.”
Kuat. Apakah gue cukup kuat untuk bangkit dari titik terendah gue?
“Karena kamu sudah lama di Paskibra, kalian sudah terbiasa dengan hal-hal seperti ini.”
Lalu Mas Saleh memberikan contoh seorang adik gue yang berbeda 5 tahun dari gue, “Maaf ya, Dek, banyak yang bilang kalo hidup kamu bakal hancur setelah kamu lulus SMA tapi karena saya lihat kamu di Paskibra, saya yakin kamu bisa bertahan dan sukses. Mungkin nilai akademik kamu nggak bagus, keluarga kamu berantakan, tapi saya melihat sikap kamu di Paskibra & kamu berhasil di sini. Gak masalah, ilmu di Paskibra itu ilmu hidup, kamu berhasil di sini, kamu bisa berhasil di dunia luar sana.”
“Trus kenapa sekarang saya terseok-seok begini, Mas? Saya nggak suka sekolah dan semua protokolernya. Kenapa pengalaman hidup saya mengajar nggak cukup menjadikan saya seorang profesional?”
“Masalahnya kamu kurang bersyukur dengan apa yang udah kamu punya sekarang.”
Oke. Maksdunya…
“Coba liat, kamu punya segalanya, kamu tinggal menggunakannya. Banyak yang nggak mampu untuk sekolah lagi, tapi kamu bisa. Kamu hanya perlu memanfaatkan. Kamu juga harus mengubah alasan kenapa kamu harus menyelesaikan kuliah kamu karena selama ini kamu menjadikan kuliah kamu sebagai kewajiban kamu, bukan sebagai pembuktian bahwa kamu adalah seorang profesional.”
“Loh, apa nggak cukup dengan 4 tahun saya bekerja sebagai guru?”
“Ya nggak cukup lah, masih jauh perjalanan kamu. Bedakan juga dengan kamu menjalankan sesuatu yang kamu suka untuk kebaikan dan kesenangan kamu sendiri dengan kamu menjalankan sesuatu karena itu adalah kebenaran, sesuatu yang harus kamu buktikan sesuai dengan aturan yang berlaku. Menyelesaikan kuliah kamu adalah pembuktian bahwa kamu mampu menjadi profesional.”
Lagi-lagi gue melakukan napak tilas sepanjang 2 tahun perjalanan kuliah master gue. Untuk orang yang tidak suka sekolah, gue berhasil menyelesaikan seluruh mata kuliah gue tanpa mengulang, dengan 4 mata kuliah bernilai B & B+, sisanya bernilai A-. Seluruh tugas gue kerjakan dengan baik tanpa pernah melewatkan batas akhir yang ditentukan. Hey, that’s amazing! Belum lagi kebiasaan buruk gue yang nggak pernah ilang, ngerjain sesuatu dengan SKS: Sistem Kebut Semalam! Mengambil istilah dari Jeung Windy yang juga kuliah di tempat yang sama, “Gue ini kayak Roro Jonggrang kalo ngerjain tugas.” Hahahaha, mungkin maksudnya Bandung Bondowoso yang ngerjain 999 candi dalam semalam. Yep, itulah gue. Sayangnya, gue tidak bisa mengubah sifat buruk gue ini.
Mengenang masa ke belakang membuat gue selalu tersenyum. Gimana bisa gue melakukan semuanya? Tapi yang paling penting, kenapa gue memutuskan untuk kuliah lagi? Pada akhirnya gue hanya bisa tersenyum, mencoba menegakkan kepala gue, dan berkata, “Ayolah, apa sii yang nggak bisa elo kerjakan?” Keyakinan ini semakin besar ketika gue mengenal sekali diri gue sebagai seseorang yang mungkin cemen, mungkin cengeng, mungkin penakut, mungkin nggak percaya diri, mungkin jutek, mungkin pemalu, tetapi gue selalu menyelesaikan apa yang sudah gue mulai. Selalu!
Akhirnya gue sadar hanya gue yang bisa menyelesaikan tahapan hidup gue yang satu ini. Terima kasih untuk semua yang sudah mendukung dan, yang paling penting, percaya sama gue ketika gue bahkan lupa kalo gue mampu. Satu bulan lagi adalah pembuktian.
Si Ontacerdas bernama tengah Bandung Bondowoso ini akan membangun candi terakhirnya untuk seluruh Roro Jonggrang yang percaya pada kemauan, kegigihan & kemajuan pendidikan.
My Bedroom
23 October 2011
7.49 p.m.