Siapa yang sangka ternyata di tahun 2016 gue akan mencoret salah satu bucket list gue sebagai juara badminton Porsekary.
Yep, I am a champion! Finally after 7 years attempted, finished as runner-up twice, on November 15, 2016, I finished as number one with my partner, Mr. San Karya.
Tiap tahun rasanya gue udah nggak mau ikut aja karena mulai dari susahnya cari partner, diajakin partneran sama orang yang sama sekali nggak pernah main sebelumnya sampai ditinggal sama partner beberapa hari sebelum pertandingan pertama.
Tahun lalu, karena ditinggal partner, akhirnya panitia memasangkan gue dengan orang di luar kampus Simprug. Gue belum pernah main sama dia sebelumnya dan… drawing yang selalu kurang menguntungkan karena ketemu sama seeded player di babak awal.
Entah mana yang lebih buruk, nggak pernah latihan sama pasangan atau drawing yang nggak menguntungkan.
Either way, I lost in first match in mixed double discipline but got walk-out in women’s single setelah lawan ditungguin nggak dateng-dateng sampe jam 9:30 malem!
Gagal di mixed-double, satu-satunya harapan adalah di women’s single yang untuk pertama dan seperti terakhir kalinya diadakan. Perjalanan gue cukup mulus hingga ke final tapiiiiii…. karena nervousnya, akibatnya gue bermain under-performed pas di final. Nggak hanya lawan gue anak UKM Badminton, gue juga cuma dikasih 1 skor sama lawan. I did remember what I said to my friend in between sets, “I just want this to be over. I am so tired i could kill myself.”
Dari tahun ke tahun, makin ke sini, mental gue udah macam mental tempe aja. Belum main, belum apa udah takut duluan sama lawan. Mau gampang, mau susah, takut aja bawaannya. Kalo aja gue nggak di bawah tekanan, mungkin gue bisa dapet skor lebih banyak walaupun gue yakin bakal tetep kalah sih. So I finished as runner-up in 2015 dengan sebotol Mylanta sebagai penopang keresahan gue selama seminggu lebih menanti dari satu pertandingan ke pertandingan berikutnya.
Believe it or not, winning Porsekary is one of my bucket list. Sepertinya sudah 2-3 tahun lalu gue tweet soal ini. Gue lupa alasannya tetapi gue pengen banget menang di sini. Walaupun lawannya banyak di bawah kemampuan gue, tetapi ada aja 1-2 orang yang jauh lebih bagus dari gue, biasanya anak UKM Badminton yang juga magang. Coba pikir, gimana caranya ngalahin orang yang jauh lebih muda dari gue dan berlatih di klub? Apa nggak mamam tuh gue?!
Setelah dua kali berakhir sebagai runner-up, sekali bersama Pak Ermun, di mixed-double dan women’s single, harapan gue makin pupus ketika tahun 2016 panitia membuat aturan baru: pasangan ditentukan oleh panitia secara acak. Lalu gue pun mengucapkan, “Wasalamualaikum warohmatulahiiii wabarokatuh.”
Sudah sangat tipis keinginan gue untuk ikut karena di awal gue sudah punya beberapa kandidat yang akan gue bawa ke Porsekary tahun ini. Tapi bagaimana mungkin gue bisa melewatkan ajang tahunan ini setelah penasaran selama bertahun-tahun nggak bisa menang? Akhirnya gue mendaftarkan diri dan berharap nasib baik akan berpihak sama gue.
Akhirnya waktu yang ditunggu tiba, hasil undian pasangan dan pertandingan muncul. Begitu tahu akan berpasangan dengan Pak San, ada muncul sedikit harapan untuk menang, minimal sampai semifinal lah, soalnya…. begitu sampai semifinal, ternyata gue satu pool sama yang ngalahin gue di final women’s single tahun lalu dan yang ngalahin Pak San di mixed-double! Pak San sendiri juga yang ngalahin gue tahun lalu di mixed-double pun kalah di semifinal! Tapiii, ada lah sedikit harapan menang karena pasangannya ini nggak sekuat tahun lalu, still, he’s good though. I was nervous.
Babak pertama dilalui dengan super duper nervous. Kalo gue masih bermain segugup babak pertama, nggak mungkin banget gue bisa menang di semifinal, terlepas lawannya emang lebih jago dari gue. Babak pertama sebenernya nggak berat sama sekali lawannya, lumayan buat coba-coba lapangan sama partner. Hanya saja kita berdua masih nervous. Walaupun gue inget, nggak banyak bikin salah sendiri, tapi gue masih grogi banget mainnya. Beberapa kali juga pukulan Pak San keluar padahal pukulan dan smash-nya kenceng & tajem!
Melenggang ke semifinal, enggak ada persiapan fisik secara khusus sih, karena yaa mo gimana lagi? Lapangan Simprug nggak bisa dipake buat latihan. Lagian mau latian apaan lagi deh. Tapi sejak 2 bulan lalu gue suka ngerekam pertandingan ala-ala Srimulat khan tuh. Gue selalu terhibur nonton rekaman pertandingan gue sama temen-temen, entah karena akhirnya gue bisa liat sendiri gimana gue main dan ada beberapa match yang akhirnya gue bisa bilang, “Wow, ternyata elo bisa main sebagus itu ya,” atau ketawa geli ngeliat 4 orang wakwau main badminton. Hahahaha. Anyway, watching my own matches boost my mood and confidence. Ketika tau lawan gue adalah yang mengalahkan gue tahun lalu, one thing that I can say a day before the match was if I play in my best form, I might win the match!
Begitu pun orang-orang yang gue tanyain, suami gue, temen-temen bahkan murid gue, “Kamu bisa aja menang, peluangnya 50-50 kok.” Wow, di sini gue merasa semakin percaya diri. Harus gue akui pula, bahwa mungkin gue terlalu rendah menilai diri sendiri. Bahwa benar adanya yang paling sulit itu ya mengalahkan diri sendiri kok. Kalo emang lawan di atas kita sekali pun, selama mental bertandingnya adalah memberikan yang terbaik & gak mau gampang mati, apa pun bisa aja terjadi. So, I hope I can beat myself so I can beat my opponent.
And, you wont believe what happened! I won the semifinal!!! Entah karena kami bermain selepas mungkin mengalahkan rasa gugup dan lawan yang juga ternyata sama gugupnya, gue ngotot untuk bermain sebaik mungkin. I couldn’t believe myself! Banyak banget pukulan-pukulan gue yang biasanya nggak masuk, ini masuk terus. Sedikit banget unforced error daannn partner gue gilaaaa! Gada matinya! Dan yang paling penting lagi adalah Pak San is one of the greatest player yet most humble! Itulah sebabnya kenapa gue bisa cepet gelling sama dia karena dia menganggap gue setara dengan dia sehingga dia mempercayakan bola-bola yang memang seharusnya gue ambil tapi tetap bisa menutupi kekurangan gue. Backhand yang menjadi salah satu kelemahan gue justru menjadi pukulan yang sering membuahkan poin. Karena ketika backhand gue masuk dengan sempurna, bakal sangat tipis dan rendah di depan net. Silakan mamam pukulan backhand gue.
|
Pak San and I, a minute after won the semifinal against strong opponent. He said, "Fotonya mah nanti aja kalo udah menang di final." And I said, "Udah menang lawan mereka aja bagus banget, Pak. Yang penting foto dulu." |
Memang sih kalo backhand gue lemah dan harus lebih kenceng lagi, lalu gue bilang, “Nggak perlu kenceng, asal masuk & jadi poin.” What happened in semifinal proved it. Lagian, kalo soal pukulan kenceng, ya itu tugas partner laki gue di belakang sih. Namun harus gue akui bahwa respon defense gue masih kurang banget makanya sebisa mungkin kami selalu memperlambat tempo permainan dan sebisa mungkin menurunkan bola. Kemenangan kami di semifinal juga dikarenakan lawan yang bermain di bawah performa terbaik mereka. Bisa jadi karena mereka nggak biasa main mixed-double sama-sama. Memang susah juga kalo spesialis tunggal harus main ganda. Siapa bilang main ganda gampang, enggak, lebih susah. Mungkin nggak secapek single fisiknya, tapi main double bisa jadi lebih capek hati haha.
Kemenangan kami di semifinal signifikan dengan skor 21-10, 21-11. Gue sebenernya lebih parno kalo angkanya ketat karena gue suka bloon kalo main di angka-angka tua. Untungnya kami selalu memimpin dan menjaga margin dengan baik.
Melewati lawan berat di semifinal enggak bikin gue lebih tenang ketika berhadapan dengan lawan di final. Setelah Pak San memenangkan pertandingan men’s double, panitia menawarkan kami untuk melanjutkan ke partai final. Ya gue sih oke aja, lah, Pak San gimana? Apa nggak modiar maen sampe 3 games gitu? Tapi daripada musti bolak-balik ke kampus penuh pengorbanan batin, gue setuju aja.
|
2016 Badminton Mixed Double Finalist |
Akhirnya kami bertanding final di hari yang sama, di mana lawan masih seger karena belum main sama sekali dan gue udah setengah babak belur di semifinal, plus Pak San yang udah 2x main serius malam itu. But well, biasanya gue juga maen sampe jam 9 malem kok, so let’s do it!
Lawan gue di final sebenernya nggak seberat semifinal karena walaupun yang laki-laki lebih kuat tapi secara skill yang cewek jauh di bawah gue lah. Cumaaannn, nah tau khan kalo masih beginner gitu pukulan-pukulannya suka aneh-aneh? Kayak jaman dulu gue main tuuuhhh hahahaha. Anyway, sempet di awal-awal set 1 & 2 kami ketinggalan 4 poin sampai akhirnya bisa ditutup dengan skor meyakinkan 21-12. Gue begitu semangat berkata dalam hati, “Come on! It’s just a set away from the champion title.”
Set kedua sempet agak tegang dan panas karena sempet ketinggalan 8-12 hingga akhirnya bisa match point di angka 20-11 walaupun sempat akhirnya kehilangan beberapa match point dan menang dengan 21-15! Harus gue akui, kalau ditanya mana yang lebih berat, keduanya sama berat, kami beruntung karena kami bisa lepas dari tekanan. Secara fisik, kami sudah mulai lelah di set kedua. Pukulan Pak San mulai banyak ke luar & badan gue mulai berasa capeknya. Kalau sampai rubber game, bisa panjang urusannya. Gue cuma bisikin satu hal ke Pak San, “Kasih aja ke ceweknya.” Well, it’s a game, we want to win. So be it. Karena gue juga sering banget diserang sama lawan yang laki dengan smash-nya. Gue sih nggak masalah, udah berkali-kali latihan di-smash ama bapak-bapak Simprug plus sama guru olahraga pas kena bibir gue sampe jontor! It was nothing compare to what I have in my practice and play in Simprug.
Ketika pukulan depan net Pak San yang bertubi-tubi akhirnya gak bisa dikembalikan lawan, finally, we got the title, Mixed Double Champion! Senang? Jelas! Tapi lebih ke nggak percaya karena akhirnya bisa menang!
Why is it so important and memorable for me? Because I never been a champion before. Never. Always ended-up as runner-up or second runner-up. Sempet sih waktu mau mulai final pengen bilang ke Pak San, “Pak, saya udah pernah jadi runner-up, pengennya juara kali ini,” tapi gue urungkan because I don’t want to jinx it. Badminton adalah passion gue yang terlambat gue temukan. Seandainya gue temukan itu jauh ketika gue masih kecil, bisa jadi gue udah melanglang buana dengan bermain badminton karena gue nggak bisa bayangkan hidup nggak main badminton. Ketika ada kesempatan untuk main, maka gue bermain. Tujuh tahun yang lalu, gue diajak temen gue untuk main bersama temen-temen di kantor. Dari yang enggak bisa mukul sama sekali, selalu kalah di babak-babak awal, sampai akhirnya gue bisa juara, what a journey & achievement!
Semuanya nggak mungkin terwujud tanpa dukungan temen-temen gue, so I would like to say thanks to Pak San Karya, Kiki, Mega, Pak Edi, Pak Manik, Pak Didi, Pak Alfret, Nico, Udek Dennis, Pak Ermun, Pak Jito, Hendra, Ibu Alma, Miki, Henry, Bang Sadrakh & Pak Dai, and of course, my always favorite student, Joey, yang selalu lebih semangat ngalahin gue daripada jadi partner gue hehe. This title is for all of us who always excited to be on badminton court and nowhere else.
|
With some die-hard fans from Simprug. Haha! Thank a ton! |
The champion is signing off now. See you all on court!
Jakarta, 16 November 2016
10:33 P.M.
Bedroom
*Porsekary: Pekan Olahraga dan Seni Karyawan