Gogo’s FB status on June 22, 2010
Bangun pagi hari ini agak beda dengan hari-hari libur biasanya, padahal hari ini Sabtu pula. Hari ini berbeda karena gue dibangunkan oleh alarm yang biasanya menemani pagi gue selama bekerja. Lalu mengapa gue dengan rela saja dibangunkan oleh alarm yang super mengganggu ini di pagi Sabtu yang merupakan hari libur juga? Hal ini dikarena saya sudah berjanji dengan si Peow untuk datang ke pemberkatan nikah salah satu Gerombolan Siberat; Gogo dan tentu saja dengan suaminya (masa’ sama suaminya Peow. Hek?!)
Okah. Begini. Saia ini pemalas sekali, selain apa yang sudah saia jelaskan di posting saia terdahulu, ‘Carol’s Wedding’, hari ini lebih pemalasan karena harus bangun pagi-pagi sekali. Gue nggak pernah dateng sekalipun ke acara pemberkatan nikah di gereja, jadi gue nggak tau prosesinya seperti apa. Nggak hanya itu, karena tetep pengen dateng ke acara pemberkatan dikarenakan Gogo meminta J untuk datang di pemberkatan dan J meneruskan kepada Peow dan akirnya si Peow meneruskan kepada gue – napas dulu – jadi gue percaya saja kalau kami diundang ke pemberkatan nikahnya Gogo. Padahal gue nggak pernah dateng ke acara akad nikah atau pemberkatan nikah seorang teman. Tidak satu pun. Gogo, ini adalah sebuah kehormatan besar bagimu, karena baru sekali ini si Onta ini dateng ke pemberkatan nikah seorang teman. Kalo akad nikah sodara mah sering, tapi teman, tidak pernah.
Dengan segala daya upaya, gue bangkit dari kasur dan bersiap. Yang tadinya mo jalan jam 9 karena gue pengen liat seluruh prosesi, malah molor jam setengah 10 (gue banget nii emang, Coy2 dan Peow sudah menjadi korban gue untuk yang kesekian kalinya). Si Peow memang menyarankan untuk dateng jam setengah 10 awalnya. Dengan sisa waktu yang ada (sisa dari mana, orang telat kok), gue makan sereal sebelum berangkat. Di tengah ketergesaan gue makan sereal, si Peow bertanya,
Peow (P): emang orang batak juga dikasih angpaw ya?
Ontacerdas (OC): ya iya lah. Mo lo kasi apaan? Bebong?
Rupanya si Peow ‘terinspirasi’ dari tumpukan amplop yang ditaro si Bay2 di atas meja tamu.
Jam setengah 10 kami berangkat dengan kecemasan karena....ga satu pun dari gue, Peow atau Bay2 yang tau di mana lokasi persis gerejanya! Well, gue sii pede jaya aja ya secara gue pikir emang seberapa gede sih Halim? Paling juga deket bandaranya khan? (sok tau abis, secara gue juga nggak pernah ke bandaranya). Sepanjang jalan, dengan segala upaya, Peow memanfaatkan fasilitas foursquare dan google map untuk yang kesekian kalinya. Yang ini lebih parah, nggak satu pun situs yang berhasil ngebuka peta. Horrrr!!! Okahlah, dengan sedikit keberanian dan pengalaman mencari-cari gedung kawinan, gue yakin kita pasti bisa nemunin gerejanya, masalah kapan itu urusan nanti. Mo sampe sana acaranya udah bubar, itu juga urusan nanti. Yang gue cemaskan justru kalau gerejanya ketemu, acara belon beres, boleh masuk gak ya?
Akirnya setelah memasuki daerah Halim, gue terus lurus dengan harapan kedua navigator gue bisa memberikan masukan, nggak mungkin dong gue stand by kanan-kiri selagi nyetir. Sapa satu salah satu dari mereka berhasil menemukan Jl. Angkasa. Wew, gue akirnya sampe ke Pangkalan TNI AU Halim Perdana Kusuma, buset, ini sih udah jauh banget, bentar lagi bandara. Tapi gue tetep yakinkan hati bahwa gereja itu belon kelewat. Daaaannn.....jreng! kok tau2 di depan gue udah gerbang bertuliskan ‘Bandara Internasional Halim Perdana Kusuma’ dan nggak ada puteran balik! Mosoolooohhh!
OC: (panik campur kaget tapi memelankan laju mobil) woi! Ini kok masuk bandara nih! Kemana dong?! Masa’ terus?!
Namun sepertinya niat baik selalu dilindungi Allah.
P: eh, itu, itu ada gereja di kanan. Itu pasti gerejanya.
OC: elo yakin?! Lu jangan asal gereja aja lo tunjuk.
P: iya, itu gereja Oikumene. Itu gerejanya. Bener.
OC: emang gereja kayak gitu cuman satu di sini?!
P: udah, bener itu.
Dengan setengah nggak percaya, toh gue nggak punya pilihan laen, gue ikutin aja apa kata cangkem si Peow. Tapi ini gimanah?!! Gue udah terlanjur ada di jalur searah menuju gerbang bandara! Akirnya dengan pengalaman ngangkot 5 tahun dengan modal sertifikat menyetir lewat Jl. U – Syahdan yang maha sempit, gue hajar aja tuh jalan 1 arah – alhamdulillah, jalanan lagi sepi – dan langsung ngambil jalan menuju gereja yang diyakini adalah gereja pemberkatan si Gogo.
Setelah dapet parkir dan mengganti sendal teplek dengan high heels 7 cm (entah apa yang gue pikirkan saat itu), kami pun masuk dengan ketidakpastian. Nggak ada papan apapun untuk mengetahui pemberkatan siapa di dalam gereja itu. Satu-satunya cara adalah masuk ke dalam dan melihat dengan mata kepada sendiri siapa pengantinnya. Entah keyakinan dari mana yang merasuki kami karena siapa yang tau juga di dalem sedang ada pemberkatan nikah atau misa biasa.
Masuk dengan mengendap-endap karena tidak mau mengganggu dan karena gue bukan Kristiani, jadi gue berusaha sesopan mungkin demi menghormati gereja dan kultur-kulturnya. Si Peow memimpin kami masuk karena dia satu-satunya Khatolik (kejawen tapi), dan duduk di barisan belakang. Great! Mo paling depan juga kita nggak bakal tau siapa yang nikah – oke, ini pemberkatan nikah karena ceramahnya seputar pernikahan lah, itulah kesimpulan gue sesaat setelah naro pantat di bangku gereja – karena senderan kursi pengantennya tinggi banget! Cuma ubun-ubun kepala doang yang disisain keliatan dari bangku penonton. Okeh, satu-satunya cara untuk tau siapa pengantennya adalah....nanya penonton laennya. Salah. Mo tanya sapa? Nggak ada satu pun yang kami kenal di sana, lagian kalo salah gimana? Yep, akirnya kami menunggu pendeta menyebutkan nama salah satu penganten.
Pendeta (Pn): jadi, Frans...
Gue dan Peow liat-liatan sambil sedikit lega.
OC: nama lakinya Frans khan? Eh, Franky apa Frans
P: (dengan semangat tersenyum sampe matanya ilang) Iyah, iyah, Frans, Franky itu panggilannya ya.
Gue juga inget di undangan kalo nama depannya emang Frans. Tapi....lah Frans khan banyak! Kita harus tunggu pendeta untuk nyebut nama penganten ceweknya kalo gitu. Lah, kalo penganten cowoknya Frans tapi nama penganten ceweknya Wati, salah dong!
Akirnya saat yang dinanti tiba, tak perlu waktu lama,
Pn: Jadi ya, Frans dan Virgonia...
OC & P: (cengar-cengir lega sekaligus kesenengan karena berada di pemberkatan nikah dan gereja yang tepat)
Oke, okeh!
Setelah tenang karena berada di pemberkatan yang tepat, kami mengikuti prosesi dengan tenang namun sesekali gue bertanya ke si Peow beberapa ritual gereja. Jangan salah, sekali pun si Peow cuman 2x setaun gereja pas Natal ama Paskah (sama kayak gue, shalat cuman 2x setaun, Idul Fitri ama Idul Adha doang), tapi banyak pengetahuan yang bisa gue dapet dari dia. Nggak cuman itu, gue juga menceritakan beberapa ritual di Islam.
Ternyata gue beruntung, prosesi pembacaan janji nikah belum terlewat, padahal kami sudah terlambat 1 jam. Saat penganten cowok membacakan janjinya, gue terfokus kepada kedua penganten. Bergantian melihat Franky dan Gogo seakan ga mau melewatkan satu pun ekspresi dari keduanya. Franky membacakan janjinya dengan tenang dan lancar. Ketika giliran Gogo, pada awalnya ia dengan tenang dan lancar – setenang penganten cowok – membaca janji pernikahannya. Namun menjelang akhir, suara Gogo bergetar dan akhirnya air mata pun mengalir di pipinya. Kendati demikian, Gogo bisa menyelesaikan kalimat janji pernikahannya. Di titik itulah air mata gue menggenang. Terharu. Pasti terharu. Sudah tabiat saia.
P: dulu elo nangis juga nggak?
OC: (masih setengah haru dan mata tergenang) iya lah.
Akirnya gue terlempar ke masa 2 tahun yang lalu ketika gue meminta izin kepada bokap gue untuk menikahkan gue dengan pria pilihan gue. Saat itu gue tidak merasa akan menangis atau terharu karena gue santai menjalani semua prosesi. Bangun pagi2 subuh dalam keadaan santai, nggak berasa kalo gue didandanin untuk akad nikah gue sendiri. Seperti biasa, ketika gue sangat begah didandanin, apalagi dandan berat, gue ngacak-ngacak alat rias perias penganten di depan gue, sambil terus ngingetin untuk nggak menor-menor.
Perias (Ps): yah, khan mau jadi penganten, emang harus medok make-up nya.
OC: (dalam hati) mosoolooohhh
Nggak lupa, gue duduk dengan ngangkat 1 kaki dengan cueknya sambil disuapin makan pagi. Lengkap dengan nguap-nguapnya karena masih pagi banget. Ditambah bawel karena tarikan sasakan dan tusukan jepit rambut untuk masang konde di kepala gue. Holoh! Belon lagi kerempongan pake kaen yang super ketat, saking susahnya jalan, akirnya gue bukannya melangkahkan kaki kiri-kanan, tapi malah ngesret dengan posisi kaki kiri di depan dan kanan di belakang. Nyokap gue ngamuk,
Mam (M): (sambil sibuk dengan dandanannya sendiri) eh! jalan jangan begitu, dibiasain dong jalan yang bener!
OC: (tetap berjalan – atau tepatnya loncat-loncat – ngesret)
Setelah siap, gue dibawa ke kamar penganten, berasa kayak monyet di Ragunan, orang-orang ngeliatin gue kayak liat bekantan koleksi terbaru dari Ostrali. Gue? sibuk megangin untaian melati yang menjuntai panjang dari kepala sampe pinggang karena kalo nggak dipegangin, berat banget. Bisa-bisa pas akad kepala gue mencong ke kanan kayak orang sakit leher karena salah tidur.
Begitu keluarga penganten cowok dateng, jendela di kamar gue ditutup – bener-bener berasa monyet di Ragunan, pertunjukkan telah usai, tirai ditutup. Pas gue duduk di sebelah Bay2, kalimat pertama yang muncul dari mulutnya adalah,
Bay2 (B): (berbisik) kayak nyi blorong lo
OC: (santai ajah, dah biasa)
Prosesi akad dimulai dan pas giliran gue minta izin sama bokap, gue berusaha untuk membaca janji yang gue buat sendiri. Intinya gue berterima kasih karena kedua orang tua gue sudah membesarkan gue, meminta maaf atas segala kesalah gue dan meminta izin untuk dinikahkan oleh laki-laki yang gue pilih.
Hai, kalian yang belum menikah maupun yang mau menikah lagi, percayalah, sesantai apapun gue menjalani prosesi ini – gue yakin Gogo juga santai, keliatannya santai – pada akhirnya haru-biru itu muncul juga. Entah dari mana energi dan sensasi itu, setelah beberapa baris awal, haru dan tangis gue pecah juga. Saat gue menulis ini dan membacanya – berapa kali pun membacanya – masih gue ingat bagaimana air mata gue menghalangi seluruh pandangan mata gue, ditambah bulu mata atas bawah super panjang yang membuat jarak pandang gue nyaris nol. Gue nggak bisa baca! Gue nggak bisa meneruskan izin gue! Nggak ada tisu di sekitar gue, mata terus gue kedip-kedipkan, setengah mati gue tahan rasa haru itu, akhirnya gue bisa meneruskan kalimat gue dilatarbelakangi oleh tangisan yang lebih kencang – jauh lebih kencang – dari tangisan gue. Karena nggak bisa dangak untuk ngeliat siapa pemilik tangisan – yang sebenernya membuat keharuan gue berkurang, berganti rasa penasaran – maka gue simpulkan kalo yang nangis adalah adek gue! Belakangan gue tau dia nangis terharu karena selama 6 bulan terakhir dia tidur sekamar ama gue & dia menyadari kalau di malam itu dan seterusnya, dia nggak bisa sekamar lagi sama gue. Prosesi berjalan lancar. Tepat pukul 10 pagi, pernikahan kami sah. Alhamdulillah...
Kembali ke gereja dan pemberkatan Gogo, prosesi berakhir pada pukul setengah 12. Di sana gue bertemu beberapa teman kerja. Sayangnya, kami nggak berkesempatan berfoto bersama penganten. Tapi gue dan Peow berhasil memberikan selamat. Si Gogo sempet2nya komen baju gue yang warna ungu. Hohoho...
Petualangan kami belum selesai. Kami memutuskan untuk ke resepsi yang entah di mana itu. Sempat dijelaskan arah menuju tempat resepsi tapi gue nggak merhatiin. Untunglah 2 navigator gue memperhatikan namun kayaknya mereka juga bingung. Alhasil, kami berangkat menuju tempat resepsi. Alhamdulillah, dengan modal peta dari undangan, kami sampai ke tempat tujuan. Sebelum sampai, kami sempet bingung dengan petunjuk yang ada di peta. Di peta ada perempatan, tapi yang ketemu cuman pertigaan. Trus ada RSIA Yadika, tapi cuman ada RS Yadika (sempet girang karena yakin nggak nyasar). Maju ke depan dikit, ada RSIA – entah apa namanya – jadi ini mana yang bener? Tapi selama berada di Jl. Pahlawan Revolusi, kami yakin kami nggak nyasar. Dengan patokan Giant, kami begitu bahagia ketika melihat logo Giant yang besar diikuti dengan jalan kecil dengan janur kuning melengkung diikat di tiang listrik. Okah! Ini dia gang yang dicari-cari.
Sampai di sana, parkir sudah penuh, orang-orang sudah berkumpul. Tapi kami tau nggak bakalan telat karena kami berangkat lebih dulu dari penganten. Untungnya kami nggak sok tau menerobos orang-orang yang berkumpul di depan pintu masuk lantai bawah karena itu khusus untuk keluarga. Yep! 1 lantai untuk keluarga. Untuk tamu nasional, gue, Peow dan Bay2, disediakan lantai 2. Berhasil naik ke atas dengan sepatu hak 7 cm, gue langsung terpukau melihat tatanan meja dan kursi beserta lauk-pauk yang terhampar menutupi seluruh lantai 1. Baru kali ini gue dateng ke resepsi orang Batak dan melihat prosesi adat mereka yang kaya kultur. Di pelaminan disediakan makanan, jadi penganten akan makan bersama dengan tamu. Jika di pelaminan biasanya hanya ada 5 kursi; 1 untuk penganten, 4 untuk ayah dan ibu penganten, maka ada 20 kursi lebih untuk – entahlah apa itu, Gogo tolong jelaskan – seluruh keluarga. Pertayaan awal gue setelah sadar dari kekaguman,
OC: ini nanti kita musti salaman sama semuanya
Sebenernya sii gue cukup ragu apakah gue bisa salaman dengan pengantennya secara lantai kepisah begini.
P: Ya iya lah, masa’ mo dilewatin langsung ke Gogo!
OC: tapi kita bakal salaman nggak ya?
B: biasanya sii pengantennya yang bakal nyamperin kita
Kebetulan ibu mertua gue orang Batak, jadi si Bay2 tau sedikit banyak adat Batak.
Di tengah prosesi adat yang cukup lama, 1 jam, dan terus berjalan, si Jeung mengirim BBM ke gue dan melapor bahwa dia nyasar.
Jeung (Jg): gue sekarang ada di pd. Gede, tadi keluar di taman mini
OC: lah, kok bisa ampe sana? Elo harusnya keluar di Jatiwaringin
Dan merepetlah si Jeung karena adek iparnya sok tau jalan, ditambah dengan ‘kecerdasan’ si Jeung yang nggak bawa undangan! Holoooohhh!! Setengah mati gue ngasih petunjuk dan akirnya sampe juga si Jeung (turut prihatin dengan adik ipar Jeung). Sebelumnya, sekeluarnya dari tol, tebak apa yang gue temukan; Bebek Slamet! Sempet mo makan dulu karena udah laper banget. Beruntunglah perut bisa diajak kompromi sehingga ketika diperbolehkan makan, gue belom kolaps (mengingat gue cuman makan sereal seuprit)
Ketika gue makan, di sebelah gue ada seorang cewek yang lagi sms-an ama temennya. Mata tak dapat dijaga, gue intiplah isi sms itu. Isinya: gue sekarang lagi ada di kawinan orang Batak, kesan pertama gue ribet banget! Gue nggak mau kawin sama orang Batak deh.
Dalam hati gue, deee....sapa juga yang mo ngawinin situh!
Anyway, gue sebagai temen sangat salut kepada cewek satu ini. Gue emang nggak ngikutin seluruh prosesinya dia menjadi orang Batak, sampe akirnya dia punya marga dan menikah dengan orang Batak, tapi kalo gue punya 10 jempol (ngeri nggak sih?!), sepuluh-sepuluhnya buat si Gogo deh! Finally, you’re Mrs. Sirait! Congrats, Darling!
Sangat tidak menyesal gue dateng ke pemberkatan dan resepsi Gogo karena melihat seorang teman memasuki kehidupannya yang baru adalah pengalaman yang luar biasa. Seluruh doa dan harapan gue panjatkan untuk salah satu teman terbaikku, Gogo. Selamat menempuh hidup baru. Let the journey begins....
Pesan moral: buat orang-orang yang menemani gue ke akad atau pemberkatan nikah, jangan lupa membawa gulungan tisu dan tahan malu melihat gue yang sesegukan sampe ingusan kemana-mana.
*btw, si J kemana yah? Belon balikkah dia dari Umroh? Seperti ngilang ditelan bumi...