#BalasDi18Spesial2018
Sejak kapan ya setiap orang bisa berkata semau mereka tanpa berpikir jauh?
Media sosial memang luar biasa mengubah cara kita berinteraksi dengan orang-orang dekat hingga orang asing sekali pun.
Media sosial membuat yang jauh terasa dekat, sebegitu dekatnya hingga kita merasa punya hak untuk berkata tanpa memikirkan perasaan orang yang kita ajak berkomunikasi.
Yang paling membuat gue gerah adalah ketika orang-orang merasa paling benar dan mengoreksi yang salah, terutama soal agama, tepatnya orang Islam.
Sebegitu perlunya saling mengoreksi sehingga lebih penting menyampaikan apa yang kita anggap benar, bagaimana pun caranya.
Di belakang rumah gue ada mesjid yang corongnya ngadep ke rumah, seakan-akan corongnya itu cuma diadepin ke rumah gue aja. Setiap Jumat kalo lagi ada di rumah dan sedang 'beruntung', isi ceramahnya beberapa kali menyudutkan pemeluk agama lain, terutama Kristen, sangat provokatif. Isu ini sempat memanas saat Pilkada Jakarta 2017. Apapun tujuannya, yang jelas ingin mendeskriditkan salah satu calon yang kebetulan saat itu adalah pertahana.
Gue yang di rumah aja mikir gini ya, "Malu sih denger orang Islam memprovokasi ya...minimal laki-laki satu mesjid itu lah, merasa kalo milih non-muslim itu dosa."
Kalau kalian berpikir itu tidak berdampak, kalian salah, dampaknya cukup membuat ibunya temen gue takut masuk neraka karena milih non-muslim. It happened. It was real.
Saat itu gue sudah pada titik capek, marah, kesel tapi nggak bisa berbuat banyak karena gue ngerasa ilmu agama gue gak seberapa. Kalo kata Pandji khan, orang Islam negur pemuka agama yang provokatif nanti dibilang dosa, "Astaghfirullah, tau apa kamu soal agama?" Gitu. Ya emang sih gue nggak tau banyak, tapi gue jelas tau kalo menyebarkan kebencian dan provokasi ya salah.
Karena, kalo itu benar, kenapa gue resah?
Indonesia butuh pemikir atau cendikiawan Muslim yang progresif. Orang-orang yang kayak gini yang harusnya lebih banyak dikasih panggung. Orang-orang ini yang harusnya lebih sering muncul supaya kita nggak terus-terusan dibegoin. Ini yang tadinya pinter bisa lama-lama jadi bego beneran lho. Takutnya gue jadi salah satunya.
Indonesia butuh pemikir yang bisa menjelaskan agama secara terbuka, bahwa agama itu gak mutlak benar atau salah, bahwa agama boleh dibicarakan tanpa ada orang yang harus merasa dosa kalo apa yang dia pikirkan gak sesuai sama yang selama ini dipercayai benar. Khan setiap orang punya tafsiran masing-masing. Gue berharap suatu hari nanti ya kita bisa menghormati bahwa setiap orang punya tafsiran sendiri-sendiri tentang apa yang dia percaya dan yang lainnya menghormati keimanan orang tersebut.
Menurut gue, keimanan itu adalah hubungan pribadi seseorang dengan Allah atau Tuhan. Selama ini, orang Indonesia udah terlalu banyak ikut campur sama urusan yang sangat pribadi ini. Ini juga yang akhirnya bikin orang Islam cuma ngejalanin ritual-ritualnya seperti shalat, puasa, beramal, naik haji, cuma supaya keliatan kayak orang yang bener tapi sikapnya jauh dari ajaran Islam (ini cuma contoh ya, nggak semua orang Islam begini, gak semua orang beragama begini)
Gue butuh safe space untuk berani bicara seperti ini. Sayangnya gue merasa belum banyak tempat aman ini, terutama di media sosial. As if like they have gut to talk about this matter if they are meet in real life. Karena emang paling gampang kalo cuma ngumpet di belakang laptop. So I keep quite. I maintain my silence until...now.
Pandji berkata, "Menjadi orang beragama seharusnya menjadikan kita manusia yang lebih baik, bukan menjadi orang yang merasa paling benar, karena ketika kita merasa paling benar maka kita cenderung mengoreksi yang salah. Di sinilah terjadi perpecahan."
Betul sekali. Kita mudah sekali terpecah belah. Seperti ketika kita dengan gampang kalah sama Belanda jaman dulu. It is in our history and I think we should learn from it. Karena apapun yang sudah kita capai sampai hari ini, sebagai bangsa dan negara, nggak sepantasnya bubar gara-gara sekelompok orang merasa lebih benar dari kelompok lainnya. Lebih konyolnya, kita yang sesama orang Islam berantem karena ngerasa Islamnya paling bener padahal shalatnya masih ngadep Ka'bah semua.
Tidak akan pernah salah kok untuk duduk sebentar, berpikir sejenak, tahan emosi untuk ngomong atau ngetik sesuatu, untuk tau apa sih sebenernya duduk perkaranya. Tidak pernah salah untuk memahami sebelum memutuskan untuk setuju atau tidak. Lagi pula, kalaupun enggak setuju, emang kita nggak bisa sepakat untuk tidak sepakat dan saling menghormati itu? Gue yakin kita bisa, memang susah, tapi gue yakin, kita bisa.
Indonesia bisa.
Jakarta, 29 June 2018
10:54 pm